MEMBENAR-BENARKAN DIRI
Jumat, 21 Februari 2014Oleh : Drs. H. Teguh Triono
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. “(Apa yang telah kami ceritakan itu) itulah yang benar yang datang dari Tuhanmu karena itu janganlah kamu termasuk orang yang ragu-ragu” (QS. Ali Imron : 60).
Saat ini benar-benar banyak orang yang mengaku dirinya benar, bahkan paling benar. Siapapun berupaya belajar makin jujur di tengah masyarakat sekarang yang makin kritis dan berani membela kepentingan yang menurutnya benar. Beragam ekspresi dari sekedar orasi, konvoi sampai kepada tindakan anarki ditampilkan dalam rangka keinginan untuk mendapatkan pengakuan (legitimate) kepada publik atas konsep kebenaran yang diyakini kebenarannya. Apakah hal itu atas nama idividu, organisasi, agama dan lain-lain; atau apakah akan menggangu atau bahkan merugikan pihak lain. Tidak menjadi soal. Yang penting berani bersuara lantang, bila perlu terkesan menantang. Subhaanallah.
Dalam konteks keindonesiaan: persatuan dan kesatuan, berbangsa dan bernegara, adalah harga mati yang harus dibela sampai titik darah penghabisan. Bangsa ini makin diuji dengan pelbagai masalah di tengah kebhinekaannya. Perbedaan antar sesama, antar pihak, antar golongan, antar kampung, antar suku, antar agama, antar ras serta antar yang lain, sering menyulut dan memicu perdebatan yang berujung pada konflik baik fisik maupun non fisik.
Qaulun ‘Arabi/Peribahasa Arab: Kullu khizbin bimaa ladaihim faarikhuun (siapapun akan membela dan membanggakan suku, kelompok dan golongannya). Bermula dari pembelaan yang membabi buta atas konsep kebenaran sesuai versinya dan meniadakan kebenaran versi lain yang berujung pada perseteruan. Perseteruan dan dendam yang tak memandang waktu, tempat maupun dengan siapa. Konflik dan pergulatan yang tak sehat akhir-akhir ini muncul ke permukaan akibat dari pembelaan atas konsep kebenaran yang diyakini kebenarannya.
Persoalan bangsa terakhir ini memang belum tampak ada tanda-tanda perbaikan, kendati upaya kearah itu telah, sedang dan akan ditempuh dengan beribu jalan dan metode penyelesaian. Krisis ekonomi, politik, hukum, keamanan, hak asasi manusia dan sebagainya menjadi sorotan paling tajam di era sekarang ini. Masyarakat makin sensitif setiap isu apapun yang berkembang, tak terkecuali isu-isu ringan yang sebenarnya tidak penting untuk diangkat ke permukaan. Ini adalah bagian dari ekspresi pihak-pihak dalam mencari, menemukan dan membela kebenaran.
Rasulullah saw, mengutuk sahabatnya yang munafik karena dianggap masih mengedepankan unsur “ras” kesukuan di dalam Islam. Suku saat itu menjadi kendala paling pokok mengikis kemunafikan. Sebab masyarakat jahiliyah benar-benar menganggap suku adalah bagian dari gengsi dan harga diri bahkan pretise. Takluk terhadap suku lain berarti hilang ketiganya. Kemunafikan dapat bermula dari membela ketiga sendi yang amat pribadi itu. Artinya, kepentingan yang lebih luas, abadi dan berjangka panjang lebih dikorbankan untuk kepentingan yang sangat sederhana, pribadi dan sesaat. Lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongannya, membenarkan suara dan aspirasi yang seolah membela kepentingan rakyat padahal sebenarnya membodohi rakyat.
Rasulullah saw, sangat mengedepankan kepentingan yang lebih luhur, luas dan abadi dan universal yakni agama (baca : Islam) dan kebangsaan. Ditanamkan olehnya, bahwa Islam adalah agama tauhid yang tidak sekedar bermakna Esa (mengesakan Allah), tetapi tauhid juga bermakna esa dalam pengertian persatuan, kesatuan dari bermacam-macam suku, agama, ras dan kebhinekaan lain yang terpecah belah. Suku tetap dibanggakan dan dijunjung tinggi tetapi tetap dalam koridor keumatan. Solidaritas, kegotongroyongan dan kebersamaan anak bangsa dari suku, ras, agama yang beragam adalah wujud dari ajaran Rasulullah yang menjunjung tinggi konsep tauhid yang bermakna keluhuran, obyektifitas dan universalitas yang dibingkai oleh kesatuan dari keanekaragaman. Konsep tauhid melibas semua anggapan yang sederhana dan sempit yaitu sekedar pemahaman dalam konsep theologis dan ‘ubudiyah (ketuhanan dan peribadatan) semata, melainkan lebih kepada konsep basyariyyah dan wathoniyyah (urusan berbangsa dan bernegara).
Rasulullah saw pun, mengikis habis tabiat para sahabatnya yang berlagak sebagai penolong, penderma, penyantun yang mengarah kepada sikap dan sifat kepahlawanan di mata orang banyak. Tabiat yang justru mencelakakan pengikutnya yang saat itu masih labil akidahnya, menjadikan beliau malah “pasrah” dalam pengertian tidak dilarang untuk menerima sesuatu yang materiil dari orang lain, namun Rasulullah dengan kepekaannya yang tinggi menerapkan kiat pendekatan moral kepada sang “pahlawan”. Strategi dakwah Rasulullah tersebut secara moril mengangkat gengsi, harga diri dan prestise etnis tidak pernah merasa direndahkan, tetapi “pengangkatan” kembali sebagai sahabat yang sempat “membelot” kembali kepangkuan ajaran Muhammad saw.
Barangkali kisah kasus di zaman Rasulullah di atas menjadi cermin di zaman sekarang ini. Khususnya, bangsa yang kini sangat merindukan figure yang memiliki kepekaan utuh, obyektif , universal dan berbasis keumatan. Namun sayang, kepekaan yang ada sekarang hanyalah kepekaan sepihak yang justru mudah membakar emosi. Terlihat banyak sudah, bermula dari argumentasi membela kebenaran tetapi ujung-ujungnya tak lain hanyalah egoisme kepentingan. Seolah mengangkat hak atau malah sampai bersuara demi kepentingan ini dan itunya, tetapi sebenarnya sudah menyimpang dari substansi permasalahan yang sebenarnya. Bila kita pertanyakan besama : Pertanda era (zaman) apa sekarang ini?
Pembaca setia……
Siapa pun berhak dan berkepentingan terhadap kebenaran. Tetapi, perlu kita sikapi bahwa ada kebenaran semu dan ada kebenaran hakiki. Kebenaran pertama dimiliki oleh manusia (makhluk) dan yang kedua hanyalah Allah SWT. Al-Qur’an surat kedua (Al-Baqarah) ayat 147 “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu-ragu”. Surat ketiga (Ali Imran) ayat 60 sebagaimana dikutip di awal tulisan ini menyatakan dengan jelas bahwa kebenaran yang benar (karena ada yang tidak benar tapi dibenar-benarkan) hanyalah dari Allah SWT. Logikanya, ketika seseorang menyatakan sesuatu yang mampu difikirkan tentang kebenaran sesungguhnya ia hanyalah membenar-benarkan atau mereka-reka arah pikiran atau penemuannya, tentu di balik itu ia pun berharap benar pula menurut Allah SWT (benar secara hakiki).
Konsep kebenaran, sebenarnya telah dikemas oleh Allah SWT. Dia (Allah) telah merumuskan dan mendesain dengan ke-Mahabenaran-Nya. Manusia dalam banyak hal mengklaim kebenaran yang ditemukan dan dibawanya ke hadapan sesama tanpa “dishohihkan” terlebih dahulu dengan orang lain (apalagi kepada Allah). Oleh sebab itu, banyak kejadian dari suatu sebab akibat terjadinya missconseption yang berakibat kepada kecenderungan menyalahkan pihak lain (mengambinghitamkan) yang dalam bahasa agama disebut meng-ghibah orang lain. Atau untuk menghindarkan pemojokan pihak lain yang lebih kritis maka berlindung dibalik kecerdikannya bersilat lidah dan berupaya merasionalisasikan statemen-statmen yang dilontarkannya sehingga berhasil menutupi aib dan kekurangannya. Inilah upaya membenar-benarkan diri.
Na’udzubillahi min dzalik.