SWARM DRONE : TANTANGAN, PELUANG DAN ANCAMAN BAGI INDONESIA
Kamis, 25 April 2024Oleh : Gede Priana Dwipratama, S.E., M.M.
Analis Pertahanan Negara Ahli Muda Set Ditjen Pothan Kemhan
Pesawat terbang tanpa awak atau Drone/Unmanned Air Vehicle (UAV) telah menjadi salah satu senjata game changer perang modern. Fungsi dual-use atau dwiguna dari drone (militer dan sipil) membuat penerapan teknologinya menjadi tak terbatas dan cepat berkembang. NATO Standardization Agreement 4670 – NATO’s guidance for training drone operators membagi drone berdasarkan berat maksimum saat drone mengudara menjadi 3 kelas. Kelas I memiliki berat kurang dari 150 kg, Kelas II memiliki berat antara 150 kg – 600 kg dan Kelas III memiliki berat diatas 600 kg. Menurut Gettinger (2020), drone Kelas I memiliki endurance antara 1 – 3 jam dengan jangkauan maksimum sekitar 80 km, kapasitas muatan 5 kg, dan kecepatan tertinggi 100 km/jam. Drone Kelas I diluncurkan dengan tangan atau rel pneumatik yang dilengkapi dengan elektro-optik dan paket sensor inframerah mencakup pesawat fixed-wing dan rotary-wing. Drone Kelas I mayoritas digunakan untuk melaksanakan misi pengintaian dan pengawasan, namun drone kelas ini juga dapat dipersenjatai dengan senjata hulu ledak kecil yang dapat meledak jika terjadi benturan (loitering munitions).
NATO mendefinisikan Drone Kelas I dalam 3 subkategori (micro, mini dan small). Drone Kelas II (tactical UAVs) memiliki endurance sekitar 10 jam dengan jangkauan maksimum 100 – 200 km, kapasitas muatan hingga 70 kg, dan kecepatan tertinggi dapat mencapai 200 km/jam. Drone Kelas II menggunakan fixed-wing yang biasanya memerlukan landasan pacu kecil dalam peluncurannya. Drone Kelas II dapat dilengkapi dengan beberapa muatan, seperti sensor elektro-optik, inframerah, laser penargetan, dan peralatan komunikasi. Drone Kelas II dapat dilengkapi dengan persenjataan ringan seperti air-to-ground guided missiles yang serupa dengan yang digunakan oleh helikopter serang berawak. Drone Kelas III berupa Medium Altitude Long Endurance (MALE) ataupun High Altitude Long Endurance (HALE) dengan endurance 24 jam atau lebih, kapasitas muatan beberapa ratus kilogram, dan kecepatan tertinggi 300 km/jam atau lebih. Drone Kelas III menggunakan fixed-wing dan dapat beroperasi pada jarak ribuan kilometer atau lebih tergantung peralatan komunikasi yang digunakan serta memerlukan landasan pacu untuk peluncurannya. Drone Kelas III mampu membawa berbagai senjata dan NATO mendefinisikan kelas ini mencakup 3 subkategori (MALE, HALE dan Strike/Combat).
Menurut Gettinger (2020), setidaknya terdapat 12 negara (Argentina, Azerbajain, RRT, India, Iran, Israel, Polandia, Rusia, Korea Selatan, Turki, Inggris dan Amerika Serikat) yang telah mendirikan test sites atau markas operasi untuk drone militer. The Center for the Study of the Drone at Bard College melalui the Drone Databook telah mengidentifikasi 236 bandara termasuk test site di 61 negara. Sebanyak 193 bandara atau test site merupakan markas dari drone dan sebanyak 43 bandara atau test site dicurigai sebagai isolated series dari tempat uji terbang drone. Negara-negara yang telah menggunakan drone militer juga mengalami kenaikan dari 60 negara menjadi 95 negara (periode tahun 2010 – 2019) dan diperkirakan sekitar 30.000 drone telah beroperasi di seluruh dunia. Perancis, Jerman, Italia, Rusia, Uni Emirat Arab, Inggris dan Amerika Serikat memiliki markas drone diluar negaranya dan Amerika Serikat sendiri telah memiliki markas drone di 13 negara. Sebanyak 61 negara menggunakan drone buatan luar negeri (impor), 20 negara menggunakan drone dengan gabungan sistem impor dan domestik, dan 12 negara menggunakan drone yang diproduksi secara mandiri. Selain itu, 19 negara mengekspor drone untuk kepentingan militer dengan sebagian besar sistemnya berasal dari RRT, Israel dan Amerika Serikat.
Menurut Dr. Can & Sine (2022), Israel dan Amerika Serikat mendominasi industri drone militer global sampai dengan saat ini. Pada periode tahun 1990 – 2017, presentase ekspor drone Israel sendiri mendominasi hingga mencapai 60% dari total seluruh transfer drone di dunia. Israel juga memiliki drone squadron pertama dan tertua di dunia. Skuadron ini dibentuk pada tahun 1971 dan masih aktif sampai dengan saat ini (200th Squadron). Setidaknya terdapat 15 negara yang telah menyelenggarakan akademi pelatihan operator drone dan 10 negara telah mengaktifkan sekolah pelatihan UAV. The Drone Databook memperkirakan negara-negara seperti Azerbaijan, Israel, Irak, Iran, Nigeria, Pakistan, Turki, Uni Emirat Arab dan Amerika Serikat telah menggunakan drone untuk melakukan serangan udara. Sebanyak 16 negara diyakini terlibat dalam aktivitas penggunaan drone militer di luar wilayah negaranya dan 8 negara diyakini telah mengoperasikan drone di Irak dan Syria. Menurut Centre For Joint Warfare Studies atau CENJOWS (2021), saat ini berbagai kekuatan militer dunia tengah mengembangkan teknologi swarm drone yang lebih pintar dan lebih otonom dibandingkan dengan predators atau reapers drone. Swarm drone mampu melakukan berbagai hal secara otonom seperti take off dan landing, menjalankan misi penerbangan, mengisi bahan bakar di udara, dan penetrasi ke wilayah pertahanan musuh.
Menurut Jehuda (2019), swarm drone adalah suatu teknologi kendaraan udara tak berawak yang tidak hanya terdiri dari satu kendaraan udara tak berawak tetapi terdapat lebih dari satu kendaraan udara tak berawak yang dapat bergerak dan berkomunikasi secara bersamaan yang pada umumnya modelnya sama dengan spesies hewan saat membentuk suatu formasi. Menurut Damanik (2023), kawanan pesawat nirawak atau swarm drone adalah kumpulan robot terbang yang berkerja bersama untuk mencapai tujuan tertentu, salah satunya adalah perencanaan lintasan untuk bergerak ke posisi tujuan tanpa mengenai penghalang. Menurut Garg (2020), swarm drone merupakan sekumpulan robot udara yang mampu melaksanakan misi kolektif tertentu dan dapat dikendalikan dari jarak jauh atau dikendalikan dengan algoritma otonom. Menurut Lesmana, Permana, Santoso & Infantono (2021), saat ini, drone terutama memenuhi fungsi intelijen, pengawasan, akuisisi target, dan pengintaian. Swarm drone merupakan pesawat terbang tanpa awak dengan kemampuan bekerja secara berkelompok, bekerja sama dan terkoordinasi yang memenuhi fungsi intelijen, pengawasan, akuisisi, pengintaian hingga menyerang dan melumpuhkan target (kamikaze). Swarm drone dapat berkomunikasi dan bergerak bersama-sama membentuk formasi tertentu. Amerika Serikat terus melakukan riset dan pengembangan teknologi swarm drone seperti the Perdix Drone Swarm, the Low Cost UAVs Swarming Technology (LOCUST), the Control Architecture for Robotic Agent Command and Sensing (CARACaS) Systems dan Gremlins Program.
The Perdix Drone Swarm merupakan program pengembangan teknologi swarm drone pada tahun 2016 oleh the United States Strategic Capabilities Office (SCO) dengan meluncurkan 103 unit swarm drone di California menggunakan Pesawat Tempur F/A-18 Super Horrnet. Swarm drone tersebut dikemas dalam kotak kecil dan di ejected melalui flare dispenser dari fighter jet. The Perdix Drone Swarm merupakan pengembangan drone dengan fokus pada hardware. Drone ini menunjukan perilaku yang advanced seperti pengambilan keputusan secara kolektif, membentuk formasi terbang yang adaptif, dan kemamampuan untuk menyembuhkan diri. Perilaku tersebut seperti kawanan organisme hidup dengan satu otak terdistribusi dan mampu saling beradaptasi satu sama lain. Perdix system dalam drone ini saling terkoneksi satu dengan yang lainnya, sehingga dapat secara mandiri membentuk formasi tanpa membutuhkan manajemen mikro dari operator. Selain itu, drone ini juga dapat bereaksi mereformasi suatu pola dalam menyelesaikan misi bahkan jika beberapa sistem mati. Kegagalan 1 unit drone dari kawanan ini tidak akan membuat drone lainnya membatalkan misi.
Program LOCUST lebih berfokus pada software yang digunakan, salah satu produknya berupa Coyote UAVs yang diluncurkan melalui tubelaunched dari sebuah platform yang tidak berbeda dengan anti-ship missile launchers. Sistem LOCUST mampu menembakkan paling sedikit 30 unit Coyote UAVs dalam waktu 40 detik. Setelah diluncurkan, 30 unit Coyote UAVs tersebut kemudian disinkronkan di tengah penerbangan untuk menciptakan kawanan. LOCUST memerlukan biaya yang rendah namun tetap memiliki keunggulan, apabila 1 unit drone hancur, kawanan yang lain secara otonom akan merubah perilakunya secara ofensif untuk menyelesaikan misi. Program CARACaS merupakan pengembangan drone baik hardware maupun software berupa sistem platform-agnostic yang dikembangkan oleh Office of Naval Research (ONR). CARACaS dapat dipasang pada kapal kecil yang mengubahnya menjadi Autonomous Unmanned Surface Vehicles (USVs). Software CARACaS berdasarkan teknologi dari NASA’s Mars Rovers. Gremlins Program dikembangkan oleh the US Defense Advanced Research Project Agency (DARPA) berupa produk X-61A Gremlin Air Launched Drone yang diluncurkan dari Pesawat Kargo C-130 sebagai pesawat induk peluncuran drone. Selain Amerika Serikat, CENJOWS juga menyebutkan negara-negara lain yang secara serius mengembangkan teknologi swarm drone seperti Rusia, RRT, Inggris, Perancis, Israel, Turki, Iran dan India.
Menurut Garg (2020), swarm drone dapat berupa single-layered swarms dimana setiap drone menjadi pemimpinnya sendiri, dan multi-layered swarms dimana setiap lapisannya dipimpin oleh 1 unit drone dan secara berjenjang memberikan laporan kepada pimpinan drone selanjutnya di lapisan yang lebih tinggi. Ground Control Station (GCS) menjadi lapisan tertinggi dalam hierarki multi-layered swarms. Setiap drone akan mengumpulkan dan memproses data secara real-time dan pemrosesan terpusatnya dilakukan di GCS atau bahkan di cloud. Swarm drone memiliki tipe statis dan dinamis. Tipe statis dengan memilih anggota kawanan sebelum pelaksanaan misi. Selama operasi penerbangan, tidak ada drone baru yang dapat ditambahkan dalam kawanan karena misi kolektif telah terkunci di pusat misi. Tipe dinamis memiliki fleksibilitas untuk menambah atau mengurangi drone dari kawanan kapanpun dibutuhkan, baik sebelum dan/atau selama misi dijalankan. Tipe dinamis dibagi menjadi dinamis tertutup dan dinamis terbuka. Tipe dinamis tertutup hanya memungkinkan penambahan drone baru dari organisasi yang sama, sedangkan tipe dinamis terbuka memungkinkan penambahan drone baru dari organisasi pihak ketiga. Tipe dinamis memiliki tantangan dalam pengamanan komunikasi, mutual trust, dan kolaborasi yang unik dibandingkan dengan kawanan tipe statis.
Penggunaan swarm drone memiliki kelebihan berupa biaya perolehan dan pemeliharaan yang lebih rendah dibandingkan dengan drone berukuran besar, lebih tersembunyi dan tidak menghasilkan suara bising dibandingkan drone berukuran besar, memiliki perilaku kawanan sehingga dapat menyelesaikan misi-misi yang kompleks dan sistem multi-UAV yang digunakan dapat memperluas area operasi dengan mudah dibandingkan dengan single drone yang hanya mencakup area terbatas. Jika drone gagal menjalankan suatu misi dalam sistem single drone, maka misi tersebut tidak dapat dilanjutkan. Swarm drone menggunakan sistem multi-UAV dimana kegagalan 1 unit drone dapat digantikan oleh drone yang lain sehingga misi tetap dilanjutkan. Drone dapat ditambahkan atau dikurangi dari kawanan dalam situasi dan kondisi tertentu seperti terjadinya malfungsi pada anggota kawanan, baterai yang hampir habis dan lain sebagainya. Hal ini agar swarm drone mampu beradaptasi jika terjadi perubahan situasi dan kondisi. Swarm drone dapat menyelesaikan misi lebih cepat dan sulit terdeteksi radar (small radar cross-sections). Sistem komunikasi pada swarm drone juga dapat dibagi kepada anggota kawanan. Sebagian anggota kawanan dapat berkomunikasi dengan GCS dan sebagian lainnya dapat berkomunikasi dengan satelit.
Swarm drone menggunakan sistem yang telah dilengkapi anti-jamming dan anti-radiation weapons untuk memblokir rudal hipersonik. Swarm drone juga dapat dengan mudah mendeteksi dan menyerang target. Indian Institute of Technology menyampaikan bahwa swarm drone saat ini masih menggunakan short range communication devices. Hal ini menjadi tantangan bagi para peneliti untuk mengembangkan swarm drone yang lebih canggih di masa depan termasuk pengembangan desain agar dapat menempuh jarak yang lebih jauh lagi. Swarm drone tidak lepas dari penggunaan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) akibat hadirnya Revolusi Industri 4.0. Nilai-nilai etika kecerdasan buatan yang digunakan pada swarm drone membutuhkan kesesuaian dengan hukum humaniter internasional dan konvensi internasional lainnya di bidang pertahanan dan keamanan. Setiap negara yang menggunakan peralatan militer berbasis kecerdasan buatan diharapkan dapat menyatakan pertanggungjawaban atas aksi atau tindakan yang dilakukan oleh kecerdasan buatan. Swarm drone militer memiliki 3 (tiga) pilihan teknologi otonom berupa human in the loop (manusia memegang kendali), human on the loop (manusia mensupervisi) atau human out of the loop (tidak ada peran manusia sama sekali). Swarm drone militer diharapkan menerapkan human in the loop dengan memastikan adanya perangkat untuk mematikan sistem automated weapon (shutdown system), terutama yang bersifat highly automated. Swarm drone sebagai bagian dari Autonomous Weapons Systems (AWS) bisa mengalami error seperti menargetkan warga sipil. Kecerdasan buatan tidak mengenal etika dan moral. Sistem ini hanya bertindak berdasarkan data dan program yang sudah dibuat dan tidak mengenal baik atau jahat. Belum ada jaminan kecerdasan buatan akan memegang prinsip dasar kemanusiaan atau mematuhi hukum humaniter internasional. Kecerdasan buatan pada swarm drone bekerja sesuai algoritma atau program yang dibuat manusia dan sangat bergantung pada input data. Data yang tidak terlindungi dengan baik berisiko tinggi terkena serangan siber sehingga dapat merusak sistem dan dapat menimbulkan konsekuensi yang mengerikan. Pihak musuh dapat meretas sistem kecerdasan buatan pada swarm drone, memasukan data palsu atau data yang salah dalam algoritmanya.
Perpres RI Nomor 8 Tahun 2021 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2020 – 2024 menjelaskan tentang Kebijakan Pembangunan Teknologi dan Industri Pertahanan, dimana pembangunan teknologi pertahanan diarahkan untuk salah satunya menguasai teknologi kunci program prioritas Pesawat Udara Tanpa Awak. Beberapa kementerian dan lembaga juga telah mengeluarkan peraturan dan kebijakan terkait teknologi ini seperti Perpres RI Nomor 38 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Riset Nasional Tahun 2017 – 2045; Lampiran Tabel 4.6, Integrasi Fokus Riset Pertahanan dan Keamanan; Pesawat Tanpa Awak Jangkauan >200 km, Permenhan Nomor 26 Tahun 2016 tentang Sistem Pesawat Terbang Tanpa Awak Untuk Tugas Pertahanan dan Keamanan, Permenhub Nomor PM 37 Tahun 2020 tentang Pengoperasian Pesawat Terbang Tanpa Awak di Ruang Udara Yang Dilayani Indonesia, PP Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Pertahanan Nasional (2015 – 2025) bagian VI.b Program Pengembangan Industri Strategis, Pembentukan Konsorsium PTTA MALE di Tahun 2017 yang terdiri dari PT. Dirgantara Indonesia sebagai lead integrator, PT. Len Industri, BPPT, Lapan, ITB, Kemhan dan TNI AU. Bappenas RI juga telah menerbitkan Peta Jalan Industri Pertahanan Tahun 2020 – 2045 (Tahap I Tahun 2020 – 2024); Bagian 3.3.8 Rencana Penguasaan Teknologi UAV MALE. Peta Jalan Industri Pertahanan tersebut diterbitkan oleh Bappenas pada tahun 2019. Pada tahun 2022, Bappenas RI juga telah menerbitkan Peta Jalan Pengembangan Ekosistem Industri Kedirgantaraan Indonesia Tahun 2020 – 2045; Tabel 5-9, Kelas Pesawat Terbang Nirawak dan Proyeksi Ekonomi Hingga Tahun 2045.
Pembentukan Holding BUMN Industri Pertahanan (Defend ID) dengan fokus yang berbeda – beda dari setiap anggota holding juga dapat menjadi salah satu peluang pengembangan teknologi swarm drone yang mendukung terselenggararanya interoperabilitas Trimatra Terpadu. Pada tahun 2021, Kemen BUMN dan Kemenkeu juga telah memberikan penugasan Program Engineering Pesawat Tempur dan UAV kepada salah satu anggota holding, dalam hal ini PT. Dirgantara Indonesia melalui Buku Putih Industri Pertahanan BUMN; Proyek – proyek Penugasan Pemerintah kepada Anggota Holding. Pengembangan teknologi swarm drone nasional juga membutuhkan peran lintas kementerian dan lembaga yang tergabung dalam keanggotaan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) sebagai leading sector. Keanggotaan KKIP terdiri atas 11 menteri dan kepala lembaga, yaitu Menhan, Menperin, Mendikbudristek, Menkominfo, Menkeu, Kepala Bappenas, Menlu, Panglima TNI dan Kapolri. Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang – Undang telah membuka kesempatan yang lebih luas bagi BUMN dan BUMS agar dapat masuk pada sektor pertahanan sub sektor Industri Pertahanan baik sebagai industri alat utama, industri komponen utama/penunjang dan industri komponen/pendukung. BUMS dapat menjadi pemandu utama (lead integrator) yang menghasilkan Alpalhankam dan/atau mengintegrasikan semua komponen utama, komponen dan bahan baku menjadi alat utama. Kesempatan yang lebih luas bagi BUMN dan BUMS tersebut menjadi salah satu peluang dalam pengembangan teknologi swarm drone nasional secara mandiri. Pengembangan teknologi swarm drone diharapkan dapat terlaksana dengan kolaborasi internasional, mengingat kecerdasan buatan ada didalamnya. Indonesia diharapkan dapat mendukung terlaksananya kerja sama tingkat regional seperti ASEAN untuk mengembangkan panduan dan regulasi terkait penggunaan kecerdasan buatan bidang militer umumnya dan implementasinya pada swarm drone khususnya. Standar internasional yang mengatur penggunaan swarm drone juga penting untuk di adopsi agar dapat memastikan penggunaannya secara etis dan bertanggung jawab.
Pengembangan swarm drone nasional secara mandiri dengan kecerdasan buatan didalamnya merupakan peluang dan tantangan yang perlu ditangani dengan bijaksana dan mewaspadai kerawanan spionase siber. Hal ini dikarenakan Indonesia belum memiliki mesin kecerdasan buatan yang mandiri. Nilai – nilai etika, hukum internasional, dan kepentingan nasional diharapkan dapat menjadi komitmen Indonesia dalam penggunaan dan pengembangan kecerdasan buatan di bidang militer khususnya pada teknologi swarm drone. Regulasi dan kerangka kerja internasional yang kuat diperlukan agar dapat memastikan bahwa swarm drone dengan kecerdasan buatan digunakan secara bertanggung jawab, etis, dan tidak membahayakan umat manusia. Kecerdasan buatan tidak mengerti soal Hukum Konflik Bersenjata (Laws of Armed Conflict), dianggap punya pandangan sempit tentang dunia sehingga gagal menavigasi konflik dan swarm drone berteknologi kecerdasan buatan akan menjadi robot pembunuh. Human Rights Watch mendesak pelarangan unit kecerdasan buatan yang sepenuhnya otonom dengan kemampuan membuat keputusan mematikan, penempatan ranjau, serta peluncuran senjata kimia dan biologi. Swarm drone dengan kecerdasan buatan diharapkan digunakan secara bertanggung jawab, etis, dan tidak membahayakan umat manusia khususnya masyarakat sipil (non-kombatan). Peran manusia tetap dibutuhkan dalam penggunaan kecerdasan buatan dalam sistem persenjataan (human in the loop dan human on the loop). Indonesia juga diharapkan dapat mengembangkan kerangka regulasi yang jelas terkait penggunaan kecerdasan buatan di bidang militer, termasuk kontrol terhadap penggunaan senjata otonom salah satunya jika diterapkan dalam teknologi swarm drone.
DAFTAR PUSTAKA
Perpres RI Nomor 8 Tahun 2021 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2020-2024; Dalam Kebijakan Pembangunan Teknologi dan Industri Pertahanan, Pembangunan teknologi pertahanan diarahkan untuk salah satunya menguasai teknologi kunci program prioritas Pesawat Udara Tanpa Awak.
PP No. 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Indhan Nasional (2015-2035); Bagian VI.b Program Pengembangan Industri Strategis.
Permenhan No. 26 Tahun 2016 tentang Sistem Pesawat Terbang Tanpa Awak Untuk Tugas Pertahanan dan Keamanan.
Permenhub No. PM 37 Tahun 2020 tentang Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara Yang Dilayani Indonesia.
Pembentukan Konsorsium PTTA MALE di Tahun 2017, yang terdiri atas PTDI sebagai Lead Integrator, PT. Len, BPPT, Lapan, ITB, Kemhan dan TNI AU.
Perpres RI Nomor 38 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045; Lampiran Tabel 4.6, integrasi fokus riset Pertahanan dan Keamanan; Pesawat Tanpa Awak jangkauan >200km.
Bappenas 2019 – Peta Jalan Indhan 2020-2045 (TAHAP I 2020-2024); Bagian 3.3.8 Rencana Penguasaan Teknologi UAV MALE.
Kemen BUMN dan Kemenkeu 2021 – Buku Putih Indhan BUMN; Poyek-proyek Penugasan Pemerintah Kepada Anggota Holding, bahwa penugasan diberikan kepada PT Dirgantara Indonesia untuk program engineering pesawat tempur dan UAV.
Bappenas 2022 – Peta Jalan Pengembangan Ekosistem Industri Kedirgantaraan Indonesia 2020-2045; Tabel 5-9, Kelas Pesawat Terbang Nirawak dan Proyeksi Ekonomi Hingga Tahun 2045.
Daniel M. Gerstein, Erin N. Leidy (2024). “Emerging Technology and Risk Analysis: Unmanned Aerial Systems Intelligent Swarm Technology”. Homeland Security Operational Analysis Center US Departement of Homeland Security.
Maj Emilie B. Stewart (2023). “Survey of PRC Drone Swarm Inventions”. China Aerospace Studies Institute.
Nanda Riangga Damanik (2023). “Sistem Perencanaan Lintasan Swarm Drone berbasis Reinforcement Learning”. Universitas Gadjah Mada.
Zachary Kallenborn (2022). “InfoSwarms: Drone Swarms and Information Warfare”. The US Army War College Quarterly: Parameters Volume 52 Number 2 Article 13.
Centre for Joint Warfare Studies (2022). “Advancements in Drone Swarms”.
Dr. Can Kasapoglu & Sine Ozakarasahin (2022). “Drone Warfare: Drone Wars, Defense Economics and Turkey’s Way”. Centre for Economics and Foreign Policy Studies Istanbul Turkey.
Artificial Intelligence in Defence The New Age of Defence Presenting AI Preparedness of the Country in Defence (2022). Departement of Defence Production. Government of India Ministry of Defence.
Denny Lesmana, Yudha Permana, Budi Santoso & Arfian Infantono (2021). “Aplikasi Drone Militer dengan Produk Alutsista Indonesia untuk Over the Horizon Operations”. Prosiding Seminar Nasional Sains Teknologi dan Inovasi Indonesia. AAU. P-ISSN 2086-5805. E-ISSN 2808-2540.
Thomas G. Pledger (2021). “the Role of Drones in Future Terrorist Attacks”. Land Warfare Paper 137. The Association of the United States Army.
Lt Gen (Dr) V.K. Saxena (Retd) (2020). “Swarm Drones Attacker’s Delight, Defender’s Nightmare A Status Report”. Vivekananda International Foundation.
P.K. Garg (2020). “Swarm-Based Unmanned Aerial Vehicles-Roles and Future Potentials”. Civil Engineering Departement Indian Institute of Technology.
Michael Jacob Ephariem Jehuda (2019). “Rancang Bangun Swarm Drone Berbasis Leader-Follower”. Institut Teknologi Sepuluh November (ITS).
Dan Gettinger (2019) “The Drone Databook”. The Center for Study of the Drone at Bard College.
https://www.kemhan.go.id/pothan/2024/02/23/pengembangan-teknologi-semikonduktor-nasional-dan-kemandirian-industri-pertahanan.html
https://www.kemhan.go.id/pothan/2023/10/05/dampak-revolutions-in-military-affairs-rma-terhadap-pengembangan-senjata-gelombang-mikro-berdaya-tinggi.html
https://www.kemhan.go.id/pothan/2023/09/08/potensi-dual-use-disrupsi-teknologi-dalam-mewujudkan-industri-pertahanan-yang-maju-kuat-mandiri-dan-berdaya-saing.html
https://www.kemhan.go.id/pothan/2023/05/02/strategi-five-interdependent-goals-departemen-pertahanan-amerika-serikat-untuk-meraih-freedom-of-action-dalam-spektrum-elektromagnetik.html.
https://forkominhan.id/wp-content/Inhan/edisifebapr2023/mobile/index.html.
https://www.kemhan.go.id/pothan/2023/02/06/potensi-kerja-sama-industri-pertahanan-indonesia-dengan-jepang-dalam-new-domains-of-warfare-studi-pustaka-pada-kebijakan-pertahanan-indonesia-dan-the-defense-of-japan-white-paper-2022.html.