TRANSLATE

Seminar di Singapura, Menhan Ryamizard Ungkap Ancaman Terorisme di Asia Tenggara

Senin, 15 Oktober 2018

Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Ryamizard Ryacudu, menghadiri seminar “Counter Terrorism-Inteligence and Informationa Sharing Seminar,” di Singapura, pada 3-4 Oktober 2018. Kehadiran Menhan Ryamizard di sambut hangat oleh Pemerintah Singapura dan Universitas Rajaratnam.

Dalam seminar tersebut, Menhan mengatakan, kecenderungan perkembangan lingkungan strategis saat ini yang senantiasa mengalami perubahan dan semakin sulit diprediksi telah menempatkan perkembangan masa depan dunia dan kawasan menjadi penuh dengan ketidakpastian.

Jarak antar negara, sekarang bukan merupakan penghalang lagi, sementara sifat ketergantungan antar negara dan bangsa semakin besar. Hal inilah yang menjadi dasar keinginan masyarakat dikawasan untuk membangun persatuan dan kerjasama.

“Kedepan, ancaman tidak akan lagi bersifat konvensional atau perang terbuka antar negara, tapi lebih bersifat ancaman realistic, benturan kepentingan yang mengatasnamakan ideologi tertentu dari kelompok masyarakat atau golongan yang termajinalisasi oleh keadaan.” terang Menhan saat menyampaikan sambutannya dalam seminar tersebut.

Hal inilah yang menyebabkan munculnya fenomena ancaman baru yakni Ancaman Nyata. Menurut Menhan Ryamizard, ancaman ini bersifat lebih dinamis dan multi dimensional baik berbentuk fisik maupun non fisik yang dapat muncul dari dalam atau dari luar suatu negara. seperti: Misalnya, Terorisme dan Radikalisme; Separatisme dan Pemberontakan Bersenjata; Bencana alam dan Lingkungan; Pelanggaran Wilayah Perbatasan; Perompakan dan Pencurian Sumber Daya Alam dan Mineral; serta Penyelundupan Bersenjata; Wabah penyakit; Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba; dan Perang Siber dan intelijen.

“Sifat alamiah dari ancaman-ancaman tersebut adalah tidak mengenal batas negara; tidak mengenal Agama; tidak mengenal waktu serta tidak memilih korbannya,” jelasnya.

Dikatakan, terorisme dan radikalisme telah berevolusi menjadi ancaman serius kawasan Asia Tenggara yang sangat nyata pada saat ini dan memerlukan langkah penanganan bersama yang konkret dan serius. Ancaman ini, kata Menhan, merupakan ancaman yang bersifat lintas negara dan memiliki jaringan serta kegiatan yang tersebar dan tertutup sehingga dalam penanganannya sangat memerlukan penanganan kolektif dan tindakan bersama-sama melalui kolaborasi kapabilitas dan interaksi antar negara yang intensif, konstruktif dan konkrit.

“Asia Tenggara, khususnya di Filipina Selatan telah dijadikan sebagai salah satu basis kekuatan ISIS yang ikut memicu aksi-aksi teror lain di kawasan Asia Tenggara. Kelompok ini terus berencana untuk membangun Daulah Islamiyah Katibah Nusantara yang merupakan aliansi dari divisi Islamic State Asia Timur yang merupakan penggabungan antara Islamic State Philipines, Islamic State Malaysia dan Islamic State Indonesia, dibawah kendali struktur ISIS Pusat yang dipimpin oleh Abu Bakar al-Baghdadi yang berbasis di Syiria dan Irak,” beber Menhan

Islamiyyah Katibah Nusantara yang merupakan aliansi dari Divisi Islamic State Asia Timur yang merupakan penggabungan antara Islamic State Phillipines, Islamic State Malaysia dan Islamic State Indonesia dibawah kendali struktur ISIS Pusat yang dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi yang berbasis di Syria dan Irak.

Kondisi terkini anacaman terorisme global terus mengalami evolusi untuk merubah bentuk yang disesuaikan dengan Keadaan. Apa yang disebut sebagai Negara Islam di Irak and Suriah (Islamic State in Iraq and Syria), sekarang terfragmentasi dan terdesentralisasi berkat keberhasilan usaha-usaha koalisi untuk menghancurkan kelompok tersebut.

Menhan mengungkapkan, ideologi dan keberadaan ISIS menyebar ke beberapa belahan Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Fase selanjutnya dari ancaman Islamic State adalah pembentukan berbagai provinsi Islamic State (IS). Islamic State telah mendirikan sebuah nukleus di Filipina untuk Asia Tenggara, Afganistan untuk Asia Selatan, Xinjiang untuk Asia Utara, Chechnya untuk Kaukasus, Yaman untuk Timur Tengah, Nigeria untuk Afrika Barat, Somalia untuk Afrika Timur, dan Libya untuk Afrika Utara.

“Saat ini kita semua di kawasan dan di berbagai belahan di Dunia (Across the globe) sedang menghadapi Potensi Ancaman yang sangat-sangat Nyata yaitu bahaya Ancaman Terorisme dan radikalisme generasi ketiga paska Al-qaeda dan Paska DAESH yang telah dihancurkan di Timur Tengah (Irak dan Syria). Penanganan ancaman ini memerlukan Komitmen dan tindakan bersama yang konkret dan serius,” ujarnya.

Teroris generasi ketiga terbagi dua kelompok besar. Pertama, lanjut Menhan, fase Al-Qaeda-sentris, dimana 400 militan dari wilayah ini mendapatkan pelatihan dan pengalaman di Afganistan dan Pakistan sebelum kembali ke tanah air mereka. Di Thailand, para militan itu membentuk Jemaah Salafiya dan Kumpulan Militan di Malaysia, Jemaah Islamiyah di Singapura dan Indonesia dan Kelompok Abu Sayyaf di Filipina.
Kedua, fase IS-sentris menciptakan kelompok-kelompok seperti Kumpulan Gagak Hitam dan Generasi al Kubro di Malaysia, Jamaah Ansharud Daulah di Indonesia dan Islamic State Lanao (Kelompok Maute), serta IS di Filipina. Saat ini, 63 kelompok di Asia Tenggara telah berba’iat kepada Abu Bakr al Baghdadi dan banyak dari mereka yang bersedia untuk membunuh dan terbunuh demi cita-cita IS.

Beberapa tahun terakhir ini, tambahnya, kita telah menyaksikan serangan Thamrin di Indonesia pada tanggal 14 Januari 2016, serangan klub Movida di Malaysia 28 Juni 2016, dan pengambil alihan seluruh kota Marawi di Filipina tanggal 23 Mei 2017. Rangkaian penangkapan yang tepat waktu juga telah menggagalkan belasan plot-plot serangan lain, termasuk rencana untuk menerbangkan drone berisi ledakan ke markas besar kepolisian di Kuala Lumpur, melancarkan serangan bunuh diri di Istana Negara di Jakarta, dan menembakkan roket ke Marina Bay Sands di Singapura.

Situasi ini tetap serius sekarang – serangan teroris bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Plot-plot serangan yang baru ditemukan juga menguak rencana serangan oleh teroris untuk membuat anthrax dan botulinum di Malaysia dan thorium di Indonesia. Jelas bahwa teroris bertekad untuk mendestabilisasi wilayah kita dan membentuk propinsi kekhalifahan, yang juga dikenal sebagai ‘wilayah’.

“Tidak seperti Al Qaeda dan JI di awal tahun 2000-an yang beroperasi secara tertutup, IS, melalui penggunaan video grafis, ceramah-ceramah, dan metode-metode serangan, telah memilih untuk perang secara terbuka dan tanpa pandang bulu,” ucap Menhan.

Dengan mandat untuk memerintah dan melindungi rakyat, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang kita lakukan, sebagai aparat pemerintah, politisi, dan warga negara yang bertanggung jawab, untuk memitigasi ancaman yang muncul sekarang.

Ancaman Terorisme di Asia Tenggara Bergeser

Menurut Menhan Ryamizard Ryacudu, ancaman terorisme di Asia Tenggara bergeser secara dramatis, ketika kelompok-kelompok di Filipina yang terkait dengan IS mengambil alih Kota Marawi pada 23 Mei 2017. Walaupun rencana IS mendirikan sebuah wilayah di Asia Tenggara sudah terdeteksi sejak 2014, berbagai pihak pemerintah mengabaikan seberapa jauh ancaman IS di wilayah kita. Otoritas kawasan belum melakukan prosedur pertukaran Intelijen yang proposional untuk mencegah jatuhnya kota Marawi ke tangan IS.

Bahkan, kata Menhan, setelah Marawi jatuh, aliran informasi intelijen menjadi berhenti, parsial, atau tidak akurat. Pada Dialog Shangri-La tanggal 3-4 Juni 2017, Menhan Ryamizard, mengatakan, bahwa kekuatan IS di Filipina berkisar antara 1.000 – 2.000 orang, termasuk 40 kombatan dari Indonesia. Ketika dirinya terbang ke Manila pada tanggal 6 Juni 2017, Menhan Ryamizard, diberitahu bahwa kekuatan IS di Marawi hanyalah 50 orang dan didukung oleh jaringan kartel Narkoba sampai hampir 500 personel.

“Saya memberikan rincian kepada pemerintah Filipina mengenai 16 kelompok-kelompok IS dan kekuatan mereka dalam hal numerik.Kelompok-kelompok yang diidentifikasi paling mumpuni adalah IS Sulu dan Basilan dengan 400 – 570 kombatan, Islamic State Lanao (Kelompok Maute) dengan 263 kombatan, Bangsamoro Islamic Freedom Fighters dengan 406 militan dan Ansar Khilafa Mindanao dengan 7-37 militan. Data intelijen tersedia, tetapi terfragmentasi dan walaupun ada tanda-tanda ancaman akan segera datang, tidak ditanggapi secara serius,” kata Menhan.

Pengepungan Marawi adalah sebuah kegagalan para pemimpin pemerintah untuk menghargai pentingnya pengumpulan dan berbagi informasi intelijen. Namun pada akhirnya itu adalah kegagalan untuk bertindak dan kegagalan operasional, yang ternyata sangat menentukan. Setelah pertempuran panjang selama lima bulan di Marawi dan berakhir pada 23 Oktober 2017, Angkatan Bersenjata Filipina mengatakan bahwa 986 terroris terbunuh atau ditangkap.

Menhan mengatakan, dalam peperangan konvensional dan non-konvensional, mengembangkan intelijen dan memastikan kolaborasi adalah kunci. Jika institusi-institusi di bawah Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri berbagi dan bertukar data intelijen, serangan ini bisa dicegah atau diantisipasi.

“Tanpa intelijen yang berkualitas tinggi, pihak-pihak pemerintah akan menghabiskan waktu dan sumber daya mereka dengan mengorbankan nyawa-nyawa berharga yang hilang. Pengambilalihan Marawi menunjukkan bahwa wilayah kita tidak siap untuk gelombang terorisme terkini yang muncul. Ini juga menunjukkan perlunya sebuah arsitektur keamanan baru untuk wilayah Asean,” ucapnya.

Arsitektur Keamanan Baru

Dihadapan peserta seminar, Menhan mengatakan, langkah pertama dari embiro arsitektur keamanan regional adalah perlunya kerangka pembagian intelijen multilateral untuk mendeteksi perjalanan militan asing, pendirian kamp pelatihan, diseminasi propaganda dan perpindahan dana teroris.
Inisiatif mata bersama (Our Eyes Initiative /OEI) muncul bersamaan dengan kunjungan Menhan Ryamizard ke Singapura pada 6 Juli 2017 ketika ia bertemu Menteri Dalam Negeri dan Hukum Singapura K Shanmugam di Universitas Rajaratnam. Pertemuan dengan Menteri K Shanmugam memberikan ia keyakinan untuk membangun sebuah kerangka kolaboratif intelijen.

Kemudian gayung bersambut, pihak Singapura melalui Menteri Shanmugam mendukung proposal Menhan Ryamizard mengenai kerangka regional untuk mengatasi terorisme dan radikalisme, dan berbagi intelijen kontra terorisme. Maka, pada Agustus 2017, Menhan menulis kepada koleganya di wilayah tersebut dan meminta pandangan mereka mengenai peluncuran Our Eyes. Akhirnya semua pihak setuju dengan lima komponen utama yakni menciptakan basis data bersama, pertukaran personel, pelatihan dan operasi bersama, dan yang terakhir, berbagi keahlian, sumber-sumber daya, dan pengalaman.
Menteri Pertahanan Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, dan Brunei setuju untuk membentuk kelompok kerja bersama dan ke depannya, mengundang Myanmar, Vietnam, Kamboja, Laos, untuk bergabung dengan dengan kelompok kerja ini. Sebagai mitra regional, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Jepang, juga setuju untuk bergabung dengan Inisiatif Mata Bersama.

Penembakan dan pemenggalan tawanan, pembakaran gereja, penyanderaan dan penggunaan kaum perempuan yang tertangkap sebagai budak seksual di Marawi adalah sinyal bahwa ideologi dan metodologi IS telah berakar di Asean. Para menteri pertahanan prihatin bahwa ancaman akan menyebar dari Filipina ke Malaysia, Brunei, Indonesia, Singapura, dan Thailand. Negara-negara yang paling terkena dampaknya – Filipina, Indonesia, dan Malaysia-mengembangkan Pengaturan Kerjasama Trilateral (Trilateral Cooperative Arrangement /TCA) yang memutus pembajakan teroris dan penyanderaan di Laut Sulu.

Komponen pertama TCA adalah peluncuran Patroli Maritim Trilaterial [Trilateral Maritime Patrol (TMP)] oleh Indonesia, Malaysia dan Filipina di Tarakan, Indonesia tanggal 19 Juni 2017. Pusat Komando Maritim [Maritime Command Centres (MCC)] didirikan di Tarakan, Tawau di Sabah and Bongao di Filipina. Singapura dan Brunei diundang sebagai pengamat. Singapura menawarkan Pusat Fusi Informasi (IFC) untuk memfasilitasi pembagian informasi maritim untuk TMP. Komponen kedua TCA adalah peluncuran Patroli Udara Trilateral (TAP) oleh Indonesia, Malaysia dan Filipina di Pangkalan Udara Subang di Malaysia pada tanggal 12 Oktober 2017.

Singapura dan Brunei kembali diundang sebagai pengamat. Kami merencanakan komponen ketiga dan keempat – pembinaan dan pelatihan nasional dan gabungan angkatan darat (TTX dan FTX) yang dimulai pada Oktober 2018, dan operasi gabungan pada awal 2019. Menteri-menteri Pertahanan Filipina dan Malaysia sebelumnya telah membentangkan fondasi untuk berkolaborasi, dan Menteri Pertahanan Malaysia yang sekarang Mohamad bin Sabu telah setuju untuk meningkatkan lagi kolaborasi ini.
Hanya dengan bekerja bersama-sama kita bisa membendung aliran dana dan militan ke wilayah kita. Jika kita hanya berpikir kepentingan nasional, kita tidak bisa membuat kemajuan. Pembentukan Inisiatif Mata Bersama berdasarkan pada prinsip bahwa membutuhkan jaringan untuk mengalahkan jaringan.

“Jika teroris di Indonesia, Malaysia, dan Singapura bisa berlatih bersama di Filipina, mengapa kita tidak membina, berlatih, dan beroperasi bersama?,” tutur Menhan.

Pada Pertemuan Menteri-Menteri Pertahanan Asean di Filipina 23 Oktober 2017, ditinjau kembali berbagai tindakan yang telah diambil untuk mencegah penyebaran ancaman teroris dari Mindanao. Para Menteri Pertahanan ketiga negara itu berjanji untuk tidak mengizinkan IS berakar di wilayah ini. Para Menhan menganalisa bahwa IS berkembang di Timur Tengah karena respon yang lemah dari para pemimpin di Timur Tengah. Lalu putuskan untuk mengadopsi respon yang kuat dan berkesinambungan. Walaupun ancaman berkurang setelah Marawi, laporan-laporan harian mengenai insiden di Mindanao menunjukkan ancaman terus berlanjut. Bom bunuh diri di Lamitan, Basilan, oleh militan asing asal Maroko pada tanggal 31 Juli 2018 adalah serangan terakhir yang paling signifikan.

Mengelola Ancaman

Menhan menjelaskan, kita menghadapi ancaman bersama. Cara untuk mangatasi ancaman ini adalah untuk mencari format kerjsama yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak. Sebagai anggota dari keluarga ASEAN, kita sebaiknya bekerja bersama. Tetapi, pergeseran dari kerjasama ke kolaborasi dalam bidang kontra terorisme tetap menjadi sebuah tantangan karena banyak negara kerap memandang hubungan regional dalam lensa geopolitik.

Rencana awal IS adalah untuk mendirikan sebuah wilayah di Poso, Sulawesi Tengah, yang sebelumnya merupakan area konflik. IS Pusat mendukung dan mendanai Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok yang dipimpin oleh Santoso, salah satu pemimpin kelompok teroris pertama di Indonesia yang berbaiat kepada Abu Bakr al Baghdadi. Berkolaborasi dengan polisi, penembak jitu TNI AD membunuh pemimpin IS Indonesia pada 18 Juli 2016.
Tim gabungan Polri dan TNI yang terlibat dalam Operasi Tinombala telah melakukan pengawasan kepada kepemimpinan MIT yang tinggal di hutan rimba selama berminggu-minggu. Sebagai Komandan Kostrad (Army Strategic Command) Indonesia, Menhan telah mempersiapkan prajurit untuk operasi-operasi kontra terorisme dan kontra pemberontakan. Ini merupakan contoh klasik polisi dan TNI AD bekerja bersama dan memberikan hasil. Barulah setelah Indonesia menghancurkan MIT, IS memutuskan untuk mendirikan wilayah di Filipina.

Di Marawi, kerjasama antara polisi dan militer sangatlah penting. Informasi intelijen polisi yang berasal dari tawanan perempuanlah yang membuat unit elit militer angkatan darat mendeteksi lokasi Isnilon Hapilon dan Omarkhayam Maute, pemimpin dan wakil pemimpin IS. Sama halnya dengan jenazah teroris Malaysia Amin Baco dan anaknya yang secara positif telah teridentifikasi karena penegakkan hukum internasional dan kolaborasi militer. Merupakan hal penting untuk dipahami bahwa dalam zona konflik, militer paling sesuai ditempatkan untuk memimpin pertempuran.

Di Marawi, teroris memiliki akses senjata berskala militer, mulai dari senjata siap pakai sampai senapan penembak jitu dan IEDs sampai drone. Lebih jauh lagi, secara ideologi mereka termotivasi keinginan untuk mati. Perlu digarisbawahi, kurang dari belasan teroris menyerah kepada pihak militer di Marawi dan polisi tidak bisa mengatasi ancaman sendirian.
Situasi di Indonesia tidaklah berbeda. Kepercayaan publik setelah serangan teroris di bulan Mei 2018 pulih karena kolobarasi yang lebih erat antara polisi dan militer. Walaupun kurang dari 1% Muslim Asia Tenggara dipengaruhi oleh IS, mereka yang telah terindoktrinasi sangatlah fanatik. Ketika para tahanan yang berafiliasi ke IS mengambil alih penjara di Kelapa Dua Jakarta pada 8 Mei 2018, mereka mendapatkan akses senjata di ruang barang bukti dan menantang polisi untuk menyerang mereka.
Percaya bahwa mereka akan mati syahid dan menghuni surga, teroris menolak untuk menyerah selama dua hari. Ini sama halnya dengan serangan teroris yang melibatkan seluruh anggota keluarga di Surabaya pada 13-14 Mei yang membuat polisi kewalahan. Mobilisasi militer dalam mendukung polisi memberikan kepercayaan diri kepada publik dan menstabilkan situasi.
Mempertimbangkan ancaman yang makin membesar, Indonesia mengesahkan UU baru yang memungkinkan polisi menangkap 352 tersangka teroris dan membawa sebagian besar dari mereka ke pengadilan.Sebelum UU ini disahkan, polisi tidak bisa menangkap orang-orang Indonesia yang berpergian ke zona konflik atau berpartisipasi dalam pelatihan atau berperang di kamp-kamp teroris. UU baru ini juga mengkriminalisasi aktivitas dukungan terhadap teroris dan memberdayakan militer untuk secara langsung terlibat dalam operasi-operasi kontra terorisme setelah ada permintaan dari polisi dan persetujuan presiden. Ancaman teroris yang makin besar dan respon pemerintah menunjukkan pentingnya penegakkan hukum, dan kolaborasi yang erat antara agensi militer dan keamanan nasional.

Masa Depan Pemberantasan Terorisme

Respon kontra terorisme sebaiknya tidak hanya dibatasi pada aktor-aktor negara. Pemerintah harus mempunyai pandangan ke depan untuk melibatkan organisasi sipil dan kemasyarakatan, akademisi, dan sektor swasta untuk mencegah dan melawan ekstrimisme kekerasan. Di berbagai belahan dunia, aktor-aktor tersebut telah terbukti kreatif dan efektif dalam membuat inisiatif untuk melawan kontra terorisme dan mempromosikan moderasi. Pemerintah harus memimpin dan mengkoordinasi usaha-usaha tersebut, tetapi aktor-aktor dari kalangan sipil dan kemasyarakatan mempunyai jangkauan yang lebih baik di dalam komunitas mereka masing-masing.

Terorisme dan pemberontakan adalah produk dari eksklusifisme dan ekstrimisme. Indonesia beruntung karena mempunyai Pancasila, penangkal alami melawan ekslusifisme dan ekstrimisme yang dipropagandakan oleh teroris. Kementerian saya bekerja erat dengan masyarakat sipil untuk menumbuhkan identitas Indonesia kepada individu-individu yang rentan melalui program Bela Negara.

Budaya Indonesia sangatlah kaya dan beragam dan orang Indonesia sejati tidak akan mengklaim diri mereka sebagai teroris atau ekstrimis. Dengan teroris, ekstrimis, dan eklusifis memanfaatkan ruang dunia maya, maka kebutuhan untuk bekerja lebih erat dengan perusahaan teknologi dan penyedia layanan internet menjadi sebuah keniscayaan. Demikian juga pentingnya mencegah sektor finansial dimanfaatkan oleh terroris dan pendukung mereka, dimana pemerintah sebaiknya bekerja sama lebih erat lagi dengan bank dan institusi-institusi finansial.Upaya-upaya juga perlu dilakukan untuk memastikan bahwa institusi keagamaan dan pendidikan tidak terinfiltrasi oleh teroris dan ekstrimis. Kemitraan pemerintah-swasta yang meluncurkan inisiatif, mulai dari penglibatan komunitas sampai rehabilitasi teroris adalah kunci utama dalam memerangi terorisme.

Secara sejarah, pemerintah telah fokus dalam membangun kekuatan militer mereka untuk berperang melawan bangsa-negara lain. Ancaman utama hari ini bukan lagi berasal dari aktor-aktor negara, tetapi teroris dan kriminal yang beroperasi dalam ruang fisik dan dunia maya. ancaman ini tidak mengenal batas negara dan tanpa berkolaborasi, akan membahayakan warga negara kita. Untuk menghadapi perubahan bentuk ancaman di Asia Tenggara, badan-badan militer, penegak hukum, dan intelijen harus lebih memahami terorisme, ekstrimisme, dan eksklusifisme.

Maka dari fakta-fakta uraian tersebut, kata Menhan Ryamizard, dapat disimpulkan bahwa kita harus lebih kuat daripada sebelumnya. Walaupun menciptakan arsitektur kontra terorisme yang sesuai sedang dalam proses, kita telah membuka jalan karena kegigihan semangat para pemimpin kita. Bekerja melalui kemitraan dengan negara-negara di dalam dan luar wilayah ini dalam hal operasional dan barisan intelijen telah menghasilkan kesuksesan yang sangat besar. Untuk mencegah peringatan dini, kapabilitas deteksi dan penangkalan, enam negara Asia Tenggara secara formal meluncurkan Inisiatif Mata Bersama (OEI) di Bali pada 25 Januari 2018.

Dengan semakin banyak negara di dalam dan luar wilayah ini meminta bergabung dalam aliansi kontra terorisme kita, OEI mempunyai potensi untuk tumbuh dan melebihi Lima Mata (Five Eyes), aliansi intelijen yang terdiri dari Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat.

“Saat ini kami saling bertukar informasi intelijen di wilayah ini. Mitra-Mitra dari luar wilayah ini termasuk AS telah memberikan data intelijen dan kepimpinan operasional yang signifikan, yang terakhir adalah AS memimpin operasi kontra terorisme terhadap Bahrun Naim di Ash Shafa, Suriah 8 Juni 2018. Operasi ini sangat tertutup dan saya tidak bisa memberikan detil tetapi saya ingin mengatakan bahwa serangan udara AS terhadap Bahrun Naim sukses,” terang Menhan.

Menurut mantan Panglima Kostrad ini, Bahrum Naim adalah figur yang mengarahkan belasan serangan yang berhasil dan gagal, termasuk plot untuk menembakkan roket ke MBS di Singapore. Operasi ini menunjukkan pentingnya kerjasama antara pemerintah-pemerintah kita. Target jangka panjang teroris yang lain adalah Abu Ghaida yang telah terbunuh dalam serangan udara AS di Kashma tanggal 23 Mei 2018. Mempropagandakan IS sebelum pergi ke Suriah, dia bergabung dengan sayap media IS dan merupakan produser tunggal propaganda mengenai Filipina.

Untuk mendukung pengambil alihan Marawi oleh IS, Abu Ghaida secara aktif mempromosikan IS di wilayah ini dan membangun unit media IS Filipina. Operasi kontra terorisme terhadap Bahrun Naim dan Abu Ghaida mendemonstrasikan bahwa jangkauan AS akan tetap vital karena orang-orang Asia Tenggara baru-baru ini mulai pergi ke Afganistan sebagai teater alternatif setelah Suriah.

Sumber: https://tangerangonline.id




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia