Jatuhnya Pemerintahan: Kasus Belanda dan Kita (Bagian Pertama dari 2 Tulisan)
Rabu, 18 November 2009Jatuhnya Pemerintahan: Kasus Belanda dan Kita (Bagian Pertama dari 2 Tulisan)
Gunaryadi
Tanpa letusan senjata, siaga-satu, dan tidak ada demonstrasi besar-besaran di Den Haag, Kabinet Balkenende II resmi jatuh, 30 Juni 2006. Kondisi terburuk itu tidak bisa dihindari setelah partai kecil anggota koalisi D66 menarik dukungan dari Kabinet PM Jan Peter Balkenende. Koalisi Balkenende II ini terdiri dari Partai Kristen Demokrat (CDA), Partai Liberal (VVD) dan D66. Sebelumnya, Kabinet Balkenende I yang terdiri dari koalisi CDA, VVD, dan LPF (partai yang didirikan tokoh populis, Pim Fortuyn) demisioner bulan Oktober 2002 akibat kisruh antara 2 menteri kabinet dari partai yang berbeda.
Pemicu jatuhnya kabinet kali ini adalah akibat “blunder” yang bermula dari kebijakan Menteri Urusan Orang Asing dan Integrasi, Rita Verdonk yang menarik kembali keputusannya untuk mencabut kewarganegaraan anggota parlemen (Tweede Kamer) asal Somalia, Ayaan Hirsi Ali yang diduga memalsukan nama dan tanggal lahirnya ketika mengajukan izin tinggal di Belanda.
Dalam kondisi normal di Belanda yang menggunakan sistem demokrasi parlementer, ketika kabinet jatuh, biasanya disusul dengan pemilu legislatif dalam jangka waktu 3 bulan. Dalam kondisi tersebut, kabinet menjadi demisioner dan lebih banyak berkonsentrasi menyiapkan pemilu berikutnya.
Tetapi kali ini, tuntutan pihak oposisi agar kabinet demisioner berhasil ditepis oleh PM Balkenende dengan strategi rompkabinet atau kabinet dengan dukungan minoritas di parlemen tetapi dengan mandat penuh. Keberhasilan ini berkat mediasi oleh Ruud Lubbers, politisi senior CDA yang juga mantan Komisaris Tinggi UNHCR, sehingga melahirkan Kabinet Balkenende III. Kali ini, kabinet hanya diisi oleh CDA dan VVD, tanpa mitra yang lain.
Praktis konstelasi Kabinet Balkenende III tidak jauh berbeda dari kabinet sebelumnya. Perubahan hanya terjadi pada 2 posisi menteri dan 1 jabatan deputi menteri yang ditinggalkan D66, yang diganti oleh 1 menteri dari CDA, 1 menteri dan 1 deputi menteri oleh politisi VVD.
Pemilu disepakati untuk diadakan tanggal 22 November 2006. Lubbers mengingatkan agar kabinet yang baru untuk lebih bisa menahan diri. Wanti-wanti Lubbers itu wajar karena tanpa dukungan mayoritas di parlemen, Kabinet Balkenende III akan sulit mengambil kebijakan atau membahas isu-isu yang berpotensi tidak didukung oleh partai oposisi.
Di balik keengganan PM Balkenende yang alih-alih mendemisionerkan kabinetnya tetapi malah segera membentuk rompkabinet, setidaknya terdapat 2 alasan utama. Pertama, Kabinet Balkenende III yang fungsional harus menyusun APBN 2007 (Prinsjesdag), September 2006. Hal itu berkaitan dengan trend perbaikan ekonomi Belanda pasca pemilu 2002 yang berhasil dibangun oleh Kabinet Balkenende sebelumnya. Masuk akal kalau pihak berkuasa keberatan melepaskan begitu saja masa panen ekonomi tersebut.
Kedua, terbentuknya Kabinet Balkenende III berhasil memundurkan jadwal pemilu 2 bulan dari kelaziman sehingga tersedia cukup waktu bagi partai berkuasa untuk mempertahankan atau menambah perolehan suara mereka dalam pemilu. Mengapa? Karena menurut jajak pendapat dan hasil pemilu tingkat daerah beberapa bulan yang lalu, Partai Buruh (PvdA) yang saat ini menjadi oposisi diperkirakan bisa memperoleh suara terbanyak jika pemilu dipercepat. Andaikan PvdA dan koalisi kiri yang berkuasa, ada potensi mereka mengubah kebijakan yang selama ini diambil oleh koalisi CDA dan VVD seperti pengiriman misi keamanan dan rekonstruksi ke Uruzgan di Afghanistan yang disetujui secara mayoritas di parlemen 2 Februari 2006, atau pengadaan Joint Strike Fighter di mana Belanda juga terlibat dalam proyek pengembangan dan menominasi pesawat tempur canggih tersebut untuk menggantikan armada F-16 angkatan udaranya.
Bagi Indonesia, dampak langsung dari kejatuhan Kabinet Balkenende II adalah pembatalan misi Deputi Menteri Bidang Pendidikan, Budaya dan Sains, Medy van der Laan dari D66 yang baru saja menginjakkan kaki di Jakarta membawa delegasi pejabat dan wakil berbagai lembaga budaya Belanda yang sedang berkunjung ke Indonesia. Karena Jum’at, 30 Juni 2006 seluruh penerbangan ke Belanda penuh, baru keesokan harinya Van der Laan bisa pulang. Selain itu, diperkirakan tidak ada dampak yang serius terhadap hubungan Indonesia-Belanda yang saat ini semakin membaik.
(Staf KBRI di Den Haag. Tulisan ini adalah pendapat pribadi)