TRANSLATE

Posisi Panglima TNI yang Setara Menhan Dikhawatirkan Berdampak Politis

Selasa, 26 September 2017

JAKARTA, KOMPAS.com – Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis, berpendapat bahwa munculnya pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang terkesan politis disebabkan karena tidak berjalannya reformasi di sektor keamanan.

“Setelah UU TNI tidak ada lagi acuan untuk menegaskan kontrol sipil atas militer. Ini yang sangat penting. Karena reformasi sektor keamanan setelah 2004 sampai sekarang itu mandek,” ujar Beni saat memberikan keterangan pers di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (25/9/2017).

Berangkat dari polemik pernyataan Panglima TNI belakangan ini, Beni menilai perlunya reformasi di sektor pertahanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Menurut Beni, saat ini posisi Panglima TNI dipandang setara dengan Menteri Pertahanan, karena bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Beni menjelaskan, dalam bagian penjelasan UU TNI, disebutkan secara jelas bahwa ke depan institusi TNI berada di bawah Kementerian Pertahanan.

Dengan begitu, diharapkan tidak lagi ada dualisme dalam hal kebijakan strategis maupun anggaran. Di satu sisi, seorang Panglima TNI akan fokus dalam meningkatkan profesionalisme TNI.

“Jadi tidak ada dualisme dalam membuat kebijakan strategis dan operasional terkait penggunaan kekuatan TNI,” ucap Beni.

Beni menilai, dengan posisi Panglima TNI yang sejajar dengan Menteri Pertahanan, maka ada kekhawatiran memunculkan dampak politis terhadap TNI. Panglima TNI pun dikhawatirkan menjadi figur politik.

“Sehingga dia merasa sebagai figur politik bukan figur tentara profesional,” kata dia.

Hal senada juga diungkapkan oleh peneliti Imparsial Ardi Manto. Menurut dia, Presiden Jokowi dan DPR harus mendorong realisasi reformasi sektor keamanan untuk menciptakan aparat keamanan yang profesional dan tidak kontroversial.

“Kami mendesak kepada Presiden dan DPR untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh atas sektor pertahanan untuk mendorong terciptanya sektor pertahanan yang baik, kuat dan profesional,” ujar Ardi.

Ardi menuturkan, berdasarkan catatan Imparsial, Panglima TNI Gatot Nurmantyo beberapa kali bersikap kontroversial.

Gatot, kata Ardi, pernah memantik polemik dengan hadir di dalam Rapimnas salah satu partai politik serta menyampaikan kritik terhadap pemerintah melalui sebuah puisi.

Selain itu, Gatot juga dinilai pernah membuat kebijakan yang tidak sejalan dengan UU TNI, yakni membuat berbagai nota kesepahaman atau MoU dengan instansi pemerintah lainnya.

Menurut Ardi, Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU TNI menyebutkan bahwa Operasi Militer Selain Perang (OMSP) hanya bisa dilakukan melalui keputusan politik negara, bukan melalui MoU.

Lebih lanjut, Panglima TNI juga pernah memantik konflik terbuka dengan Menteri Pertahanan ketika melakukan rapat kerja di DPR yang sempat diliput oleh media melalui pernyataan dan sikapnya terkait masalah anggaran.

“Pernyataan dan sikap itu menciptakan hubungan yang tidak konstruktif antara Panglima TNI dan Menteri Pertahanan yang akan mempengaruhi sektor pertahanan,” kata Ardi.

Terakhir, beredar rekaman suara Panglima TNI di media sosial saat berbicara dalam acara silaturahim Panglima TNI dengan purnawirawan TNI di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9/2017).

Dalam rekaman itu, Panglima TNI menyebut adanya institusi nonmiliter yang membeli 5.000 pucuk senjata. Panglima TNI juga bicara soal larangan bagi Kepolisian untuk memiliki senjata yang bisa menembak peralatan perang TNI.

Belakangan, Panglima TNI mengakui bahwa rekaman tersebut memang pernyataannya. Namun, Gatot menegaskan bahwa pernyataan itu bukan untuk publik. Sehingga, ia tidak mau berkomentar lagi soal substansi pernyataan dalam rekaman itu.

Menanggapi pernyataan Panglima TNI, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menjelaskan bahwa institusi non-militer yang berniat membeli senjata api adalah Badan Intelijen Negara (BIN) untuk keperluan pendidikan.

Jumlahnya tak mencapai 5.000 pucuk, tetapi hanya 500 pucuk. BIN juga sudah meminta izin ke Mabes Polri untuk pembelian senjata itu. Izin tak diteruskan ke TNI lantaran spesifikasi senjata yang dibeli BIN dari Pindad itu berbeda dengan yang dimiliki militer.

.

PT Pindad Sebut Polri Berencana Pesan 5 Ribu Senjata tapi Kontraknya Belum Ada

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTAPT Pindad membenarkan adanya pemesanan senjata yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara.

Menurut Sekretaris Perusahaan PT Pindad Bayu A. Fiantori, lembaga intelijen tersebut memesan 517 pucuk senjata.

“Benar, ada kontrak dengan PT Pindad untuk BIN, 517 (pucuk senjata),” kata Bayu kepada Kompas.com, Senin (25/9/2017).

Bayu mengatakan, 517 senjata laras panjang tersebut masih ada diPT Pindad dan belum dikirim.

Selain itu, lanjut Bayu, Polri juga berencana memesan senjata dari perusahaannya sebanyak 5000 pucuk.

“Polisi yang rencananya 5000 pucuk tapi kontraknya belum ada,” kata dia.

Bayu enggan menyebutkan jenis senjata yang dipesan oleh BIN dan Polri. Ia hanya menegaskan bahwa jenis senjata tersebut berbeda spesifikasinya dari yang dimiliki TNI.

“Speknya berbeda dari TNI, non militer lah,” kata dia.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto sebelumnya meluruskan pernyataan yang diduga Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.

Rekaman suara yang diduga Panglima TNI beredar di media sosial yang isinya tentang pembelian 5.000 pucuk senjata oleh institusi non militer.

Wiranto menegaskan bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Ia mengakui ada kesalahan komunikasi antara Panglima dengan Kepala BIN Jenderal Budi Gunawan dan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian. Namun, saat ini sudah diluruskan.

“Setelah saya panggil Kepala BIN, hubungi Panglima TNI, Kapolri dan institusi lain yang terkait masalah ini. Ternyata ini hanya masalah komunikasi yang tidak tuntas dalam hal pembelian senjata,” kata Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Minggu (24/9/2017).

Wiranto pun membantah berbagai spekulasi yang beredar seperti Indonesia sedang dalam keadaan genting, karena ada suatu kelompok yang ingin menganggu ketertiban dan keamanan nasional.

“Saya kira kita tidak pada tempatnya menghubungkan dengan itu,” kata Wiranto.

Bahkan, kata dia, senjata yang dibeli jumlahnya hanya 500 pucuk, bukan 5.000 pucuk senjata seperti yang sudah disampaikan oleh Panglima TNI.

“Setelah saya tanyakan, saya cek kembali, tenyata ini berhubungan dengan pembelian 500 pucuk senjata buatan PT Pindad yang diperuntukkan bagi sekolah intelejen BIN dan bukan buatan luar negeri,” katanya.

Senjata itu juga dibeli oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dan bukan institusi lain yang di luar kontrol Pemerintah dengan menggunakan APBN.

“Ini juga menggunakan anggaran APBN. Jadi bukan institusi lain yang di luar kontrol Pemerintah,” ungkap dia.

.

Komisi I DPR menilai pembelian senjata BIN sesuai aturan

Jakarta (ANTARA News) – Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin menilai pembelian 500 senjata oleh Badan Intelijen Negara (BIN) sudah sesuai aturan dan sah karena menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Itu sah menurut APBN sehingga sudah clear dan tidak perlu dipolemikkan,” katanyadi Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin.

Dia mengatakan DPR tidak boleh masuk pada ranah satuan tiga dalam membahas persoalan anggaran di suatu instansi seperti di BIN.

Karena menurut dia, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) disebutkan bahwa wewenang DPR dalam pembahasan anggaran sebuah institusi hanya sampai satuan dua.

“Jadi di sana dicantumkan perlengkapan saja,” ujarnya.

Politisi PDI Perjuangan itu menilai pembelian senjata oleh BIN itu untuk keperluan latihan para calon anggota BIN.

Selain itu TB Hasanuddin menilai polemik terkait pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bahwa ada institusi di luar TNI dan Polri yang membeli 5.000 senjata api, sebenarnya sudah selesai setelah Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan Wiranto memberikan pernyataan resmi.

Hal itu menurut dia karena secara hirarki yang ada di pemerintahan, sudah diambil alih oleh Menkopolhukam dan dijelaskan bahwa tidak ada pembelian 5.000 senjata api namun 500 oleh BIN.

“Pejabat negara harus paham terkait aturan, prosedur dan etika. Prosedurnya kalau ada informasi seperti itu didiskusikan dengan instansi terkait namun kalau sulit maka bisa lapor ke Menkopolhukam,” ujarnya.

Dia mengatakan melempar informasi yang dianggap sangat sensitif kepada masyarakat, bukan langkah tepat sehingga harus dihindari agar kondisi tidak menjadi riuh.

Menurut dia, 5.000 pucuk senjata itu sama dengan kekuatan lima batalyon tempur sehingga bisa menimbulkan berbagai pertanyaan di masyarakat.

“Kalau ada masalah diselesaikan saja secara internal dan kalau perlu dibawa ke rapat terbatas di kabinet,” ujarnya.

Anggota Komisi I DPR Supiadin Aries Saputra mengusulkan agar pengadaan senjata oleh sebuah institusi sebaiknya harus ada persetujuan dari Kementerian Pertahanan dan TNI.

Hal itu menurut dia untuk menghindari agar senjata yang ada di tangan rakyat dan tidak diketahui negara, tiba-tiba digunakan untuk kepentingan lain bahkan untuk melawan negara.

“Kami sarankan agar ke depan semua pengadaan senjata harus ada persetujuan, selain Polri untuk bela diri, juga ada dari TNI dan Kemhan sehingga semua senjata terkontrol dengan baik. Diharapkan Kemhan, Polri, dan TNI memiliki data,” ujarnya.

Menurut dia hal itu dilakukan agar ketika di masyarakat muncul senjata tanpa izin, bisa diketahui sumbernya dari mana.

Sebelumnya, dalam rekaman yang beredar, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyebut adanya institusi tertentu yang akan mendatangkan 5.000 senjata secara ilegal dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu dikatakan Panglima dalam acara silaturahmi TNI dengan purnawirawan di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Jumat (22/9).

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto mengungkapkan, ada komunikasi yang belum tuntas antara TNI, Badan Intelijen Negara, dan Kepolisian Indonesia.

Wiranto mengatakan informasi dari Panglima TNI tentang ada instansi di luar TNI dan Kepolisian Indonesia yang akan membeli 5.000 senjata standar TNI, tidak pada tempatnya dikaitkan dengan ekskalasi kondisi keamanan saat ini.

Dia menjelaskan dikonfirmasi kepada Panglima TNI, Kepala Kepolisian Indonesia, Kepala BIN, dan instansi terkait, terdapat pengadaan 500 pucuk senjata laras pendek buatan PT Pindad oleh BIN untuk keperluan pendidikan intelijen dan bukan senjata standar militer.Jakarta (ANTARA News) – Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin menilai pembelian 500 senjata oleh Badan Intelijen Negara (BIN) sudah sesuai aturan dan sah karena menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Itu sah menurut APBN sehingga sudah clear dan tidak perlu dipolemikkan,” katanyadi Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin.

Dia mengatakan DPR tidak boleh masuk pada ranah satuan tiga dalam membahas persoalan anggaran di suatu instansi seperti di BIN.

Karena menurut dia, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) disebutkan bahwa wewenang DPR dalam pembahasan anggaran sebuah institusi hanya sampai satuan dua.

“Jadi di sana dicantumkan perlengkapan saja,” ujarnya.

Politisi PDI Perjuangan itu menilai pembelian senjata oleh BIN itu untuk keperluan latihan para calon anggota BIN.

Selain itu TB Hasanuddin menilai polemik terkait pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bahwa ada institusi di luar TNI dan Polri yang membeli 5.000 senjata api, sebenarnya sudah selesai setelah Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan Wiranto memberikan pernyataan resmi.

Hal itu menurut dia karena secara hirarki yang ada di pemerintahan, sudah diambil alih oleh Menkopolhukam dan dijelaskan bahwa tidak ada pembelian 5.000 senjata api namun 500 oleh BIN.

“Pejabat negara harus paham terkait aturan, prosedur dan etika. Prosedurnya kalau ada informasi seperti itu didiskusikan dengan instansi terkait namun kalau sulit maka bisa lapor ke Menkopolhukam,” ujarnya.

Dia mengatakan melempar informasi yang dianggap sangat sensitif kepada masyarakat, bukan langkah tepat sehingga harus dihindari agar kondisi tidak menjadi riuh.

Menurut dia, 5.000 pucuk senjata itu sama dengan kekuatan lima batalyon tempur sehingga bisa menimbulkan berbagai pertanyaan di masyarakat.

“Kalau ada masalah diselesaikan saja secara internal dan kalau perlu dibawa ke rapat terbatas di kabinet,” ujarnya.

Anggota Komisi I DPR Supiadin Aries Saputra mengusulkan agar pengadaan senjata oleh sebuah institusi sebaiknya harus ada persetujuan dari Kementerian Pertahanan dan TNI.

Hal itu menurut dia untuk menghindari agar senjata yang ada di tangan rakyat dan tidak diketahui negara, tiba-tiba digunakan untuk kepentingan lain bahkan untuk melawan negara.

“Kami sarankan agar ke depan semua pengadaan senjata harus ada persetujuan, selain Polri untuk bela diri, juga ada dari TNI dan Kemhan sehingga semua senjata terkontrol dengan baik. Diharapkan Kemhan, Polri, dan TNI memiliki data,” ujarnya.

Menurut dia hal itu dilakukan agar ketika di masyarakat muncul senjata tanpa izin, bisa diketahui sumbernya dari mana.

Sebelumnya, dalam rekaman yang beredar, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyebut adanya institusi tertentu yang akan mendatangkan 5.000 senjata secara ilegal dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu dikatakan Panglima dalam acara silaturahmi TNI dengan purnawirawan di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Jumat (22/9).

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto mengungkapkan, ada komunikasi yang belum tuntas antara TNI, Badan Intelijen Negara, dan Kepolisian Indonesia.

Wiranto mengatakan informasi dari Panglima TNI tentang ada instansi di luar TNI dan Kepolisian Indonesia yang akan membeli 5.000 senjata standar TNI, tidak pada tempatnya dikaitkan dengan ekskalasi kondisi keamanan saat ini.

Dia menjelaskan dikonfirmasi kepada Panglima TNI, Kepala Kepolisian Indonesia, Kepala BIN, dan instansi terkait, terdapat pengadaan 500 pucuk senjata laras pendek buatan PT Pindad oleh BIN untuk keperluan pendidikan intelijen dan bukan senjata standar militer.

.

Anggota Komisi I Usul Semua Senjata Didaftarkan di Kemenhan dan TNI

JAKARTA, KOMPAS.com – Anggota Komisi I DPR Supiadin Aries Saputra menyarankan agar pemerintah membuat sistem pendataan senjata yang terpadu antar-lembaga negara.

Karena itu, ia menyarankan agar seluruh pengadaan senjata dilaporkan kepada Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan TNI.

Hal itu disampaikan Supiadin menanggapi pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo soal pengadaan senjata oleh pihak nonmiliter sebanyak 5.000 pucuk.

“Sebaiknya apa pun pengadaan senjata dan jenisnya, ada assessment(penilaian) TNI dan Kemenhan,” ujar Supiadin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/9/2017).

Ia mengakui Polri memang memiliki kewenangan untuk memberikan izin pengadaan senjata nonmiliter. Namun, menurut Supiadin, lebih baik itu juga diintegrasikan dengan TNI dan Kemenhan sehingga peredaran senjata terpantau.

Sebab, kata dia, senjata sangat rawan digunakan untuk untuk berbuat makar sehingga mengancam kemanan nasional. Ia menambahkan, bisa saja sekelompok masyarakat sipil mempersenjatai dirinya untuk makar terhadap pemerintah.

“Sehingga semua senjata terkontrol dengan baik. Polri punya data, TNI punya data dan Kemenhan punya data juga,” kata Supiadin.

“Sehingga apabila di tengah masyarakat muncul senjata tanpa izin, kita bisa tahu itu sumbernya dari mana,” tutur politisi Partai Nasdem itu.

Sebelumnya, beredar rekaman suara Panglima TNI di media sosial saat berbicara dalam acara silaturahim Panglima TNI dengan purnawirawan TNI di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9/2017).

Dalam rekaman itu, Panglima TNI menyebut adanya institusi nonmiliter yang membeli 5.000 pucuk senjata. “Data-data kami, intelijen kami akurat,” ucapnya.

Panglima TNI juga bicara soal larangan bagi kepolisian untuk memiliki senjata yang bisa menembak peralatan perang TNI.

Belakangan, Panglima TNI mengakui bahwa rekaman tersebut memang pernyataannya.

Namun, dia menegaskan bahwa pernyataan itu bukan untuk publik. Sehingga, ia tidak mau berkomentar lagi soal substansi pernyataan dalam rekaman itu.

Menanggapi pernyataan Panglima TNI, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menjelaskan bahwa institusi non-militer yang berniat membeli senjata api adalah Badan Intelijen Negara (BIN) untuk keperluan pendidikan.

Jumlahnya tak mencapai 5.000 pucuk, tetapi hanya 500 pucuk. BIN juga sudah meminta izin ke Mabes Polri untuk pembelian senjata itu.

Izin tak diteruskan ke TNI lantaran spesifikasi senjata yang dibeli BIN dari Pindad itu berbeda dengan yang dimiliki militer.




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia