Tesis Huntington dan Infiltrasi Peradaban
Rabu, 18 November 2009Tesis Huntington dan Infiltrasi Peradaban
Robi Nurhadi
Dosen FISIP Universitas Nasional
/Kandidat PhD Pada Program Studi Strategi dan Hubungan Internasional UKM Malaysia
Spesialisasi pada Penanganan Teroris internasional
Bila saja Samuel P. Huntington mau jujur, maka mestinya ia kembali menulis. Menulis, untuk kemudian merefresh akan apa yang pernah menjadi tesisnya. Prediksi tentang akan terjadinya benturan peradaban, nyatanya tidak terjadi. Paling tidak, hingga kini. Tesis yang dibuat tanpa ukuran waktu dalam proyeksinya itu, selain unpredictable, juga tidak realiable.
Paling tidak, buktinya adalah apa yang kita saksikan saat ini. Tren yang muncul dalam percaturan global kini, justru menunjukkan begitu “mesra”-nya sub-subperadaban dunia yang diproyeksikan akan mengalami benturan tersebut. Peradaban Islam maupun Konfusianisme, yang oleh Huntington dijadikan “sampling peradaban” untuk membenarkan tesisnya itu, justru secara substantif memperlihatkan fenomena sebaliknya. Style kedua peradaban itu, menjauh dari apa yang diprediksikan oleh Huntington. Antara peradaban Islam, Konfusianisme dan Barat serta peradaban lainnya, kini sedang ber-“bulan madu” di padang pasir dan di Great Wall. Bahkan, sudah menjadi political agreement di kalangan elit peradaban barat untuk menjadikan Islam sebagai the new counterpart.
Perdebatan tentang hal ini, adalah perdebatan tentang metodologi. Paling tidak, menyangkut persoalan kredibilitas refresentasif dari peradaban yang dijadikan sampling dari tesis Huntington, serta persoalan ukuran “kapabilitas klaim” dari sub-kelompok peradaban yang dijadikan objek tesisnya. Dan yang paling penting adalah persoalan determinant factor yang mempengaruhi style kebijakan dari sub-kelompok yang diklaim Huntington, mewakili “ordo” dari peradaban yang dijadikan samplingnya itu.
Pertama, persoalan kredibilitas refresentatif sampling. Pertanyaan “sederhana” yang dapat diajukan untuk menguji tesis Huntington adalah, apakah Islam dan Konfusianisme menguasai “rel” peradaban pada akhir abad 20? Bukankah sejak runtuhnya struktur internasional yang bipolar menjadi unipolar pada tahun 1990, hanya ada satu rel peradaban yang eksis. Dan itu, “Mbah”-nya adalah barat. Islam dan Konfusianisme, sebagai sebuah entitas peradaban memang ada. Tetapi, dalam perspektif the power behind the civilization, kedua entitas tersebut tidaklah berbeda eksistensinya dengan entitas peradaban lainnya: wujuduhu ka adamuhu.
Malah dalam beberapa hal, kedua entitas peradaban tersebut termodifikasi genre-nya oleh peradaban barat. Sehingga, bila “barat is barat”, maka “Islam atau Konfusianisme is not all Islam atau Konfusianisme”. Dalam posisi bargain yang demikian, apakah masih sahih untuk menempatkan keduanya dalam posisi untuk saling dibenturkan (clashed)? Dalam konteks inilah, membangun tesis yang memprediksikan akan terjadi benturan peradaban, sesungguhnya adalah lebih pada upaya pembangunan political engineering untuk melakukan justifikasi atas kebijakan pre-emtive strike-nya dunia barat. Dan itu terbukti.
Bila argumen tersebut, masih mengundang perdebatan soal apakah Islam/Konfusianime sudah dianggap punya kapabilitas atau tidak, dalam menempati “rel persaingan” peradaban –sehingga tesis bahwa sesungguhnya hanya peradaban barat yang dominatif, tidak benar–, maka pertanyaan metodologis kedua dapat diajukan.
Hingga kini, para pengamat internasional masih belum menemukan metode yang valid dan komprehensif, untuk menjawab tentang sub-kelompok manakah yang kapabel untuk diklaim bahwa mereka adalah pihak memiliki otoritas untuk menentukan arah dari peradaban yang melekat pada kelompoknya. Kalau yang disorot oleh Huntington adalah para elit kelompok yang berkuasa dalam sebuah peradaban, maka menarik untuk dipertanyakan “apakah policy untuk mengarahkan peradaban itu terletak dalam genggaman kekuasaan mereka, atau justru sebaliknya”. Bicara peradaban yang ideal, seringkali berbenturan dengan kepentingan politik. Lalu, elit politik manakah yang tidak care akan nasib kekuasaan yang ada dalam genggamannya? Mesir, Libya, Arab Saudi, Suriah, Iran, Indonesia, Malaysia ataukah Cina?
Kalau toh misalkan, ada elit politik yang “i don’t care about my popularity”, dan mati-matian dengan konsep peradaban yang idealnya, maka seberapa besarkah otoritas yang dimiliki para elit tersebut, untuk mengarahkan “arah” peradaban di tingkat grassroot. Di dalam negara Islam atau negara (penganut) Konfusianisme sekali pun, para elit politik mengalami keterbatasan kekuasaan bila sudah menyangkut ideologi (agama) warganya. Bahkan kini, dalam dunia dimana liberalisasi sudah menelusuk ke dalam ruang-ruang ideologis, apakah akan efektif, otoritas yang dimiliki oleh para elit tersebut? Dalam kaitn inilah, Huntington mengalami kegagalan untuk memahami falsafah kedua agama tersebut.
Ketiga, persoalan determinat factor yang mempengaruhi pembentukan style peradaban. Secara teoritis, wajah peradaban yang muncul, ditopang oleh postur dan style yang inheren dalam peradaban tersebut. Karena anatominya yang dinamis, maka wajah peradaban pun sangat dinamis pula. Kedinamisan ini terjadi seiring dengan determinant factor yang juga dinamis, tergantung pada orientasi apa yang mendasari “kebijakan luar negeri” peradabannya.
Wajah peradaban Islam atau Konfusianisme yang terbentuk di mata dunia saat ini, hakikatnya adalah akumulasi dari “kebijakan luar negeri” yang diambil oleh para elit kelompok yang ada dalam entitas peradaban tersebut. Karena kebijakan itu dimbil dari banyak pilihan, maka orientasi si elit mempengaruhi secara dominan. Oleh karena itu, sangat mungkin bila wajah peradaban Islam atau Konfusianisme yang kini muncul, bukanlah sebuah wajah peradaban yang ideal atau dikehendaki oleh semua yang yang ada di dalamnya. Apalagi, sudah menjadi pemahaman yang umum bahwa dalam suatu entitas peradaban, terdapat banyak mazhab atau sekte yang menjadi bagian dari kekuatan politik internalnya.
Sebagai sebuah entitas, peradaban Islam atau Konfusianisme tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungannya (foreign determinant). Dan lingkungan yang dimaksud, tiada lain adalah peradaban barat. Meski tidak semua, hampir sebagian besar warga dunia yang bukan berasal dari peradaban barat, menganggap “sesuatu” yang berasal dari barat adalah modern. Dalam ukuran dikotomik materil-sipirituil, peradaban barat relatif lebih dominan menawarkan kesejahteraan materil —sesuatu yang “sangat gersang” bagi peradaban non barat. Thomas Hobbes meyakinkan para ilmuan sosial bahwa setiap orang secara alamiah cenderung mencari kesejahteraan materil yang dominan daripada kesejahteraan spirituil.
Karenanya, tidak heran bila kini telah terjadi “transmigrasi idiologis” dari sebagian anggota kelompok peradaban non barat ke peradaban barat. Secara substanstif, fenomena perpindahan idiologis, tersebut merupakan perpindahan peradaban. Karena meski secara fisik, jasadnya ada di kelompok peradaban non barat, sesungguhnya jiwanya telah ada di “desa” peradaban barat. Fenomena inilah yang disebut sebagai infiltrasi peradaban.
Oleh karena itu, tesis Huntington tentang prediksi akan terjadinya benturan peradaban, tidak akan pernah terjadi. Yang terjadi justru, akan lahir peradaban baru akibat proses “transmigrasi idiologis” yang terus-menerus, sebagai konsekuensi dari adanya kebijakn open house dari peradaban barat. Ke depan, mungkin kita akan menyaksikan peradaban pasca barat (post western civilization) atau peradaban timur-barat (east-western civilization). Wallahu ‘alam.
Bangi, 5 Juli 2005
Ttd.
Robi Nurhadi
————————————————
Komplek Hentian Kajang 3 / 6-2B Kajang, Bangi, Selangor Darul Ehsan, Malaysia
HP +60173605816 Pasport No. AH 353511
No. Rek. 1218-0099536-52-1 Bank Bumiputra Commerce (BBC) Branch UKM Bangi
Jl. I Gusti Ngurah Rai 62 Jakarta Timur 13470
Telp. 021-92711085 HP 081317563401
No. Rek 125-00-04325151-5 Bank Mandiri KCP Jakarta Kawasan Industri Pulogadung