PEMBAHARUAN HUKUM MENGENAI REHABILTASI TERPADU BAGI PERSONEL TNI PENYANDANG DISABILITAS DENGAN METODE REGULATORY IMPACT ASSESSMENT DI PUSREHAB KEMHAN

Rabu, 24 Juli 2024

ditulis oleh

Kolonel CKM Syahrial, SKM., M.KES,, C.FrA

Analis Kebijakan Madya Bidang Rehabilitasi Terpadu

Penyandang Disabilitas Pusrehab Kemhan

  1. Pendahuluan

Disabilitas didefinisikan sebagai kondisi yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Jenis disabilitas dapat bervariasi, termasuk yang bersifat fisik, kognitif, mental, sensorik, emosional, perkembangan, atau kombinasi dari beberapa jenis tersebut. Penyandang disabilitas diartikan sebagai individu yang mengalami kondisi rusak atau terganggu karena gangguan pada tulang, otot, dan sendi yang menghambat fungsi normal mereka. Keadaan ini juga dapat didefinisikan sebagai situasi yang menghalangi individu dalam melakukan aktivitasnya karena adanya kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam pendidikan dan hidup mandiri. Faktor penyebab disabilitas dapat berasal dari kecelakaan, penyakit, atau kelainan bawaan sejak lahir.1

UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, diatur berbagai hak konstitusional warga negara, seperti hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak2 sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD NRI 1945, serta hak untuk mendapatkan pendidikan3 sebagaimana diatur dalam Pasal 31. Hak konstitusional sering dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), karena keduanya dianggap sebagai hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak konstitusional (constitutional rights) dibedakan dengan hak lain yang terdapat dalam undang-undang khusus (statutory rights).

Rehabilitasi terpadu, yang diterapkan oleh Pusrehab Kemhan, merupakan pendekatan komprehensif dalam memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas di kalangan personel TNI. Program ini mencakup aspek medis, psikososial, dan vokasional, dengan tujuan mengembangkan kembali kemampuan fisik, keterampilan, dan kemandirian sosial mereka. Pusrehab Kemhan bertanggung jawab atas penyusunan kebijakan, standar, dan prosedur rehabilitasi, serta pelaksanaan program, evaluasi, dan pengelolaan data. Sementara itu, rehabilitasi sosial berfokus pada mendukung reintegrasi sosial dan psikologis personel TNI di masyarakat. Keberhasilan program ini juga sangat tergantung pada adanya kerangka hukum yang memadai untuk melindungi hak-hak hukum mereka dalam jangka panjang.

Pembentukan regulasi khusus mengenai rehabilitasi terpadu bagi personel TNI yang disandang disabilitas diharapkan menjadi langkah penting dalam mewujudkan inklusi sosial, menghormati martabat dan hak asasi manusia, serta meningkatkan kualitas hidup mereka. Langkah ini juga sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mematuhi berbagai instrumen hukum internasional yang melindungi hak-hak penyandang disabilitas, termasuk Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas PBB. Dengan memperhatikan tantangan dan peluang yang dihadapi, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlunya dan implikasi pembentukan pengaturan khusus mengenai rehabilitasi terpadu bagi personel TNI penyandang disabilitas dalam konteks pembaharuan hukum di Indonesia dengan metode Regulatory Impact Assessment (RIA).

Regulatory Impact Assessment (RIA) digunakan untuk menilai relevansi regulasi dengan kebutuhan masyarakat dan tujuan kebijakan, intervensi pemerintah diperlukan atau tidak, efisiensi antara masukan dan keluaran, efektivitas mencapai tujuan kebijakan, serta keberlanjutan hasil dari perspektif masyarakat sebelum dan setelah penerapan atau perubahan regulasi. Dengan menerapkan Regulatory Impact Assessment (RIA), diharapkan regulasi yang ada dapat ditingkatkan, memberikan dukungan yang lebih baik bagi iklim usaha, terutama dalam hal regulasi yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, serta menciptakan harmonisasi regulasi secara keseluruhan yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.4 Dengan demikian, terdapat rumusan masalah yang akan dibahas, yaitu:

  1. Bagaimana pembaharuan hukum pengaturan mengenai rehabiltasi terpadu bagi personel TNI penyandang disabilitas?

  2. Bagaimana implementasi regulatory impact assessment (RIA) dalam pengaturan mengenai rehabiltasi terpadu bagi personel TNI penyandang disabilitas?

  1. Pembahasan

  1. Pembaharuan Hukum Pengaturan Mengenai Rehabiltasi Terpadu Bagi Personel TNI Penyandang Disabilitas

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (yang selanjutnya disebut “UU Penyandang Disabilitas”), disebutkan pengertian tentang penghormatan, perlindungan, pemenuhan, serta pemberdayaan untuk menjamin kesetaraan peluang. Pemenuhan dalam UU Penyandang Disabilitas adalah upaya yang dilakukan untuk memenuhi, melaksanakan, dan mewujudkan hak Penyandang Disabilitas.5 Kemudian, pemberdayaan dalam UU Penyandang Disabilitas adalah upaya untuk menguatkan keberadaan Penyandang Disabilitas dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan potensi sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi individu atau kelompok Penyandang Disabilitas yang tangguh dan mandiri.6 Kedua hal tersebut dapat dicapai melalui rehabilitasi terpadu, khususnya dalam hal ini adalah bagi personel TNI penyandang disabilitas. Perlakuan khusus bagi Penyandang Disabilitas dipandang sebagai upaya maksimal dalam penghormatan, pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia secara universal sebagai bagian dari warga negara untuk melindungi mereka dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia.7

Kemudian, pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2020 tentang Layanan Habilitasi dan Rehabilitasi bagi Penyandang Disabilitas (yang selanjutnya disebut “PP 75/2020”) telah diatur mengenai rehabilitasi bagi penyandang disabilitas secara umum. Dalam Pasal 20 Ayat (1) layanan rehabilitasi dilakukan dengan memberikan pelatihan, bimbingan, dan pendampingan.8 Rehabilitasi yang diatur dalam PP 75/2020 tersebut bukanlah khusus bagi personel TNI penyandang disabilitas, namun berlaku secara umum.

Pada dasarnya personel TNI penyandang disabilitas adalah prajurit TNI termasuk prajurit siswa yang menderita cacat fisik atau mental sebagai akibat menjalankan dinas maupun bukan karena dinas. Keadaan ini dapat menjadi rintangan atau hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak. Personel TNI penyandang disabilitas merupakan penyandang disabilitas yang terjadi akibat dari pelaksanaan tugasnya sebagai abdi negara.9

Personel TNI penyandang disabilitas tetap perlu diwujudkan kesejahteraannya sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Perwujudan kesejahteraan tersebut telah didorong dengan adanya UU Penyandang Disabilitas, Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2007 tentang Santunan dan Tunjangan Cacat Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2011, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2015 tentang Asuransi Sosial Prajurit TNI Anggota POLRI dan Pegawai Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Republik Indonesia yang sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2020, serta Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian dan Tunjangan Cacat Prajurit Tentara Nasional Indonesia (yang selanjutnya disebut “Permenhan 11/2016”).

Pada Pasal 11 UU Penyandang Disabilitas, menyatakan bahwa hak penyandang disabilitas, di antaranya, tidak boleh dicabut karena alasan disabilitas. Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan kembali terhadap Peraturan atau Kebijakan yang telah diterbitkan sebelumnya untuk menghindari kontroversi di lapangan bagi penyandang disabilitas personel Kemhan dan TNI. Salah satu kebijakan yang dimaksud adalah ST Panglima Nomor: ST/227/2016, tanggal 23 Februari 2016, yang memerintahkan agar prajurit penyandang cacat tingkat III dan II harus diberhentikan dari dinas keprajuritan. Namun, kebijakan tersebut tidak sejalan dengan kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan, yaitu Pasal 3 Permenhan 11/2016, yang menyatakan bahwa prajurit penyandang cacat tingkat II yang masih mampu melakukan pekerjaan atau tugas kedinasan tidak boleh diberhentikan dari dinas keprajuritan, dan prajurit penyandang cacat tingkat III yang berprestasi atau memiliki keterampilan yang dapat dimanfaatkan oleh satuan dapat dipertimbangkan oleh komandan/kasatker untuk tetap menjalankan dinas keprajuritan.10

Pembentukan Peraturan Menteri Pertahanan RI berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. Landasan filosofis terbentuknya Peraturan Menteri Pertahanan RI mengenai pedoman pelaksanaan rehabilitasi terpadu bagi personel TNI penyandang disabilitas ini didasarkan pada prinsip hak asasi manusia serta prinsip keadilan dan kesetaraan akses. Pada prinsip hak asasi manusia memberikan pandangan bahwa kebijakan rehabilitasi terpadu harus didasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia yang universal dan menghormati martabat manusia. Setiap personel TNI memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil, layanan kesehatan yang memadai, serta kesempatan untuk memulihkan kesehatan dan kemandiriannya setelah mengalami cacat atau disabilitas.

Kemudian, pada prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan akses harus menjadi dasar pembentukan pedoman rehabilitasi terpadu. Setiap personel TNI penyandang disabilitas harus memiliki akses yang sama terhadap layanan rehabilitasi yang berkualitas tanpa diskriminasi apapun, termasuk akses fisik, finansial, dan informasi. Selain ada landasan filosofis, terdapat juga landasan yuridis atas pembentukan Peraturan Menteri Pertahanan tersebut yaitu pada UUD NRI 1945 telah mengatur mengenai perlindungan hak asasi manusia, kesetaraan di depan hukum, serta kewajiban negara untuk memberikan perlindungan, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk personel TNI penyandang disabilitas. Tidak hanya itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas juga merupakan bentuk perlindungan penyandang disabilitas. Peraturan tersebut menetapkan hak-hak penyandang disabilitas dan kewajiban pemerintah dalam menyediakan aksesibilitas dan pelayanan yang memadai. Namun, kedua aturan tersebut belum optimal bagi personel TNI penyandang disabilitas. Hal ini dikarenakan belum adanya pedoman mengenai pelaksanaan rehabilitasi terpadu bagi personel TNI penyandang disabilitas tersebut.

Selanjutnya, terdapat pula landasan sosiologis dalam pembentukan Peraturan Menteri Pertahanan tersebut, yaitu adanya keterlibatan dalam layanan militer. Personel TNI penyandang disabilitas, seperti halnya penyandang disabilitas di masyarakat umum, memiliki pengalaman sosial yang unik dalam konteks layanan militer. Hal ini mencakup tantangan-tantangan yang mungkin mereka hadapi dalam menjalankan tugas-tugas militer, serta dampak sosial dari cacat atau kecacatan yang mereka alami. Landasan sosiologis pembentukan pedoman rehabilitasi terpadu harus mempertimbangkan stigma dan diskriminasi yang mungkin dihadapi oleh personel TNI penyandang disabilitas dalam lingkungan militer. Persepsi negatif dan stereotip tentang penyandang disabilitas dapat memengaruhi interaksi sosial, dukungan sesama rekan, dan akses terhadap layanan rehabilitasi.

  1. Implementasi Regulatory Impact Assessment (RIA) Dalam Pengaturan Mengenai Rehabiltasi Terpadu Bagi Personel TNI Penyandang Disabilitas

Rehabilitasi terpadu yang diterapkan oleh Pusrehab Kemhan merupakan pendekatan menyeluruh untuk memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas di kalangan personel TNI dan PNS Kemhan. Program ini mencakup aspek medis, psikososial, dan vokasional dengan tujuan mengembangkan kembali kemampuan fisik, keterampilan, dan kemandirian sosial mereka. Pusrehab Kemhan bertanggung jawab atas penyusunan kebijakan, standar, dan prosedur dalam bidang rehabilitasi, serta pelaksanaan program, evaluasi, dan manajemen data. Melalui rehabilitasi medis, mereka memberikan perawatan fisik dan terapi untuk memulihkan fungsi tubuh yang optimal, sementara rehabilitasi vokasional melatih keterampilan seperti teknik otomotif, komputer, dan seni. Sementara itu, rehabilitasi sosial bertujuan untuk mendukung reintegrasi sosial dan psikologis personel TNI di masyarakat. Keberhasilan program ini juga sangat bergantung pada adanya kerangka hukum yang memadai untuk melindungi hak-hak hukum mereka dalam jangka panjang.

Pembaharuan hukum diartikan sebagai suatu proses melakukan pengujian terhadap berbagai rumusan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan terhadapnya diimplementasikan sejumlah perubahan agar dapat tercapai efisiensi, keadilan dan juga kesempatan untuk memperoleh keadilan menurut hukum yang berlaku.11 Personel TNI yang mengalami cacat atau disabilitas dalam menjalankan tugas-tugas mereka memerlukan dukungan rehabilitasi yang memadai untuk memulihkan kesehatan fisik dan mental mereka. Kesejahteraan personel TNI merupakan prioritas utama bagi Kementerian Pertahanan, dan pedoman rehabilitasi terpadu akan memastikan bahwa mereka mendapatkan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal ini sejalan dengan tujuan kebijakan berdasarkan analisis Regulatory Impact Assessment (RIA). Dengan memperhitungkan kondisi yang ada, pembentukan regulasi tersebut bertujuan untuk memastikan perlindungan, kesejahteraan, dan inklusi sosial bagi mereka.

Dalam konteks ini, diperlukan revisi hukum yang khusus dan menyeluruh yang mengatur rehabilitasi terpadu untuk personel TNI yang mengalami disabilitas. Pengaturan hukum yang jelas dan komprehensif akan memberikan landasan yang kuat bagi penyelenggaraan layanan rehabilitasi, menjamin hak-hak dan kebutuhan mereka, serta memastikan bahwa proses rehabilitasi berjalan dengan terintegrasi, efektif, dan berkelanjutan. Saat ini, regulasi yang secara eksplisit yang berkaitan dengan rehabilitasi terpadu untuk personel TNI yang memiliki disabilitas hanya diatur dalam Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kesamaptaan Jasmani Bagi Prajurit TNI dan Kesegaran Jasmani Bagi Pegawai Negeri Sipil Kementerian Pertahanan dengan Status Penyandang Disabilitas.

Fungsi analisis Regulatory Impact Assessment (RIA), yaitu memastikan bahwa pemerintah telah membandingkan semua costs/benefits dan memilih opsi yang paling efisien dan efektif. Pembaharuan hukum mengenai rehabilitasi terpadu bagi personel TNI penyandang disabilitas memiliki sejumlah keuntungan yang signifikan. Pengaturan hukum yang spesifik dan komprehensif akan memberikan dasar yang kuat bagi penyelenggaraan layanan rehabilitasi, memastikan proses rehabilitasi berjalan secara terintegrasi, efektif, dan berkelanjutan. Ini dapat meningkatkan kualitas hidup personel TNI dengan disabilitas, memungkinkan mereka untuk mandiri dan aktif secara sosial. Selain itu, pembaharuan ini akan menjamin pengakuan hukum terhadap hak-hak dan kebutuhan mereka, termasuk akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan keterampilan, dan dukungan sosial. Implementasi yang tepat dari regulasi ini juga dapat mengurangi ketimpangan dalam perlakuan terhadap penyandang disabilitas di lingkungan TNI, menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung.

Berdasarkan analisis manfaat dan biaya sebagai bagian dari Regulatory Impact Assessment (RIA), pembaharuan hukum ini juga bisa menghadapi beberapa tantangan, yaitu perlu adanya alokasi anggaran yang memadai untuk mendukung implementasi program rehabilitasi terpadu ini. Selain itu, penyesuaian teknis dan administratif dalam mengimplementasikan regulasi baru juga dapat menjadi kendala, terutama dalam konteks integrasi sistem yang lebih kompleks untuk memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas. Secara keseluruhan, pembaharuan hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi personel TNI penyandang disabilitas dengan meningkatkan kualitas hidup mereka dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif di dalam institusi militer.

  1. Penutup

  1. Kesimpulan

Kehadiran personel TNI yang mengalami cacat atau disabilitas dalam pelaksanaan tugas mereka memerlukan dukungan rehabilitasi yang efektif untuk memulihkan kesehatan fisik dan mental mereka. Kesejahteraan mereka menjadi fokus utama Kementerian Pertahanan, dengan pedoman rehabilitasi terpadu bertujuan memastikan pelayanan sesuai kebutuhan. Upaya ini selaras dengan tujuan kebijakan berdasarkan analisis Regulatory Impact Assessment (RIA), yang memastikan pemilihan opsi paling efisien dan efektif. Dalam konteks ini, revisi hukum khusus mengenai rehabilitasi terpadu bagi personel TNI yang mengalami disabilitas diperlukan untuk memberikan landasan yang kuat bagi penyelenggaraan layanan, menjamin hak-hak mereka, serta memastikan proses rehabilitasi berlangsung terintegrasi dan berkelanjutan. Meskipun demikian, implementasi regulasi ini dapat menghadapi tantangan seperti alokasi anggaran yang memadai dan penyesuaian teknis-administratif. Namun, secara keseluruhan, pembaharuan hukum ini diharapkan memberikan manfaat jangka panjang dengan meningkatkan kualitas hidup personel TNI penyandang disabilitas dan menciptakan lingkungan yang inklusif di dalam institusi militer.

  1. Saran

Diperlukan langkah untuk meningkatkan pemahaman tentang regulasi yang berlaku bagi personel TNI penyandang disabilitas melalui program rehabilitasi terpadu, sebagaimana berdasarkan analisis Regulatory Impact Assessment (RIA) yang telah dilakukan. Regulasi harus diimplementasikan secara efektif dalam praktik sehari-hari, bukan hanya berhenti pada level teori. Langkah berikutnya yang penting adalah merumuskan Peraturan Menteri Pertahanan RI yang mendetailkan panduan pelaksanaan rehabilitasi terpadu untuk personel TNI penyandang disabilitas. Peraturan ini harus mencakup prosedur rehabilitasi, jenis layanan, SDM yang menangani rehablitasi terpadu, sarana dan prasarana, hak dan kewajiban personel TNI, serta mekanisme pengawasan dan evaluasi agar implementasinya berjalan secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2013.

Majda El Muhtaj, Dimensi HAM Mengenai Hak Ekonomi, Sosial, Budaya, Jakarta: Raja Grafindo, 2008.

Sujihati Soemantri, Psikologi Anak Luar Biasa, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006.

Teguh Prasetyo, Pembaharuan Hukum Perspektif Teori keadilan Bermartabat, Malang: Setara Press, 2017.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2020 tentang Layanan Habilitasi dan Rehabilitasi bagi Penyandang Disabilitas.

Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian dan Tunjangan Cacat Prajurit Tentara Nasional Indonesia.

PUBLIKASI ILMIAH

Erlin Sudawarti, “Kebijakan Penanganan Penyandang Disabilitas Personel Kemhan dan TNI”, Artikel Majalah Wira, Edisi 24 November 2016

Nasokah, “Implementasi Regulatory Impact Assessment (RIA) Sebagai Upaya Menjamin Partisipasi Masyarakat Dalam Penyusunan Peraturan Daerah”, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 15, Juli 2008: 443-458.

1 Sujihati Soemantri, Psikologi Anak Luar Biasa, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006, hal.

2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 27 Ayat (2)

3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 31

4 Nasokah, “Implementasi Regulatory Impact Assessment (RIA) Sebagai Upaya Menjamin Partisipasi Masyarakat Dalam Penyusunan Peraturan Daerah”, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 15, Juli 2008: 443-458, hlm. 454

5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 1 Angka 6

6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 1 Angka 7

7 Majda El Muhtaj, Dimensi HAM Mengenai Hak Ekonomi, Sosial, Budaya, Jakarta: Raja Grafindo, 2008, hal. 273

8 Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2020 tentang Layanan Habilitasi dan Rehabilitasi bagi Penyandang Disabilitas, Pasal 20 Ayat (1)

9 Erlin Sudawarti, “Kebijakan Penanganan Penyandang Disabilitas Personel Kemhan dan TNI”, Artikel Majalah Wira, Edisi 24 November 2016

10 Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian dan Tunjangan Cacat Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Pasal 3

11 Teguh Prasetyo, Pembaharuan Hukum Perspektif Teori keadilan Bermartabat, Malang: Setara Press, 2017, hlm. 6




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia