PENGEMBANGAN TEKNOLOGI REKAYASA KEBUMIAN : TANTANGAN, PELUANG DAN ANCAMAN BAGI INDONESIA
Rabu, 22 Mei 2024Oleh : Gede Priana Dwipratama, S.E., M.M.
Analis Pertahanan Negara Ahli Muda Ditjen Pothan Kemhan
Kejadian kecelakaan helikopter kepresidenan Iran pada 19 Mei 2024 yang mengakibatkan Presiden Iran (Ebrahim Raisi), Menlu Iran (Hossein Amirabdollahian), Gubernur Azerbaijan Timur (Malek Rahmati), Perwakilan Pemimpin Agung Iran untuk Azerbaijan Timur (Mohammad Ali Ale-Hashem), Kepala Pengawal Presiden (Mehdi Mousavi), dan pilot, kopilot, beserta awak helikopter dipercaya disebabkan oleh cuaca ekstrim. Seorang pakar penerbangan dan mantan pilot helikopter Paul Beaver meyakini bahwa tutupan/tudung awan, kabut tebal dan temperatur yang rendah dipastikan ikut menjadi penyebab kecelakaan tersebut. Menurut inet.detik.com (2024), AccuWeather melaporkan prakiraan cuaca per 20 Mei 2024 di Varzaqan Iran berkisar pada suhu 14o C di siang hari, tingkat kelembaban mencapai 72 % dengan tutupan awan menyentuh 91%, dan selama seminggu kedepan diprediksi tutupan awan akan berada di atas 80%. Cuaca ekstrim yang disebabkan oleh pemanasan global menjadi salah satu risiko ancaman bagi semua negara di dunia baik dalam 2 – 10 tahun kedepan. World Economic Forum melalui The Global Risks Report 2024 19th Edition Insight Report merilis peringkat risiko global yang diurutkan berdasarkan tingkat kerusakan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Cuaca ekstrim menjadi salah satu dari 10 risiko global, dimana dalam jangka pendek (2 tahun) cuaca ekstrim menduduki peringkat kedua, dan dalam jangka panjang (10 tahun) menduduki peringkat pertama. Menurut US National Intelligence Council melalui Climate Change and International Responses Increasing Challenges to US National Security Through 2040, komunitas peneliti Amerika Serikat sangat meyakini bahwa temperatur global terus meningkat, dimana sejak masa pre-industrial temperatur global telah meningkat sebesar 1.1o C dan diperkirakan akan terus meningkat menjadi 1.5o C sekitar tahun 2030. Peningkatan temperatur global dapat mengakibatkan fenomena pendinginan udara secara mendatar di permukaan bumi. Sinar matahari memberikan panas lebih cepat di permukaan daratan dibandingkan permukaan laut, dan membuat kelembaban dari permukaan laut bergeser ke daratan. Fenomena tersebut lalu menciptakan kabut (fog) yang mempengaruhi jarak pandang dengan jarak kurang dari 1 km atau kabut tebal (mist) dengan jarak pandang lebih dari 1 km. Kabut baik fog atau mist tentu dapat membahayakan keamanan transportasi udara seperti helikopter. Peningkatan temperatur tidak hanya mengakibatkan fenomena kabut tebal, namun juga cuaca ekstrim lainnya. Geoengineering atau rekayasa kebumian menjadi salah satu pilihan dalam menghadapi ancaman cuaca ekstrim, namun pengembangan dan penerapannya tetap menjadi pro-kontra di dunia internasional.
Policy Horizons Canada melalui Disruptions on the Horizon 2024 Report mengidentifikasi 35 potensi gangguan terhadap Kanada dan negara – negara kawasan, dimana salah satu dari 10 risiko global tersebut merupakan rekayasa kebumian. Menurut Erosion, Technology and Concentration (ETC) Group Canada (2011), rekayasa kebumian merupakan teknologi yang dapat memanipulasi sistem kebumian termasuk sistem yang berhubungan dengan iklim. Menurut Ashel (2023), rekayasa kebumian adalah suatu upaya untuk memanipulasi iklim bumi guna melawan efek pemanasan global. JRC Technical Report European Commission melalui Geo-enginering: A Roadmap Towards International Guidelines 2022 mendefinisikan rekayasa kebumian sebagai proses dimana manusia secara sukarela memanipulasi input energi ke sistem bumi yang akan berdampak pada iklim alami menggunakan suatu teknologi. Rekayasa kebumian mengacu pada serangkaian teknologi baru yang dapat memanipulasi lingkungan dan mengimbangi sebagian dampak perubahan iklim. Gagasan untuk mengintervensi lingkungan secara sukarela dan berskala besar sudah bukan hal yang baru.
Menurut Sacco, Janssens-Maenhout, Galmani & Michael (2022), Amerika Serikat dan Uni Soviet pernah melakukan kerja sama dalam rekayasa cuaca dunia pada awal tahun 1970-an, seperti eksperimen Laut Bering, Polar Experiment (POLEX) dan Arctic Ice Dynamics Joint Experiment (AIDJEX), termasuk melubangi lapisan ozon dengan laser. Eksperimen rekayasa kebumian skala kecil telah mulai dibahas secara lebih terbuka dalam berbagai literatur ilmiah. Iron fertilization project yang dilakukan pada tahun 2012 di wilayah lautan Inggris, Kolombia dan Kanada juga telah membuat banyak peneliti khawatir dan merasa rekayasa kebumian perlu ditangani secara serius. Menurut RAND Corporation Amerika Serikat melalui Climate Control International Legal Mechanisms for Managing the Geopolitical Risks of Geoengineering (2021), rekayasa kebumian menggunakan 2 metode berupa Carbon Dioxide Removal (CDR) atau menghilangkan karbon dioksida (CO2) dan Solar Radiation Management (SRM) atau pengelolaan radiasi matahari. Menurut Secretariat of the Convention on Biological Diversity Canada tentang Geoengineering in Relation to the Convention on Biological Diversity: Technical and Regulatory Matters (2012), CDR bertujuan untuk menghilangkan CO2 sebagai gas utama yang menyebabkan efek rumah kaca di bumi beserta nitrogen oksida (N2O) dan metana (CH4), sedangkan SRM bertujuan untuk meningkatkan jumlah sinar matahari yang dipantulkan kembali ke angkasa dengan harapan dapat lebih mendinginkan planet bumi. SRM menggunakan Stratospheric Aerosol Injection (SAI) yang meniru sistem kerja pendinginan alami bumi akibat erupsi gunung berapi. Aerosol yang paling banyak digunakan dalam SRM merupakan sulfat seperti kandungan bahan kimia hasil erupsi gunung berapi. Menurut Grise, Yonekura, Blake, Desmet, Garg & Preston (2021), penerapan teknologi rekayasa kebumian masih belum diketahui efek sampingnya terhadap sistem bumi. Bagian sistem bumi seperti biosfer, hidrosfer, atmosfer, kriosfer dan geosfer memiliki interkoneksi yang penting satu dengan yang lainnya. Penerapan rekayasa kebumian sejauh ini masih belum jelas dampak negatifnya, termasuk dampaknya terhadap seluruh turunan sistem bumi tersebut.
RAND Corporation menyatakan bahwa rekayasa kebumian berpotensi disalahgunakan seperti mengubah arah politik dalam permasalahan iklim dengan mengizinkan berbagai negara di dunia untuk menerapkan teknologi rekayasa kebumian demi kepentingan global baik di laut lepas, atmosfer ataupun luar angkasa. Menurut Journal of Geography, Environment and Earth Science International France tentang Natural Disaster are Not All Natural (2023), setidaknya 50 negara di dunia telah menggunakan rekayasa kebumian melalui Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), dan RRT menggunakan metode ini di hampir 50% wilayahnya. Uni Emirat Arab melakukan TMC dengan cloud seeding atau penyemaian awan dengan menggunakan drone pada target awan tertentu yang menghasilkan pelepasan listrik melalui laser terkonsentrasi, dan mengumpulkan tetesan air di udara secara paksa sehingga memicu curah hujan yang diinginkan. Menurut Simanjuntak, Purwadi, Belgaman, Renggono, Syaifullah, Adhitya, Thalib, Abdurrahman & Pramana (2022), pemanfaatan TMC dengan penyemaian awan bertujuan untuk mengatasi bencana kekeringan, menambah pasokan air pada waduk untuk menjalankan turbin pembangkit listrik ataupun untuk irigasi. TMC dengan tujuan tersebut telah banyak dilakukan di seluruh dunia. Menurut zerogeongenineering.com (2021), penyemaian awan dapat menggunakan 8 jenis bahan kimia antara lain Silver Iodide (Agl), Potassium Iodide (Kl), Carbon Dioxide (CO2), Propane (C3H8), Calcium Carbide (CAC2), Ammonium Nitrate (NH4NO3), Sodium Chloride (NaCl) dan Urea Compound (CH4N2O). Salah satu bahan kimia yang digunakan untuk penyemaian awan merupakan Silver Iodide (Agl) dimana hujan yang turun diperkirakan juga akan ikut mengandung Silver Iodide (Agl). Menurut US Desert Research Institute melalui Cloud Seeding Program, belum diketahui efek negatif dari Silver Iodide (Agl) baik terhadap manusia maupun binatang dan tumbuhan. Menurut Kempster (1979), tidak ada bahaya langsung dari penggunaan Silver Iodide (Agl) dalam penyemaian awan, namun disarankan agar penyemaian awan yang berkelanjutan memiliki catatan dan laporan yang lengkap dan akurat total massa yang digunakan setiap tahunnya serta total luas area pendistribusiannya.
Berbeda dengan keduanya, menurut Dr. Vandana Rai & Dr. Kaushal Bhavsar (2023), manusia yang terpapar/keracunan Silver Iodide (Agl) dapat mengakibatkan iritasi pada mata, kulit, dan selaput lendir, iritasi gastrointestinal, muntah, diare, batuk dan sesak nafas, kerusakan ginjal, kerusakan otak, ruam atau gatal-gatal, tremor, sakit perut, perubahan warna kulit hingga kematian. Selain Silver Iodide (Agl), bahan kimia lain yang juga banyak digunakan untuk penyemaian awan berupa Sodium Chloride (NaCl). Menurut Wein (2017), asupan Sodium Chloride (NaCl) yang terlalu tinggi dapat meningkatkan tekanan darah, penyakit jantung, struk, gagal ginjal, dan masalah kesehatan lainnya. Menurut Harvard T.H. Chan School of Public Health (2023), kelebihan Sodium Chloride (NaCl) dapat mengakibatkan hypernatremia yang mengakibatkan diare dan disfungsi ginjal. Rekayasa kebumian tidak hanya terbatas pada TMC melalui penyemaian awan. Report to the Congress US General Accounting Office tentang Need For A National Weather Modification Research Program (1974) membagi penelitian tentang TMC sebagai bagian dari meteorologi yang meliputi pengembangan kontrol curah hujan dan salju (precipitation modification), pengembangan metode disipasi awan dingin dan awan hangat (fog and cloud modification), pengembangan teknik untuk menghilangkan hujan es dan mengurangi ukurannya (hail suppression), menentukan karakteristik dasar badai petir yang dapat menyebabkan kebakaran dan pengembangan teknik untuk menekan atau memodifikasi pelepasan petir (lightning modification), menentukan sejauh mana badai dimodifikasi agar dapat bermanfaat (hurricane and serve storm modification), pemantauan konsitituensi atmosfer dan mempelajari pengaruh modifikasinya terhadap cuaca (inadvertent modification). Rekayasa kebumian juga menarik minat sektor pertahanan atau militer berbagai negara di dunia, dan bukan hanya sekedar untuk menciptakan hujan atau memantulkan sinar matahari kembali ke angkasa semata. Menurut senator Amerika Serikat Lyndon B. Johnson (1957), dari luar angkasa seseorang dapat mengendalikan cuaca, menyebabkan kekeringan dan banjir, mengubah pasang surut, menaikan permukaan laut dan membuat iklim menjadi dingin. US Secretary of Defense, William S. Cohen dalam DoD News Briefing tanggal 28 April 1997 menyampaikan adanya laporan terkait potensi eco-type terrorism yang dapat mengubah iklim, memicu terjadinya gempa bumi dan letusan gunung merapi dari jarak jauh menggunakan gelombang elektromagnetik.
Menurut Deruelle (2023), pentagon telah mempelajari sejak tahun 1970-an bagaimana Amerika Serikat dapat mencairkan lapisan es, menimbulkan badai yang merusak, dan menggunakan key environmental instabilities untuk melepaskan energi dalam jumlah besar. Insinyur Uni Soviet juga telah mampu membalikkan aliran sungai pechora yang mengalir melalui Arktik dan menciptakan pedalaman laut. Sejarah mencatat modifikasi cuaca pertama yang dilakukan dalam medan perang atau untuk kepentingan militer merupakan Operasi Pop-Eye yang dilakukan selama Perang Vietnam dengan tujuan memperpanjang musim hujan. Menurut Boger (2009), pengendalian cuaca membuka peluang eksplorasi yang luas bagi sektor pertahanan atau militer, dimana awan dan kabut dapat dimanfaatkan sebagai perisai terhadap suatu serangan militer seperti energi terarah. US Air Command and Staff College melalui Operational Defenses through Weather Control in 2030 (2009) menyampaikan bahwa masa depan nanoteknologi memungkinkan terciptanya formasi awan tebal berbentuk kabut yang berada pada ketinggian rendah (stratus), dimana sistem optik dari senjata energi terarah menjadi tidak efektif. Nanoteknologi juga memfasilitasi fungsi dasar dalam mengukur dan mengubah variabel penting yang diperlukan untuk operasi pengendalian cuaca. Semua metode penerapan senjata energi terarah baik High Power Microwave (HPM) maupun High Energy Laser (HEL) diharapkan dapat digagalkan dengan kekuatan besar droplet yang dihasilkan dari rekayasa kebumian melalui TMC. Menurut Boger (2009), pengendalian cuaca sektor militer terus berkembang luas, dan teknologi masa depan memungkinan pengendalian cuaca secara lebih spesifik dengan menciptakan cuaca, bukan sekedar mengubah cuaca seperti badai, tornado, banjir dan lain sebagainya.
Federation of American Scientist pada tahun 2002 menyatakan bahwa The Russian State Duma mengkhawatirkan Amerika Serikat telah mengembangkan senjata geofisikal integral yang dapat mempengaruhi lapisan terdekat bumi menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi. Menurut Thomas (2015), New-Generation Warfare (NGW) diramalkan dalam bentuk non-tradisional yang dapat menciptakan gempa bumi, angin topan, dan hujan deras atau badai dalam jangka waktu cukup lama sehingga merusak perekonomian dan memperburuk iklim sosio-psikologis di negara – negara yang bertikai. The Foreign Military Studies Office (FMSO) melalui Russia Military Strategy Impacting 21st Century Reform and Geopolitics menyatakan Program Penelitian Auroral Aktif Frekuensi Tinggi oleh Amerika Serikat dapat digunakan untuk memanipulasi cuaca, menciptakan gempa bumi, tsunami, banjir, tornado, dan kekeringan. Col. S.G. Chekinov (Res.) dan Lt. Gen. S.A. Bogdanov (Ret.) dari Rusia sejak tahun 2010 – 2017 telah menerbitkan 13 artikel dalam jurnal Military Thought, dimana salah satunya menyatakan bahwa penggunaan senjata psikologis (ultrasonic) dan senjata iklim/geologi (bagai magnet, tsunami, dan gempa bumi) sedang dipertimbangkan untuk digunakan. Kedua perwira militer Rusia sebagai Doctor of Technical Sciences dan Doctor of Military Sciences tersebut juga membahas bagaimana Amerika Serikat mengembangkan Program Penelitian Auroral Aktif Frekuensi Tinggi yang memancarkan pancaran radio dengan kemampuan menembus bawah tanah dan ke dalam massa air, menemukan bunker atau mematikan rudal balistik dan kapal selam. FMSO melalui Thingking Like A Russian Officer: Basic Factor And Contemporary Thingking On The Nature Of War (2016) menyatakan bahwa sebagian peneliti dari Rusia juga memandang Program Penelitian Auroral Aktif Frekuensi Tinggi dapat memanipulasi cuaca dan menyebabkan bencana (gempa bumi, tsunami, dan lain sebagainya) atau menciptakan badai magnet buatan yang dapat mempengaruhi sistem navigasi dan kondisi psikologis manusia.
Menurut Smith (2017), Inti dari Program Penelitian Auroral Aktif Frekuensi Tinggi merupakan pengembangan kemampuan pemanasan ionosfer yang unik sebagai eksperimen perintis yang diperlukan untuk menilai secara memadai potensi pemanfaatan teknologi peningkatan ionosfer untuk tujuan pertahanan. Menurut Adushkin, Rodionov & Turuntaev (2000), para peneliti telah mengamati bahwa gempa bumi dapat dipicu oleh tindakan manusia. Gempa yang diinduksi atau aktivitas seismik yang disebabkan keterlibatan langsung oleh manusia terdeteksi sebagai akibat dari air mengisi reservoir permukaan yang besar, pengembangan mineral, panas bumi, dan hidrokarbon sumber daya, injeksi limbah, ledakan nuklir bawah tanah dan proyek konstruksi skala besar. Menurut Werholf (2021), operasi rekayasa kebumian dapat berupa modifikasi cuaca dengan ionisasi kimia/elektromagnetik di atmosfer dan tutupan awan plasma. Modifikasi lingkungan/geofisika dengan manipulasi ionosfer untuk mengisi daya, membangun, dan mengarahkan sistem badai serta memanfaatkan kekeringan, banjir, angin topan, putting beliung, gempa bumi untuk modifikasi lingkungan dan keuntungan pihak tertentu, panen lahan untuk perwalian investasi real estate, simulasi/eksperimen matahari. Manipulasi elektromagnetik dengan ionisasi atmosfer, pertanian plasma dan antimatter, the Hutchison Effect dan holografi. Senjata energi terarah oleh militer/intelijen dengan interferometri skalar (pemanas ionosfer, laser/maser, berkas partikel, HPM, dan lain sebagainya), penyelubungan dan deteksi/pengaburan sistem propulsi eksotik. Operasi Pengawasan/Neural dengan kecerdasan buatan, Remote Neural Monitoring (RNM), penargetan Electromagnetic Measurement (EM) terhadap populasi dan individu, gelombang milimeter 5G dan Internet of Things (IoT). Operasi biologis/transhumanisme dengan pengiriman “Hive Mind” Morgellons, pengiriman nanopartikel dari sensor, mikroprosesor, dan teknologi elektro-optik lainnya, rekayasa genetika DNA jarak jauh, menggantikan alam dengan realitas virtual serta deteksi/pengaburan teknologi propulsi eksotik. Meskipun teknologi rekayasa kebumian menjadi pro-kontra dan kontroversi di dunia internasional, namun berbagai negara di dunia tetap terus mengembangkannya.
Menurut Jash (2020), RRT mengalokasikan anggaran 199 million Yuan (US$29.76 million) untuk program modifikasi cuaca pada tahun 2016 dan RRT telah meluncurkan the largest weather-control machine yang di pasang di dataran Tibet sejak tahun 2018. RRT juga secara serius meningkatkan riset dan pengembangan teknologi rekayasa kebumian dengan membentuk 9 lembaga riset dibawah China Meteorogical Administration (CMA) yang meliputi Chinese Academy of Meteorological Sciences dan Research Institute of Urban Meteorology di Beijing, Research Institute of Atmospheric Environment di Shenyang, Research Institute of Desert Meteorology di Urumqi, Shanghai Typhoon Institute di Shanghai, Research Institute of Heavy Rain di Wuhan, Research Institute of Arid Meteorology di Lanzhou, Research Institute of Plateau Meteorology di Chengdu dan Research Institite of Tropical and Marine Meteorology di Guangzhou.
Rekayasa Kebumian melalui TMC bagi Indonesia bukan hal yang baru. Penerapan TMC di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1977. Saat itu, Presiden Soeharto memulai proyek percobaan hujan buatan untuk mendukung sektor pertanian dengan mengisi waduk – waduk strategis baik untuk kebutuhan PLTA atau irigasi. Selain untuk pertanian, TMC juga berperan dalam mitigasi bencana. Operasi TMC bergantung pada musim, kondisi dan potensi awan, dimana jika dalam kondisi kering dan tidak ada potensi awan maka hujan buatan tidak dapat dilakukan. TMC di Indonesia dilaksanakan dengan kerja sama antara BRIN, BMKG, BNPB dan TNI AU. Selain itu, kolaborasi dengan kementerian/lembaga lain, peneliti dan akademisi juga dapat dilibatkan agar dapat mempercepat perhitungan pergerakan cuaca ekstrim. Menurut antaranews.com (2024), Menko Polhukam RI meminta Kasau menyiapkan Alutsista yang telah dimodifikasi dengan alat pengatur cuaca untuk memodifikasi cuaca demi menghindari cuaca kekeringan ekstrim yang berpotensi menyebabkan karhutla. Beberapa contoh operasi TMC yang telah dilakukan di Indonesia seperti pengisian debit air Bendungan Sepaku Semoi, mitigasi bencana kekeringan di Wilayah IKN, pengendalian polusi menggunakan mist generator spraying di Jakarta, mitigasi bencana karhutla, mengantisipasi dampak El Nino sekaligus pengamanan KTT ASEAN ke-42 di Labuan Bajo, pencegahan cuaca ekstrim KTT G20 di Bali, mitigasi cuaca ekstrim MotoGP Mandalika, penyelenggaraan KTT ke-10 World Water Forum (WWF) di Bali dan lain sebagainya. Rekayasa kebumian melalui TMC yang dilakukan di Indonesia lebih banyak pada penyemaian awan dengan tujuan mitigasi bencana cuaca ekstrim/kontrol curah hujan (precipitation modification). Bahan kimia yang disebarkan dilangit akan turun kembali ke bumi bersama dengan air hujan. Pemilihan penggunaan bahan kimia untuk operasi tersebut diharapkan tidak mencemari air hujan yang dikhawatirkan akan memberikan dampak bagi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan. Rekayasa kebumian tidak terbatas pada pengembangan kontrol curah hujan dan salju (precipitation modification). Indonesia diharapkan juga dapat mengembangkan 5 penelitian tentang TMC lainnya yang telah dimulai oleh Amerika Serikat sejak tahun 1974. Rekayasa kebumian terus berkembang luas, melebihi 6 penelitian yang telah dilakukan sejak tahun 1974 tersebut, dan teknologi masa depan memungkinan pengendalian cuaca secara lebih spesifik bukan sekedar mengubah cuaca namun menciptakan cuaca atau bencana seperti gempa bumi, tsunami, badai, tornado, banjir, erupsi gunung berapi, dan lain sebagainya. Kemungkinan pengembangan rekayasa kebumian dengan dampak bencana tersebut juga berada diluar TMC melalui penyemaian awan, dan diluar metode CDR dan SRM yang fokus pada pengelolaan curah hujan dan mengurangi radiasi matahari/mendinginkan bumi akibat pemanasan global. Salah satu dari 9 lembaga riset TMC RRT merupakan Shanghai Typhoon Institute, pembahasan senjata iklim/geologi dalam jurnal Military Thought oleh 2 perwira militer Rusia, The Russian State Duma, sejarah Operasi Pop-Eye dan berbagai literasi ilmiah lainnya menjelaskan adanya kemungkinan pengembangan dan penggunaan TMC sebagai senjata yang dapat menciptakan cuaca atau bencana dengan merekayasa dan memanfaatkan frekuensi serta gelombang elektromagnetik. Hal ini diharapkan dapat menjadi perhatian bagi Indonesia agar dapat mempersiapkan daya tangkal demi melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Marsh McLennan & Zurich Insurance Group (2024). The Global Risks Report 2024 19th Edition Insight Report. World Economic Forum.
Policy Horizons Canada (2024). “Disruptions on the Horizon 2024 Report”.
Weber Marine de Guglielmo, Kabbej Sofia & Boutang Laura Hebbel (2023). “Solar Geoengineering: Geostrategic and Defence Issues”. Institute De Relations Internationales Et Strategiques.
Ashel Hazrati (2023). “Pandangan Aksiologi Terhadap Geoengineering Sebagai Usaha untuk Mengatasi Pemanasan Global”. Jurnal Filsafat Indonesia, Vol. 6 No. 1 Tahun 2023. E-ISSN : 2620-7982.
N Sacco, Janssens-Maenhout G, S Galmarini & Q Michael (2022). “Geo-engineering : A Roadmap Towards International Guidelines”. JRC Technical Report European Commission.
Caplan, Peter (2019). “Weather Modification and War”. Bulletin of Concerned Asian Scholars. Routledge Taylor & Francis Group. ISSN: 0007-4810.
Grise Michelle, Yonekura Emmi, S. Blake Jonathan, Desmet David, Garg Anusree & Lee Preston Benjamin (2021). “Climate Control International Legal Mechanisms for Managing the Geopolitical Risks of Geoengineering”. RAND Corporation.
Dias, Tavares Marcos (2021). “Toxicity, Physiological, Histopathological, Handling, Growth and Antiparasitic Effects of the Sodium Chloride (salt) in the Freshwater Fish Aquaculture”. Aquaculture Research Wiley Brazil.
National Intelligence Council (2021). “National Intelligence Estimate Climate Change and International Responses Increasing Challenges to US National Security Through 2040”.
Jash, Dr. Amrita (2020). “China’s Practice of Weather Modification : Implications for India”. Centre for Land Warfare Studies. Issue Brief No. 215.
V. Adushkin Vitaly, N. Rodionov Vladimir, Turuntaev Sergey (2000). “Seismicity in the Oil Field”. Institute of Dynamics of Geospheres, Russian Academy of Sciences, Moscow, Russia.
Thomas, Timothy (2016). “Thingking Like A Russian Officer: Basic Factor And Contemporary Thingking on the Nature of War”. Open Source, Foreign Perspective, Unconsidered/Understudied Topics.
Thomas, Timothy (2020). “The Chekinov-Bogdanov Commentaries of 2010-2017: What Did They Teach Us About Russia’s New Way of War?”. MITRE USEUCOM ECJ6.
Timothy, L.Thomas (2015). “Russia Military Strategy Impacting 21st Century Reform and Geopolitics. Foreign Military Studies Office (FMSO) Fort Leavenworth KS.
E. Smith, Jerry (2017). “Weather Warfare The Military’s Plan to Draft to Mother Nature”. Kahle/Austin Foundation. ISBN: 9781931882606.
Von Werlhof, Prof. Caludia (2021). “Global WAR-NING: Geoengineering Is Wrecking Our Planet and Humanity”. Global Research Centre for Research on Globalization.
News Transcript : DoD News Briefing : Secretary of Defense William S.Cohen (1997).
Freeland, Elana (2021). “Geoengineering Transhumanism How the Environment has Been Weaponized by Chemicals, Electromagnetism & Nanotechnology for Synthetic Biology”. ISBN : 9780578927060.
Kempset, PL (1979). “the Toxicology of Silver Iodide in Relation to Its Use As a Cloud Seeding Agent”. Departement of Water Affairs Republic of South Africa.
Fisher James, Benner Shawn, Golden Patrick & Edwards Ross (2015). “Silver Toxicity : a Brief Overview”. Literature Review.
Simanjuntak Tarida, Purwadi, A Belgaman Halda, Renggono Findy, Syaifullah M Djazim, Adhitya Krisna, Thalib M Fadhlan, Abdurrahman M Ikhwan & Pramana Ryan (2022). “Desain Konseptual Sistem Penyemaian Awan Dari Darat Dengan Drone Menggunakan Bahan Semai 2-5µm”. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 23 No. 2, 2022: 75-83.
Michael C. Boger, Major, United States Air Force (2009). “Operational Defenses through Weather Control in 2030”. Air Command and Staff College Air University. Maxwell Air Force Base, Alabama.
https://www.kemhan.go.id/pothan/2024/04/25/swarm-drone-tantangan-peluang-dan-ancaman-bagi-indonesia.html
https://www.kemhan.go.id/pothan/2024/02/23/pengembangan-teknologi-semikonduktor-nasional-dan-kemandirian-industri-pertahanan.html
https://www.kemhan.go.id/pothan/2023/10/05/dampak-revolutions-in-military-affairs-rma-terhadap-pengembangan-senjata-gelombang-mikro-berdaya-tinggi.html
https://www.kemhan.go.id/pothan/2023/09/08/potensi-dual-use-disrupsi-teknologi-dalam-mewujudkan-industri-pertahanan-yang-maju-kuat-mandiri-dan-berdaya-saing.html
https://www.kemhan.go.id/pothan/2023/05/02/strategi-five-interdependent-goals-departemen-pertahanan-amerika-serikat-untuk-meraih-freedom-of-action-dalam-spektrum-elektromagnetik.html.
https://forkominhan.id/wp-content/Inhan/edisifebapr2023/mobile/index.html.
https://www.kemhan.go.id/pothan/2023/02/06/potensi-kerja-sama-industri-pertahanan-indonesia-dengan-jepang-dalam-new-domains-of-warfare-studi-pustaka-pada-kebijakan-pertahanan-indonesia-dan-the-defense-of-japan-white-paper-2022.html.
https://brin.go.id/news/
https://www.nytimes.com/1972/07/03/archives
https://zerogeoengineering.com/
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/
https://www.icliniq.com/articles/first-aid-and-emergencies/silver-iodide-toxicity
https://www.dri.edu/cloud-seeding-program/
http://www.un-documents.net/enmod.htm
https://www.nih.gov/news-events/nih-research-matters/how-body-regulates-salt-levels
https://inet.detik.com/science
https://www.aljazeera.com/news/liveblog