TRANSLATE

Menhan: ISIS dan Segala Macamnya Musuh Negara

Jumat, 18 Desember 2015

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Serangan teroris yang terjadi di Paris, Prancis sejauh ini telah merenggut ratusan jiwa manusia. Serangan yang dilakukan ISIS tersebut mendapat kecaman dari banyak tokoh di dunia, termasuk Menteri Pertahanan (Menhan) Republik Indonesia, Ryamizard Ryacudu.

“Yang bergabung dengan ISIS segala macamnya itu saya rasa tidak punya kesadaran bela negara, musuh negara itu,” kata Ryamizard usai menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Bela Negara di Universitas Pertahanan (Unhan), Sentul, Bogor, Senin (16/11).

Ryamizard mengatakan, setelah terjadi serangan yang tidak manusiawi tersebut, dirinya akan selalu mengantisipasinya agar tidak terjadi di Indonesia. Hal tersebut menurutnya bisa dilakukan dengan menciptakan kesadaran bela negara.

“Kita antisipasi, kalau kita sudah bela negara bagaimana muaranya adalah dia bangga terhadap bangsanya. Kalau cinta, dia akan bekerja untuk apapun untuk bangsa dan negaranya, bila perlu ia korbankan jiwa dan raganya,” katanya.

Belajar dari serangan di Paris, Menteri 65 tahun tersebut mengambil kesimpulan bahwa ancaman berbahaya seperti itu bisa beraneka ragam. Tapi, kata dia, dengan adanya kemantapan bela negara hal itu tidak akan terjadi.

“Dengan adanya kemantapan bela negara itu kita tetap tegak,” ujarnya.

.
Tragedi Paris, Menhan Ryamizard: Ancaman Sangat Nyata di Depan Kita

Jakarta, HanTer – Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menginginkan segera mencetak kader bela negara pascatragedi penembakan dan bom ratusan orang di Paris, Perancis, pada Jumat (13/11) malam.

“Tragedi Paris merupakan refleksi bahwa keberadaan ancaman sangat nyata di depan kita dan selalu menghantui,” kata Ryamizard saat menjadi pembicara kunci di seminar bertajuk Bela Negara Suatu Keniscayaan untuk Bangsa dan Negara, di kampus Universitas Pertahanan Indonesia, komplek Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) Sentul, Bogor, Jawa Barat, seperti dilansir Antara, Selasa (17/11).

Salah satu cara efektif dalam memerangi perang asimetris seperti yang terjadi di Perancis, lanjut dia, adalah dengan cara menerapkan sistem pertahanan rakyat semesta yang berbasis kekuatan rakyat.

“Ini adalah kekuatan yang maha dahsyat,” katanya.

Sebagai negara yang bukan agresor atau yang tak menyerang negara lain, Indonesia harus memiliki pertahanan yang berbasis rakyat banyak. Apalagi Indonesia berada di kawasan yang strategis. Negara-negara lain banyak yang mengintai kekayaan Indonesia.

“Banyak yang ingin adu domba kita dengan sejumlah konflik SARA, atau keinginan segelintir orang yang ingin memisahkan provinsi dari Indonesia. Ini harus kita perangi,” kata mantan kepala staf TNI Angkatan Darat ini.

Oleh karena itu, Menhan ingin masyarakat tak mudah dipengaruhi atau diprovokasi. Tujuan bela negara adalah untuk membentuk wawasan kebangsaan yang kuat bagi masyarakat dan agar tak mudah tercerai-berai.

“Ancaman yang paling nyata saat ini bukan perang terbuka, tapi perang asimetris,” katanya.

Perang asimetris yang dimaksud adalah pemberontakan bersenjata, ancaman teror, serangan cyber, hingga serangan intelijen.

Strategi Pertahanan Non-militer Di tempat yang sama, pengamat militer dari Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, berpendapat Indonesia harus segera merampungkan strategi pertahanan nonmiliter untuk mengantisipasi ancaman di luar ancaman militer, seperti terorisme. Bahkan, bencana asap yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan belakangan ini bisa dikategorikan sebagai ancaman nonmiliter.

“TNI dan Kemhan (Kementerian Pertahanan) saja sudah merumuskan ancaman militer hingga 2024 melalui pembangunan MEF (kekuatan pokok minimal/minimum essential force). Kemungkinan ancaman militer itu sangat kecil terjadi, tapi kita sudah merumuskannya,” katanya.

Dia berharap strategi pertahanan nonmiliter bisa dirumuskan layaknya merumuskan MEF.

“Harusnya bisa karena saat ini draf naskahnya sudah ada di Kemhan. Hanya tinggal menunggu inisiatif kementerian atau lembaga lain untuk menyempurnakannya,” kata mantan Sekretaris Kabinet era kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini.

Namun, rumusan itu tak bisa diimplementasikan karena kementerian dan lembaga lain belum merumuskan strategi nonmiliternya.

“Kementerian/lembaga lain tak menjadikan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara sebagai rujukan. Mereka cenderung memakai UU teknis sehingga tak bisa merumuskan strategi nonmiliter,” katanya.

Sehingga, tambah dia, jangan heran ketika asap mengepung Sumatera dan Kalimantan, tak ada kesamaan pandangan antarkementerian/lembaga dalam mengatasinya. Padahal, ancaman nonmiliter adalah ancaman nyata yang dihadapi setiap negara, termasuk Indonesia.

“Ancaman seperti perang hibrida, perang cyber, atau terorisme, selalu datang setiap waktu. Tercatat, ada 40 ribu serangan cyber setiap harinya ke Indonesia. Negara ini lebih siap menghadapi perang terbuka. Untuk sesuatu yang bisa terjadi setiap saat, kita malah tak rapi mempersiapkannya. Kita tak punya cara menghadapi ancaman yang riil. Kita tak punya perangkatnya. Ini ironis,” papar Andi.

Ia pun berharap pemerintah segera membangun postur pertahanan nonmiliter agar bisa merumuskan dan mengantisipasi ancaman asimetris. Strategi pertahanan nonmiliter relevan dengan sistem pertahanan rakyat semesta yang dianut Indonesia.




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia