TRANSLATE

Belum Ada Audit BPK, Kasus Heli AW101 Disebut Tidak Sah

Jumat, 15 Desember 2017

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar Hukum Pidana, Chairul Huda mengatakan KPK dan POM TNI sebaiknya berhenti melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW101.

Huda mengatakan hal tersebut lantaran, hingga saat ini belum ada hasil audit investigasi dari BPK terkait kerugian negara terkait kasus tersebut. Namun, sudah ada yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan Heli AW101.

“Penyidikan yang dilakukan terhadap kasus ini (Heli AW101) tidak sah‎. Ya seharusnya begitu (dihentikan) kalau kita negara hukum, tapi kita kan bukan‎,” kata Huda saat dihubungi wartawan di Jakarta, Jumat (15/12/2017).

Huda menjelaskan menurut KUHAP, Undang-undang Tipikor dan UU KPK sendiri diatur seharusnya penyidikan oleh Tim Koneksitas untuk memproses kasus pengadaan Heli AW101 yang disangkakan adanya perbuatan korupsi.

“Karena ada sipil dan personel militer yang diduga melakukan tipikor secara bersama-sama‎. Karena penyidikan dilakukan oleh penyidik yang tidak sah, maka hasil perhitungan kerugian negara yang dimintanya kepada KPK juga otomatis tidak sah,” katanya.

Dosen Hukum Pidana UMJ ini menilai, semua tindakan atau proses hukum yang dilakukan oleh KPK tidak sah dengan rencana memanggil untuk memeriksa saksi-saksi dari pihak TNI. Sebab, KPKtidak punya kewenangan memeriksa anggota TNI.

“Ya selagi yang bertindak bukan tim koneksitas maka tidak sah,KPK itu otoritas sipil. Bagaimana mereka bisa panggil personil militer,” katanya

Untuk itu Huda menjelaskan, penetapan tersangka terhadap seseorang dalam kasus Heli AW101 ini tidak sah sebelum ada perhitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan meski sudah ditangani tim koneksitas.

“Semua tindakannya tidak sah. Jadi, khusus penetapan tersangkanya katakanlah oleh tim koneksitas tidak sah jika dilakukan sebelum ada perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPK,” katanya.

Untuk diketahui, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya masih menunggu hasil perhitungan kerugian keuangan negara dari BPK terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Heli AW101.

“Saat ini POM TNI masih menunggu hasil perhitungan kerugian negara yang sedang dihitung oleh BPK untuk tersangka yang ditangani TNI. Nantinya, perhitungan kerugian negara itu akan dimanfaatkan KPK untuk penanganan perkara dengan tersangka IKS (Irfan Kurnia Saleh),” kata Febri.

Kemudian, Febri mengatakan penyidik KPK juga terus berkoordinasi dengan pihak TNI karena masih membutuhkan keterangan enam orang saksi dari perwira AU untuk tersangka Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh.

“POM TNI AU memfasilitasi kebutuhan penyidik terkait pemeriksaan saksi-saksi, baik saksi-saksi terdahulu maupun saksi-saksi baru yang dibutuhkan keterangannya oleh KPK,” kata Febri.

.

KPK dan POM TNI Tunggu Hasil Kerugian Negara Dari BPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengungkapkan, pada Selasa (12/12), penyidik KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadapenam perwira Angkatan Udara di POM TNI, Cilangkap. Namun, saksi tidak hadir sehingga dilakukan penundaan dan jadwal ulang pemeriksaan.

“Dari koordinasi antara tim penyidik dengan kuasa hukum para saksi dari Diskum TNI AU, menyampaikan surat panggilan yang dikirim KPK belum ada disposisi bagi para saksi untuk hadir. Mereka minta pengunduran waktu penghadapan atau pemeriksaan pekan depan, Selasa (19/12),” ungkap Febri, di Gedung KPK Jakarta, Rabu (13/12).

Febri menuturkan, dalam kasus ini KPK terus melakukan koordinasi dan komunikasi POM TNI AU. Bahkan, POM TNI AU memfasilitasi kebutuhan penyidik terkait pemeriksaan saksi-saksi, baik saksi-saksi terdahulu maupun saksi-saksi baru yang dibutuhkan keterangan oleh KPK.

Dikatakan Febri, saat ini, POM TNI AU masih menunggu hasil perhitungan kerugian negara yang sedang dihitung oleh BPK untuk tersangka yang ditangani TNI. Nantinya, perhitungan kerugian negara tersebut juga akan dimanfaatkan KPK untuk penangnan perkara dengan tersangka IKS (Irfan Kurnia saleh).

“Masih dibutuhkan pemeriksaan saksi-saksi lainnya dari pihak TNI AU. Karenanya, koordinasi dengan pihak TNI AU akan terus dijalin dalam penangnan perkara ini,” tuturnya.

Dugaan korupsi pembelian heli AW-101 terbongkar lewat kerja sama antara TNI dan KPK. Sudah ada lima tersangka yang ditetapkan terkait kasus ini, empat dari unsur militer dan satu merupakan sipil, seorang pengusaha.

Kasus bermula pada April 2017 ketika TNI AU mengadakan satu unit Helikopter AW101 dengan metode pembelian khusus. Persyaratan lelang harus diikuti dua pengusaha. Dalam hal ini ditunjuk PT Karya Cipta Gemilang dan PT Diratama Jaya Mandiri.

PT Diratama Jaya Mandiri diduga telah melakukan kontrak langsung dengan produsen heli AW-101 senilai Rp514 miliar. Namun, pada Februari 2016, saat meneken kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya Mandiri mmenaikkan nilai kontraknya menjadi Rp 738 miliar.

.

KPK-POM TNI Masih Tunggu BPK Hitung Kerugian Kasus Heli AW-101

Jakarta – KPK menyebut POM TNI AU menunggu hitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memastikan kerugian negara akibat dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101. Hasil itu akan digunakan untuk memproses tersangka dari TNI.

“Nantinya perhitungan kerugian negara tersebut juga akan dimanfaatkan KPK untuk penanganan perkara dengan tersangka IKS (Irfan Kurnia Saleh), selain KPK masih membutuhkan pemeriksaan saksi-saksi lainnya dari pihak TNI AU,” ucap Kabiro Humas KPK kepada wartawan, Rabu (13/12/2017).

Kemarin (12/12) pun KPK sedianya mengagendakan pemeriksaan terhadap 6 saksi dari perwira AUdi POM TNI Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur untuk tersangka Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh. Namun, keenamnya tidak hadir. Penjadwalan ulang pun diagendakan.

“Dari koordinasi antara tim penyidik dengan kuasa hukum para saksi (dari Diskum TNI AU) menyampaikan bahwa surat panggilan yang dikirim KPK belum ada dispo untuk para saksi untuk hadir, sehingga meminta pengunduran waktu penghadapan/pemeriksaan pekan depan, Selasa (19/12),” ungkap Febri.

Walau demikian, Febri memastikan koordinasi antara KPK dengan POM TNI berjalan baik. POM TNI AU disebut Febri memfasilitasi kebutuhan untuk pemeriksaan saksi dari militer.

“POM TNI AU memfasilitasi kebutuhan penyidik terkait pemeriksaan saksi-saksi, baik saksi-saksi terdahulu, maupun saksi-saksi baru yang dibutuhkan keterangannya oleh KPK,” ujarnya.

Dalam kasus ini, ada 5 tersangka yang ditetapkan POM TNI. Tiga orang di antaranya terlebih dulu ditetapkan, yakni Marsma TNI FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen dalam pengadaan barang dan jasa; Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas; dan Pelda S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu.

Menyusul kemudian Kolonel Kal FTS, berperan sebagai WLP; dan Marsda SB, sebagai asisten perencana Kepala Staf Angkatan Udara.

Sementara itu, KPK menetapkan Irfan sebagai tersangka pertama dari swasta pada Jumat (16/6). Irfan diduga meneken kontrak dengan Augusta Westland, perusahaan joint venture Westland Helicopters di Inggris dengan Agusta di Italia, yang nilainya Rp 514 miliar.

Namun, dalam kontrak pengadaan helikopter dengan TNI AU, nilai kontraknya Rp 738 miliar, sehingga terdapat potensi kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar.

Sumber: https://news.detik.com




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia