Politik Teror : Resistensi Konflik Peradaban ?
Rabu, 18 November 2009Politik Teror : Resistensi Konflik Peradaban ?
Robi Nurhadi
Dosen FISIP Universitas Nasional
/Kandidat PhD Pada Program Studi Strategi dan Hubungan Internasional UKM Malaysia
Spesialisasi pada Penanganan Teroris internasional
Memahami berbagai teror yang terjadi pasca Perang Dingin, menjadi ahistoris bila tidak dikaitkan dengan apa yang terjadi setelah konstelasi politik global berubah pasca runtuhnya komunis. Peristiwa ini menjadi starting point bagi proses perubahan sejarah dunia, dimana kaum liberalis-kapitalis berhasil mempertahankan hegemoninya atas isme global sejak abad 15 lalu.
Konsekuensi dari perubahan kontelasi global tersebut telah menempatkan Amerika Serikat sebagai promotor kaum liberalis-kapitalis menjadi penguasa tunggal ditengah hegemoni dunia. Kehadiran organisasi internasional made in AS dan negara-negara kapitalis, seperti PBB, selain dijadikan sebagai escalator penghancuran blok timur (komunis), juga sebagai justificator gerakan hegemoni mereka.
Ketidakberdayaan organisasi internasional dan sebagian besar negara-negara yang tergantung pada bantuan Amerika dalam menghadapi tekanan politik AS dan sekutunya sebagai “Pemilik Utama” PBB, merupakan bukti bahwa kehadiran organisasi tersebut lebih bermuatan ideologis daripada membawa misi humanis.
Dan teror yang terjadi di World Trade Centre, AS 2001 dan Tragedi Bali, Indonesia 2002 menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pergulatan panjang antara liberalisme-kapitalisme melawan berbagai isme yang mengancam eksistensi isme mereka. Dan Islam, sebagaimana dianalisis oleh Samuel P. Huntington dalam Clash of Civilization, menjadi kekuatan potensial yang mengancam hegemoni mereka.
Akar Sejarah
Sejarah telah mencatat bahwa rezim liberalisme lahir setelah pergulatan yang panjang melawan rezim teokrasi, melalui bendera reformasi agama yang diusung oleh Marthin Luther. Sebelumnya, sejak abad keenam masehi Islam menjadi entitas yang sangat mewarnai peradaban dunia, khususnya dunia bagian timur termasuk sebagian Eropa, dan Katholik di belahan bumi bagian barat.
Euforia kaum liberalis, seperti diakui sendiri oleh penggagasnya, telah melewati batas-batas yang dikehendaki dari maksud reformasi agama itu sendiri. Munculnya polytheisme dan atheisme, merupakan fenomena yang tak terhindarkan. Bahkan, semangat etika protestan (protestan ethic) yang melatari kaum pemodal waktu, telah menggiring lahirnya kapitalisme ditengah peradaban baru. Tetapi, lahirnya faham yang menempatkan modal diatas segalanya itu, bukanlah sesuatu yang mereka takuti. Tetapi justru dianggap sebagai angin surga, karena dianggap mampu mengantarkan mereka mencapai tujuan maksimal, yakni kepuasan materi yang didapatkan dari benda-benda modal tersebut.
Lahirnya Karl Marx pada dua setengah abad berikutnya, dianggap sebagai ancaman keras atas hegemoni mereka terhadap kaum buruh yang menjadi tulang punggung kehidupan hedon mereka. Ajaran Marx yang membawa angin segar bagi kaum buruh, berkembang menjadi ideologi komunis, yang pada abad 20 mendapat dukungan hampir dari separuh penduduk dunia. Meski kemudian runtuh kembali setelah tiga abad mengalami tekanan politik yang signifikan dari kaum kapitalis. Dan komunis hancur untuk sementara, setelah Uni Soviet terkena virus glasnost, yang merupakan wajah liberalisme dalam bentuk lain.
Metamorfosa konflik peradaban
Seiring dengan tumbuhnya liberalisme yang kemudian disusul komunisme, di belahan dunia timur atau di bekas negara-negara jajahan, Islam bangkit kembali setelah mengalami penderitaan panjang menghadapi hegemoni barat dalam bentuk imperialisme.
Kemunculan dua faham sekaligus, yakni Islam dan komunis, dalam konstelasi dunia hegemoni barat, memberikan tekanan berat bagi kaum liberalis-kapitalis sekaligus mendegradasi hegemoni mereka atas masyarakat dunia. Sehingga, isu demokratisasi pun dihembuskan sebagai upaya melakukan “gencatan senjata” guna melakukan konsolidasi, sekaligus sebagai senjata untuk memenangkan hegemoni kembali, karena asumsi politik yang melekat dalam sistem mayoritas itu bahwa pertarungan hanya akan dimenangkan oleh mereka yang kuat (baca: kuat suara dan kuat kapital) sehingga kemenangan akan tetap jatuh pada kaum kapitalis –persis tudingan Marx bahwa politik dalam asumsi demokrasi hanya akan menjadi subordinasi dari kepentingan kaum kapitalis–.
Sementara, bagi kedua faham khususnya komunis, demokrasi bagaikan buah simalakama. Satu sisi, gagasan demokrasi merupakan faham politik yang dianggap lebih memberikan prospek dalam menciptakan keadilan dan persamaan melalui tangan masyarakat. Disisi lain, ide demokrasi bertentangan dengan ide komunisme yang menciptakan keadilan melalui tangan penguasa. Dan terbukti, ketika Presiden Gorbachev melakukan demokratisasi melalui glasnost, Uni Soviet hancur.
Tetapi bagi Islam, gagasan demokrasi justru memberikan stimulus bagi perbaikan kehidupan politik, yang sejak jaman pasca Khulafaurrasyidin mengalami distorsi, yang sama sekali jauh dengan esensi kehidupan politik yang dibangun Nabi Muhammad SAW di Madinah. Dimata kaum liberalis-kapitalis, esensi kehidupan politik Islam adalah teokrasi yang menafikan pengelolaan nilai-nilai persamaan dan keadilan melalui tangan masyarakat, tetapi melalui nabi sebagai utusan Tuhan. Sehingga, gagasan demokrasi diasumsikan akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.
Bagi sebagian kalangan muslim, khususnya dari sayap fundamentalis yang lebih sepakat dengan demokrasi ketuhanan (Teokrasi, Devine Limity, Abul ‘Ala Al Maududi salah satu tokohnya), gagasan demokrasi hampir menjadi komoditas politik yang menjadi sumber pertentangan dengan kelompok Islam modernis.
Demokrasi yang awalnya hanya merupakan upaya melakukan “gencatan senjata” terhadap tekanan komunisme dan Islam, berkembang menjadi ancaman serius bagi kaum kapitalis. Lahirnya partai-partai politik di negara-negara berkembang telah menciptakan kekuatan masyarakat non kapitalis yang semakin memperkuat peranan masyarakat dalam pengambilan kebijakan, sekaligus mengeliminir kekuasaan yang kerap melekat di kalangan kapitalis terhadap proses politik.
Ketika proses penguatan politik dari umat Islam terjadi dari akibat langsung adanya kebebasan politik melalui sistem demokrasi, yang berakibat pada kemenangan kelompok-kelompok Islam dalam pemilu yang diselenggarakan di beberapa negara mayoritas berpenduduk Islam seperti Indonesia, Aljazair dan Turki, justru menjadi ancaman bagi negara-negara kapitalis. Hal ini dapat dilihat ketika negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat dan sekutunya yang memperlihatkan sikap yang kontra demokratis terhadap Indonesia ketika CIA (Badan Intelejen Amerika) terlibat dalam penggulingan Soekarno yang marhaenis (faham marxist keindonesiaan).
Begitu pula, ketika AS dan negara-negara sekutunya mendukung faksi militer dalam menggagalkan hasil pemilihan umum di Aljazair pada tahun 1992 yang dimenangkan oleh Front Penyelamatan Islam (FIS). Lebih sempurna lagi sikap kontradiktif AS itu diperlihatkan ketika mereka “merestui” kekuatan militer Turki dalam menggulingkan pemerintahan Turki dibawah Perdana Menteri Necmettin Erbakan dari Partai Islam Refah (1995). Sementara di Myanmar, kaum oposisi (yang non muslim) dianggap sebagai pahlawan dan dibela mati-matian. Kasus serupa juga berlaku ketika AS membela Israel yang membantai kaum muslim di Palestina.
Agenda demokratisasi dan HAM yang melanda dunia ketiga yang mayoritas berpenduduk Islam dan bekas jajahan kaum liberalis-kapitalis, mempercepat proses penguatan partisipasi masyarakat di dunia ketiga dalam percaturan politik dunia. Tingkat partisipasi dari kelompok muslim yang diluar prediksi kaum kapitalis-liberalis, telah mengkerucut menjadi kekuatan politik laten yang sedikit-banyak mampu mengimbangi hegemoni barat. Sikap-sikap Amerika dan sekutunya yang menerapkan standar ganda dalam berdemokrasi, menjadi fakta penjelas bahwa agenda demokratisasi yang dimotori oleh mereka sendiri, awalnya hanya sekedar politik “gencatan senjata” menghadapi kemunculan dua kekuatan pengimbang dalam konstelasi politik global. Lebih dari itu, tingginya akseptabilitas agenda demokrasi dan HAM oleh dunia muslim menjadi bumerang bagi watak hegemoni barat.
Dalam pandangan kelompok anti kapitalis, seperti Karl Marx dan Soekarno, hegemoni barat diasumsikan sebagai bentuk imperialisme yang lebih halus. Para penguasa politik negara-negara liberalis-kapitalis seperti AS, Inggris dan bekas negara-negara imperialis, menjalankan misi imperialis (baca : penindasan manusia atas manusia lainnya dengan merebut hak asasi manusia) terhadap negara-negara kolonial seperti Indonesia, Malaysia dan negara-negara di Asia dan Afrika yang kini sedang berkembang, dalam rangka memenuhi kepentingan kaum kapitalis atas bahan baku produksi dan wilayah pemasaran atas produk-produknya.
Ditengah kemunculan kekuatan-kekuatan potensial seperti Islam pada abad 20, kaum kapitalis barat dihadapkan pada persoalan pelik dalam menjaga kelangsungan proses produksi yang sarat dengan kebutuhan minyak bumi. Menurut keterangan Z.A Maulani, mantan KABAKIN, persediaan minyak yang dikuasai mereka atas negara-negara yang dibawah kendali kaum kapitalis barat hanya cukup untuk puluhan tahun lagi. Artinya, ada ancaman yang sangat mendasar bagi kaum kapitalis barat dan kroninya dalam membangun proyek utama mereka, yakni mempertahankan mega proyek kapitalisme dengan proses produksi yang harus terus berjalan. Sehingga, slogan perjuangan mereka adalah “Siapa yang ingin menguasai dunia maka kuasailah minyak”.
Kepentingan para penguasa politik formal di negara-negara kapitalis barat untuk melakukan hegemoni terhadap dunia Islam sebagai kekuatan ideologi, dan kepentingan kaum kapitalis penentu terhadap persediaan minyak bumi yang tersimpan di negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas Islam, menyatukan dua spektrum kekuatan yang selama ini terpendam setelah komunisme dianggap hancur.
Bila saja gagasan demokratisasi tidak berkembang pesat seperti sekarang ini, bisa jadi kaum liberalis-kapitalis akan kembali pada wujud aslinya sebagai negara-negara imperialis, dan perang konvensional akan menjadi pilihan bagi mereka karena persenjataan yang memadai. Tetapi, proyek demokratisasi, –yang awalnya hanya upaya melakukan “gencatan senjata’ terhadap ancaman komunis dan Islam–, telah menjadi maskot kepopulisan negara-negara barat. Sehingga, mau ditaruh dimana muka mereka bila mereka sendiri yang menghancurkannya ketika proyek demokratisasi ini telah mengalami akseptabilitas yang tinggi ditengah masyarakat internasional. Dan jalan alternatif untuk mewujudkan dua kepentingan yang menyatu dari kaum penguasa politik liberalis-kapitalis dan kaum kapitalis barat, adalah terorisme.
Terorisme yang dimaksud bukan untuk melakukan perlawanan terhadap para pengancam hegemoni mereka atas dunia, karena tidak sulit bagi kaum liberalis-kapitalis untuk menghadapi dunia Islam secara terang-terangan, –bukan dengan cara teror tetapi dengan perang konvensional–, tetapi terorisme diciptakan oleh kaum liberalis-kapitalis sebagai agen bayaran guna menghancurkan sasaran-sasaran yang menjadi simbol kebebasan mereka. Jadi, agen bayaran terorisme itu jadi korban proyek terorisme liberalis-kapitalis, sementara WTC, Bali dan simbol-simbol kebebasan milik mereka sendiri adalah objek yang sengaja dikorbankan untuk mendapatkan kemenangan yang lebih besar, yakni mempertahankan hegemoni dan persediaan minyak bumi bagi kaum liberalis-kapitalis.
Dampak adanya terorisme sekarang ini, disatu sisi telah merugikan citra kaum muslim di mata komunitas dunia, seperti kalangan non-muslim dan kelompok Islam abangan. Disisi lain, wacana terorisme yang dilancarkan barat terhadap dunia Islam telah membangkitkan semangat perlawanan terhadap kaum liberalis-kapitalis, yang menganggap teror dalam perspektif teori konspirasi.
Bagi kaum liberalis-kapitalis, kecaman masyarakat internasional terhadap terorisme, yang diidentikan dengan kelompok Islam, menjadi kemenangan tahap awal, setidaknya dalam menciptakan alasan (justification) untuk penaklukan secara militer (baca: penjajahan yang terlegalkan) terhadap negara-negara yang diduga menjadi sarang teroris dan pendukung terorisme. Dan, negara-negara yang dimaksud oleh Amerika Serikat sebagai “dedengkot” kaum liberalis-kapitalis adalah negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas Islam yang memiliki kekayaan minyak bumi yang sangat besar, seperti Indonesia, Irak, Afghanistan dan negara-negara lain yang memiliki karakteristik yang sama, yang kemungkinan besar akan menjadi sasaran berikutnya.
Penaklukan negara-negara yang diduga sarang teroris atau pendukung terorisme hanya merupakan sasaran antara, atau sasaran sementara, dimana negara-negara hasil taklukan tersebut “dipaksa” mengadopsi liberalisme-kapitalisme. Sehingga, negara-negara liberalis-kapitalis menjadi lebih mudah untuk mengeruk minyak bumi dan berbagai sumber daya alam sebagai bahan baku produksi kaum kapitalis, baik secara terang-terangan maupun dengan cara yang lebih halus seperti pemberlakuan perdagangan bebas bagi negara-negara hasil taklukan tersebut, yang secara riil kekuatan ekonominya masih sangat lemah.
Karenanya, upaya mengkaitkan keterlibatan Osama Bin Laden dalam kasus WTC dengan pembantaian masyarakat muslim Afghanistan yang kemudian diikuti dengan pembentukan pemerintahan versi AS, dapat dipahami sebagai upaya kaum liberalis-kapitalis dalam mengejar dua kepentingan utama, yakni hegemoni politik atas masyarakat internasional dan penyediaan minyak bumi bagi kaum kapitalis barat. Lalu, apakah Indonesia akan mengalami hal serupa, setelah AS mengkaitkan keterlibatan Abu Bakar Baasyir dalam kegiatan-kegiatan terorisme selama ini ? Wallahu’alam.
Lampung, 2002/2003
Ttd.
Robi Nurhadi
————————————————
Jl. I Gusti Ngurah Rai 62 Jakarta Timur 13470
Telp. 021-92711085 HP +6281317563401
No. Rek 125-00-04325151-5 Bank Mandiri KCP Jakarta Kawasan Industri Pulogadung