Perang Dagang AS–Tiongkok: Dampak, Peluang, Tantangan dan solusi strategis bagi Indonesia

Wednesday, 16 April 2025

1. Pendahuluan.

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok bukan sekadar konflik tarif. Hal ini merupakan bagian dari kompetisi strategis dua kekuatan besar dunia yang melibatkan dimensi ekonomi, teknologi, dan geopolitik. Dampaknya merembet ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang harus cermat membaca dinamika ini agar tidak terjebak dalam kepentingan kekuatan besar, tetapi justru dapat memanfaatkannya secara strategis.

Dimulai sejak 2018, perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok telah menciptakan ketegangan ekonomi global. Kebijakan tarif tinggi oleh AS terhadap lebih dari USD 550 miliar produk Tiongkok dibalas oleh Tiongkok dengan tarif serupa terhadap lebih dari USD 185 miliar produk AS. Konflik ini tidak hanya berdampak pada kedua negara, tetapi juga menimbulkan efek domino terhadap negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia.

Disamping itu perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang kembali memanas pada 2025, dipicu oleh kebijakan tarif tinggi dari pemerintahan Presiden Donald Trump. Tarif tambahan sebesar 32% terhadap produk Tiongkok dan rencana tarif 10–20% untuk semua impor telah menciptakan ketegangan global. Indonesia, sebagai mitra dagang utama kedua negara, menghadapi dampak signifikan namun juga memiliki peluang strategis untuk dimanfaatkan.

Pada tulisan ini, akan dibahas dampak, peluang, tantangan dan solusi strategis bagi Indonesia dalam menghadapi perang dagang AS-Tiongkok.

2.  Dampak terhadap Indonesia.

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, juga berdampak bagi Indonesia. Pada Geopolitik dan Ketahanan Ekonomi Indonesia, perang dagang menyebabkan gangguan rantai pasok global. Indonesia yang bergantung pada ekspor bahan baku ke Tiongkok dan AS menghadapi penurunan permintaan. Pelemahan ekonomi kedua negara juga menurunkan harga komoditas global yang berimbas pada penerimaan nasional. Pada aspek Stabilitas Kawasan dan Pertahanan, terdampak dengan adanya militerisasi di Laut China Selatan. Indonesia, walau bukan pihak dalam klaim wilayah, harus memperkuat postur pertahanan maritim, khususnya di Natuna, untuk menjaga kedaulatan dan memastikan jalur pelayaran aman. Pada aspek Investasi dan Keamanan Teknologi, dengan pembatasan teknologi AS terhadap Tiongkok memberi peluang bagi Indonesia sebagai alternatif lokasi relokasi industri. Namun, terdapat risiko infiltrasi teknologi sensitif dari kedua kubu yang berimplikasi pada keamanan siber nasional.

Dampak pada bidang ekonomi pada ekspor Indonesia dimana nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok pada 2019 tercatat USD 25,85 miliar, turun 2,6% dari 2018 (BPS, 2020). Ekspor ke AS justru naik ke USD 18,64 miliar pada 2019, meningkat 4,5% dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini sebagian disebabkan oleh substitusi produk Tiongkok yang dikenai tarif di AS. Pada sektor investasi Asing (FDI), terjadi relokasi pabrik dari Tiongkok ke ASEAN menciptakan peluang investasi. Namun, dari 33 perusahaan besar yang merelokasi basis produksi pada 2020, hanya 7 perusahaan yang memilih Indonesia, sementara 19 masuk ke Vietnam (BKPM, 2021). Untuk Harga Komoditas Global, harga batu bara turun dari USD 101/ton (2018) menjadi USD 69/ton (2019), memukul pendapatan ekspor Indonesia yang sangat bergantung pada komoditas energi (World Bank Commodity Data, 2020). Dari uraian tersebut maka dampak pada Pertumbuhan Ekonomi tergambar bahwa ekonomi Indonesia tumbuh 5,02% pada 2019, melambat dibandingkan 5,17% pada 2018. Salah satu faktor adalah ketidakpastian global akibat tensi AS–Tiongkok (Kemenkeu, 2020).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa tarif AS dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3–0,5 poin persentase. Target pertumbuhan 5,2% tahun ini terancam tidak tercapai akibat tekanan eksternal. Pada 2024, Indonesia mencatat surplus perdagangan sebesar USD 16,8 miliar dengan AS, dengan ekspor utama meliputi elektronik, pakaian, dan alas kaki. Tarif baru berpotensi mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar AS.Ketegangan global menyebabkan depresiasi rupiah hingga 10–11%, meningkatkan biaya impor bahan baku dan energi, serta menekan sektor manufaktur domestik.

3. Peluang Strategis bagi Indonesia.

Banyak industri Tiongkok mulai mencari lokasi baru (relokasi industri) untuk menghindari tarif AS. Indonesia berpeluang menarik investasi di sektor manufaktur, khususnya elektronik dan otomotif, asal reformasi birokrasi dan regulasi dipercepat. Ketergantungan pada dua negara besar perlu dikurangi. Indonesia dapat membuka pasar baru di Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah dengan memperkuat diplomasi ekonomi (diversifikasi pasar ekspor). Kementerian Perdagangan mendorong diversifikasi pasar untuk mengurangi ketergantungan pada AS dan Tiongkok. Strategi ini mencakup peningkatan ekspor ke negara-negara di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika.

Ketegangan AS-Tiongkok di bidang semikonduktor dan AI membuka ruang bagi Indonesia untuk membangun kemitraan strategis non-blok di bidang litbang dan teknologi pertahanan guna peningkatan Daya Saing Teknologi Nasional. Dengan menurunnya permintaan dari Tiongkok, Indonesia mulai agresif membuka pasar Afrika dan Asia Selatan. Ekspor non-tradisional naik 7,1% pada 2021 (Kemendag, 2022). Sektor manufaktur elektronik dan otomotif berpotensi tumbuh untuk menggantikan produk Tiongkok di pasar AS. Nilai ekspor produk elektronik Indonesia ke AS meningkat 23,5% pada 2021 (UN Comtrade, 2022). Hal ini merupakan upaya pengembangan industry substitusi impor bagi Indonesia.

Indonesia bisa memposisikan diri sebagai penghubung produksi kawasan jika mampu mempercepat reformasi logistik. Biaya logistik Indonesia saat ini masih 23% dari PDB, jauh lebih tinggi dibanding Vietnam (15%) dan Malaysia (13%) (World Bank, 2023). Ini merupakan peluang untuk peningkatan strategi rantai pasok regional. Sejak 2019, Indonesia telah menerima relokasi investasi dari 58 perusahaan senilai USD 14,7 miliar, terutama di sektor semikonduktor dan panel surya. Perang dagang membuka peluang lebih besar untuk menarik investasi dari perusahaan yang ingin menghindari tarif tinggi di AS. Pemerintah menawarkan insentif fiskal, seperti pembebasan pajak hingga 20 tahun dan pengurangan pajak untuk litbang hingga 300%, guna meningkatkan daya saing industri nasional.

4. Tantangan yang Harus Diantisipasi

Indonesia harus menjaga posisi netral namun aktif. Ketegasan prinsip politik luar negeri bebas-aktif harus dikawal agar tidak terjebak dalam blok kekuatan tertentu. Ketergantungan terhadap input industri dari Tiongkok membuat Indonesia rentan jika ada eskalasi lebih lanjut. Diversifikasi sumber bahan baku dan teknologi harus dipercepat. Perebutan pengaruh teknologi membawa potensi spionase industri dan cyber warfare. Penguatan sistem pertahanan siber nasional menjadi krusial.

Lebih dari 70% bahan baku industri elektronik Indonesia masih bergantung pada Tiongkok (Kemenperin, 2021). Eskalasi konflik dapat mengganggu rantai pasok. Disamping itu, Indeks kemudahan berbisnis Indonesia berada di peringkat 73 dunia (2020), masih tertinggal dibanding Vietnam (70) dan Thailand (21), membuat investor enggan memilih Indonesia (Doing Business, World Bank). Perang dagang dapat menyebabkan fragmentasi rantai pasok, memaksa Indonesia untuk menyesuaikan strategi perdagangan dan produksi agar tetap kompetitif.

Negara-negara ASEAN seperti Vietnam telah menarik lebih banyak investasi asing karena kemudahan berbisnis dan infrastruktur yang lebih baik. Indonesia perlu mempercepat reformasi struktural untuk bersaing.Sekitar 70% bahan baku industri elektronik Indonesia masih diimpor dari Tiongkok, membuat sektor ini rentan terhadap gangguan pasokan akibat ketegangan perdagangan.

Ketegangan AS–Tiongkok meningkatkan aktivitas militer di Laut China Selatan. Indonesia harus meningkatkan kesiapsiagaan di Natuna. Data Kemenhan menunjukkan alokasi anggaran penguatan pertahanan maritim meningkat 21% pada 2023 untuk mendukung modernisasi radar dan kapal patroli.

5. Solusi Strategis

Pendekatan Whole of Government merupakan salah satu solusi strategis dalam menyikapi perang dagang sebagai isu lintas sektoral—melibatkan Kemenhan, Kemendag, Kemenlu, dan BKPM—untuk menyusun kebijakan terpadu dan responsif. Kebijakan Penguatan Pertahanan Ekonomi Nasional dimana Indonesia harus membangun ketahanan ekonomi berbasis industri dalam negeri, digitalisasi UMKM, dan hilirisasi SDA.

Pemerintah perlu mengembangkan “National Supply Chain Resilience Roadmap” yang memperkuat ketahanan logistik dan produksi strategis, khususnya di sektor pertahanan, energi, dan pangan. Harmonisasi regulasi investasi pusat-daerah, penyediaan zona industri berbasis kebutuhan sektor high-tech, serta pemangkasan waktu perizinan (dari rata-rata 18 hari menjadi kurang dari 7 hari). Menyederhanakan perizinan, meningkatkan kualitas infrastruktur dan memperbaiki iklim investasi untuk menarik lebih banyak investor asing.Upaya mendorong hilirisasi industri untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan nilai tambah produk ekspor.

Disamping itu perlu peningkatan Postur TNI di Perbatasan Strategis dengan modernisasi alutsista, penempatan pasukan dan radar di wilayah seperti Natuna untuk mengantisipasi spillover ketegangan AS-Tiongkok. Integrasi defense economic planning dalam RPJMN, misalnya melalui pengembangan industri pertahanan berbasis dual-use technology dan peningkatan kapasitas TNI AL untuk presence di jalur strategis Selat Malaka dan Natuna.

Solusi strategis selanjutnya adalah dengan Diplomasi Ekonomi Proaktif yaitu melakukan negosiasi bilateral dengan AS untuk mendapatkan pengecualian tarif dan memperkuat kerja sama ekonomi dengan negara-negara mitra lainnya.

6. Kesimpulan

Perang dagang AS-Tiongkok merupakan refleksi pergeseran tatanan global. Indonesia, sebagai negara non-blok dengan potensi besar, memiliki peluang untuk mengambil posisi strategis dengan memperkuat kemandirian ekonomi dan pertahanan. Kuncinya ada pada ketepatan membaca dinamika, keberanian melakukan reformasi, dan soliditas dalam menjaga prinsip politik luar negeri yang bebas-aktif.

Fenomena perang dagang AS–Tiongkok bukan hanya fenomena ekonomi global, tetapi juga menjadi tantangan strategis bagi Indonesia dari sisi geopolitik, pertahanan, dan ketahanan ekonomi. Indonesia harus cerdas memanfaatkan peluang relokasi, mengurangi ketergantungan, dan memperkuat postur pertahanan maritimnya. Strategi lintas sektoral yang terpadu dan berbasis data menjadi prasyarat agar Indonesia dapat menjaga kedaulatan sekaligus meningkatkan daya saing nasional di tengah ketidakpastian global.

Pada tahun 2025, perang dagang AS–Tiongkok membawa tantangan signifikan bagi Indonesia, termasuk penurunan pertumbuhan ekonomi dan tekanan pada sektor ekspor. Namun, dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan peluang untuk menarik investasi, mendiversifikasi pasar ekspor, dan memperkuat industri dalam negeri. Langkah-langkah proaktif dan reformasi struktural menjadi kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi dan meningkatkan daya saing di tengah ketidakpastian global.




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia