Jokowi Sebut Agama dan Politik Harus Dipisah, Ini Komentar Ketua MUI
Jumat, 31 Maret 2017JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin merespons pernyataan Presiden Joko Widodo soal pemisahan agama dan politik.
Ma’ruf Amin berpendapat, yang dimaksud Presiden Jokowi harus dipisahkan dengan politik adalah, jika pemahaman agama itu bersifat radikal.
“Menurut pemahaman saya, beliau mengatakan ada pemahaman agama yang radikal dan destruktif sehingga dapat terjadi hal-hal yang bertentangan dan keresahan di masyarakat,” ujar Ma’ruf Amin di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Kamis (30/3/2017).
“Kalau pemahaman agama yang radikal kan memang menimbulkan masalah bangsa,” kata dia.
Namun, menurut Ma’ruf Amin, berbeda dengan pemahaman agama yang moderat. Pemahaman seperti itu justru dapat digunakan untuk membantu menyelesaikan persoalan bangsa dan negara.
Pemahaman agama yang moderat ini, lanjut Ma’ruf, tampak pada dua organisasi Islam besar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
“NU misalnya menyelesaikan Islam dan Pancasila, masalah hubungan dengan non-Muslim. Semua diberi landasan-landasan keagamaan. Nah kalau itu sebenarnya antara politik dan agama menjadi saling menopang,” ujar Ma’ruf Amin.
Pernyataan Presiden Jokowi bahwa agama dan politik harus dipisahkan dilontarkan di sela kunjungan kerja di Kelurahan Pasar Baru Gerigis, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada Jumat (24/3/2017) lalu.
Awalnya, Presiden berpesan seluruh rakyat Indonesia harus menjaga kerukunan. Jangan sampai ada pertikaian gara-gara perbedaan suku atau agama.
“Inilah yang harus kita hindarkan. Jangan sampai dicampuradukkan antara politik dan agama. Dipisah betul sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik,” ujar Jokowi.
Ketua MUI Bertemu Presiden Jokowi
JAKARTA (Pos Kota) – Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin bertemu Presiden Jokowi, di Istana Merdeka, Kamis (30/3/2017).
“Saya baru saja diundang Presiden untuk membicarakan berbagai masalah kebangsaan dan kenegaraan,” ujar Ma’ruf usai bertemu Jokowi.
Ma’ruf didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno, menjelaskan bahwa dalam pertemuannya dengan Presiden, dibahas sejumlah masalah kebangsaan dan kenegaraan.
“Hal ini dilakukan mengingat pentingnya peran ulama dalam memajukan bangsa dan menjaga keutuhan Tanah Air. Saya baru saja diundang Presiden dan bertemu untuk membicarakan berbagai masalah kebangsaan dan kenegaraan,” ujar Ma’ruf.
Menurut Ma’ruf, salah satu isu yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah masalah redistribusi aset yang ingin dilakukan pemerintah. Kepala Negara bahkan menyatakan keprihatinannya terhadap kesenjangan ekonomi yang masih terjadi di Indonesia.
”Presiden prihatin dengan kesenjangan yang ada di masyarakat, terutama di dalam masalah ekonomi antara masyarakat kecil dengan mereka yang berpendapatan tinggi,” ungkap Ma’ruf.
Oleh karenanya, kata Ma’ruf, pemerintah akan menjalankan program redistribusi aset melalui koperasi, pesantren dan lembaga lainnya. Hal ini dilakukan guna menghindari penyalahgunaan aset oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. “Beliau memang agak trauma kalau kepada perorangan, karena kalau perorangan itu dikhawatirkan akan dijual lagi,” ucapnya.
Pemerintah telah memiliki aset sekitar 12,7 juta hektar tanah yang belum dikelola secara baik oleh masyarakat. Untuk itu, Presiden sudah memerintahkan jajarannya untuk segera menentukan masyarakat yang berhak mengelola lahan tersebut.
Selain itu, masalah kemitraan antara ekonomi elite dengan ekonomi lemah juga menjadi topik dalam pertemuan tersebut. “Presiden ingin ada kemitraan antara konglomerat dengan ekonomi lemah sehingga terjadi saling membantu, ada hubungan silaturahim, tidak terjadi semacam kemarahan di kalangan ekonomi lemah, masyarakat lemah, dan kecemburuan sosial,” terang Ma’ruf.