FGD Kaji Penambahan Usia Pensiun Bintara/Tamtama dan Reorganisasi TNI
Kamis, 14 Maret 2019Jakarta – Dalam menjalankan tugas pokoknya, TNI dihadapkan pada perkembangan lingkungan strategis yang dinamis, cepat berubah dan penuh dengan ketidakpastian serta adanya ancaman nyata dan ancaman belum nyata. Dihadapkan dengan kebutuhan dan tantangan tugas, Reorganisasi TNI yang telah dilakukan belum sepenuhnya dapat menjawab persoalan. Oleh karena itu perlu dilakukan validasi organisasi TNI di lingkungan Mabes TNI dan Mabes Angkatan dengan penambahan jabatan Pati.
Selain validasi organisasi, perlu juga ada pemikiran untuk melakukan perubahan organisasi TNI dengan menambah usia pensiun maksimum berpangkat bintara dan tamtama dari semula 53 tahun menjadi 58 tahun. Untuk mengatasi kedua permasalahan tersebut, Kemhan dan tim pakar dari berbagai disiplin ilmu melakukan kajian melalui Focus Group Discussion (FGD) yang dibuka Menhan RI Ryamizard Ryacudu, Kamis (14/3), di kantor Kemhan.
Mengingat pensiun personel TNI yang berpangkat bintara dan tantama pada usia 53 tahun dianggap masih usia produktif untuk mengawaki organisasi TNI maka hal ini menjadi permasalahan yang perlu menjadi pemikiran. Hal ini menunjukkan celah bagi penambahan usia pensiun prajurit TNI, namun perlu kajian yang lebih luas lagi tentang jabatan yang akan diemban, kondisi kesehatan dan kesamaptaan. Selain itu bagaimana pembinaan kariernya baik kenaikan pangkat maupun kesempatan pendidikan merubah golongan ke tingkat perwira dan bintara.
Pertimbangan wacana penambahan usia prajurit berpangkat bintara dan tamtama antara lain Peraturan Pemerintah No.11/2017 tentang manajemen PNS rata-rata 60 tahun. Dan juga berdasarkan data BPS tahun 2017 angka harapan hidup di Indonesia meningkat menjadi 69,19 tahun untuk laki-laki dan 73,06 tahun untuk perempuan.
Reorganisasi TNI dan penambahan usia pensiun bintara/tamtama telah mendapat respon positif dari pemerintah dalam hal ini Presiden RI. Berkaitan dengan Reorganisasi TNI dan penambahan usia pensiun bintara/tamtama saat ini peningkatan efektivitas organisasi dalam menghadapi ancaman dengan tetap berpijak pada fungsi TNI sebagai alat pertahanan. Selain itu juga mempertimbangkan aspek profesionalisme, hukum, ketatanegaraan dan perundang-undangan, sejarah serta ekonomi (anggaran).
Disamping itu aspek estetika dan kepatutan pola pembinaan personel dengan mempertimbangkan usia pensiun dengan latar belakang psikologi, kesehatan serta keunggulan tempur organisasi TNI dalam menghadapi tantangan dan ancaman juga menjadi pertimbangan. Selain itu juga aspek hukum dan perundang-undangan yang mengatur organisasi TNI berikut tugas pokok dan fungsi TNI.
Untuk itu Menhan berharap dalam FGD ini agar dilakukan kajian secara ilmiah dan komprehensif dari berbagai aspek, sehingga bersifat logis dan dapat dipertangungjawabkan secara akademis dengan mempertimbangkan konsep Sistem dan Kebijakan Pertahanan Negara serta Ancaman yang dihadapi, baik nyata maupun belum nyata.
Selain pejabat eselon I dan II di lingkungan Kemhan/TNI hadir pula memberikan pandangan pakar organisasi dan sumber daya manusia dengan harapan dapat memberi masukan terhadap kebijakan terkait perubahan organisasi TNI dan penambahan usia pensiun personel TNI berpangkat bintara dan tamtama.
Mereka adalah Deputi Kelembagaan dan Tata Laksana KemenPan-RB Rini Widyantini, S.H., MPM, Pakar Hukum dan Tata Negara Dr. Refly Harun, Pengamat Militer Prof. Dr. Salim Said dan Kepala RSPAD Mayjen TNI Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad. Sedangkan dari akademisi hadir dosen Fisip UI Edy Prasetyono, S.Sos., MIS, Ph.D dan Executive Director at Center for Indonesia Risk Studies Dr. Kusnanto Anggoro. (ERA/SPD)