Dokumen Pembantaian PKI, Kemhan Akan Minta Penjelasan AS
Selasa, 24 Oktober 2017TEMPO.CO, Jakarta – Kementerian Pertahanan akan meminta penjelasan pemerintah Amerika perihal kebenaran dokumen Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta berkaitan dengan kasus pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu akan bertemu langsung dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat James Mattis di Filipina, Rabu pekan depan.
“Nanti saya akan ketemu Menhannya atau nanti saya panggil Dubes (Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Joseph R. Donovan Jr.)-nya sambil ngobrol-ngobrol gimana sebenarnya,” ujar Ryamizard di Kantor Staf Kepresidenan, Gedung Bina Graha, Jakarta, Kamis 19 Oktober 2017.
Selasa lalu, 39 dokumen rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia periode 1964-1968 dipublikasikan secara terbuka atas permintaan lembaga nirlaba National Security Archive di The George Washington University, Amerika Serikat. Dalam dokumen tersebut, antara lain, disebutkan adanya dugaan bantuan pemerintah Amerika untuk Angkatan Darat dalam operasi militer pembantaian anggota dan simpatisan PKI.
Seperti pada surat Penasihat Politik Pusat Komando Angkatan Laut AS untuk Kawasan Pasifik (CINPAC), Norman Hannah, kepada Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, pada 23 Oktober 1965. Dalam surat itu, Hannah merespons permintaan Green mengenai kemungkinan pemberian bantuan kepada Angkatan Darat Indonesia untuk menghadapi PKI. Menurut dia, bantuan bisa berupa uang, peralatan komunikasi, hingga senjata yang diberikan secara diam-diam.
Selanjutnya, sejumlah dokumen juga menyebutkan bagaimana Angkatan Darat aktif melakukan operasi militer, termasuk menggerakkan sipil untuk membunuh para anggota PKI. Seperti isi telegram dari Konsulat AS di Surabaya kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta pada 22 Desember 1965 yang menyebutkan Angkatan Darat kerap menyerahkan anggota PKI ke organisasi massa Islam untuk dibunuh.
Menurut Ryamizard, pemerintah Indonesia perlu memastikan kebenaran dokumen-dokumen itu. Apalagi dokumen itu berkorelasi dengan sejarah dan situasi politik serta keamanan Indonesia. “Ya, tak kami diamkan gitu aja,” tuturnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto juga masih melakukan kajian terhadap dokumen-dokumen tersebut. “Dokumen dari Amerika itu tidak serta-merta kita jadikan bagian dari proses penyelidikan,” ujarnya, kemarin. “Tentu perlu suatu upaya untuk meyakini betul, apakah informasi-informasi, apalagi dari luar negeri, itu layak.”
Tenaga ahli Deputi V Kantor Staf Presiden, Theo Litaay, mengatakan pihaknya memastikan keberadaan dokumen itu tidak akan berpengaruh dalam proses penyelesaian kasus sejarah 1965. “Saya kira penyikapan atas informasi sejarah itu akan berlangsung seiring dengan waktu. Ini informasi awal yang kami terima, tentu akan kami dalami dan kami kaji lagi,” kata Theo di kantor Amnesty International Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin.
.
Soal Dokumen Peristiwa 1965, Ryamizard Akan Tanya ke Menhan AS
JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudumengaku belum mengetahui keberadaan dokumen tentang pembunuhan massal pasca-Gerakan 30 September 1965.
Dokumen tersebut berupa kabel diplomatik Amerika Serikat yang berasal dari National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).
“Saya belum tahu,” kata Ryamizard di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/10/2017).
Saat ditanya adanya keterlibatan TNI dalam peristiwa pembunuhan terhadap beberapa orang yang diduga terkait Partai Komunis Indonesia, ia menjawab akan menanyakan kebenaran dokumen tersebut kepada Menteri Pertahanan Amerika Serikat.
“Nanti saya ketemuin Menhan-nya (Menteri Pertahanan), nanti ya. Saya akan ketemu pada 25 (Oktober) dengan Menhan Amerika (Serikat),” tutur Ryamizard.
Saat ditanya alasan ketiga lembaga tersebut merilis dokumen itu, Ryamizard menjawab hal itu juga akan dia tanya kepada Menhan AS.
“Enggak tahu. Saya masih kecil dulu,” ujar Ryamizard.
“Waktu di Filipina saya ketemu dengan dia (Menhan AS), saya ngobrollama 1 jam. Saya enggak tanya ini. Ini kan enggak tahu ya. Dia (Menhan AS) kan waktu itu masih kecil juga dia,” ucap dia.
39 dokumen
Dilansir dari BBC Indonesia, sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika soal tragedi 1965 kembali dibuka ke publik oleh tiga lembaga Amerika. Dokumen itu menguak sejumlah surat dari dan ke Amerika Serikat terkait pembunuhan massal pasca-1965.
Dokumen yang dibuka adalah 39 dokumen setebal 30.000 halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968. Isinya antara lain seputar ketegangan antara militer dengan PKI, termasuk efek selanjutnya berupa pembantaian massal.
Data dan fakta ini dinilai menguak sebagian tabir yang selama ini masih tertutup rapat dalam sejarah Indonesia. Selama ini, negara, terutama Tentara Nasional Indonesia, mengelak untuk membicarakan atau mengkaji ulang sejarah kelam tragedi 1965.
Fakta yang tersaji dalam dokumen diplomatik Amerika ini membantah narasi tunggal bahwa korban pembantaian tragedi 1965 adalah komunis atau mereka yang memang terkait pembunuhan para jenderal dan upaya pengambil alihan kekuasaan pada 30 September 1965.
Para anggota dan simpatisan PKI itu “kebingungan dan mengaku tak tahu soal 30 September,” tulis laporan diplomatik Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia pada 20 November 1965.
Dalam kabel diplomatik Kedutaan AS untuk Indonesia kepada Kementerian Luar Negeri AS di Washington tanggal 12 Oktober 1965 disebutkan bahwa, “Tentara Angkatan Darat Indonesia mempertimbangkan menjatuhkan Soekarno dan mendekati beberapa kedutaan negara-negara Barat memberi tahu soal kemungkinan itu.”
Dalam telegram rahasia itu juga disebutkan, “Jika itu terlaksana, maka itu akan dilakukan dengan gerakan yang cepat tanpa peringatan dan Soekarno akan digantikan kombinasi junta militer dan sipil.”
Disebutkan, Angkatan Darat mengharapkan bantuan ekonomi berupa makanan dan lainnya dari negara-negara Barat.
Hal itu terkait perkembangan pada 10 Oktober 1965 yang menyebutkan Soekarno menerima pimpinan Angkatan Darat di Istana yang memberikan laporan soal keterlibatan PKI pada kejadian 30 September.
Soekarno menolak membaca dan malah memarahi mereka karena menghina PKI. Para jenderal yang tidak disebutkan namanya itu kemudian meninggalkan Soekarno dengan jengkel.
.
Menhan minta hati-hati soal dokumen G30S, di Amerika presiden saja dibunuh
Merdeka.com – Baru-baru ini Amerika Serikat merilis dokumen tentang pembunuhan massal 1965-1966. Dokumen itu dibuka oleh lembaga National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).
Laporan sebanyak 39 dokumen dengan tebal 30.000 halaman tersebut merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia dari tahun 1964 sampai 1968. Isinya antara lain menguak sejarah sensitif peristiwa 1965 berupa ketegangan militer dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Termasuk efek selanjutnya seputar pembantaian massal.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, dirinya akan minta penjelasan pada pihak Amerika terkait dokumen tersebut. Ia juga meminta masyarakat Indonesia tak menilai dokumen tersebut sebagai sebuah kebenaran sebelum diteliti keabsahan fakta dan datanya.
“Pasti saya tanyakan lah kalau ke Amerika atau nanti saya panggil Dubes nya sambil ngobrol-ngobrol bagaimana sebenarnya. Enggak kita diamkan begitu saja. Di Amerika, jangankan orang, presidennya saja di bunuh. Itulah jadi yang penting kita hati-hati begitu saja lah,” kata Ryamizard usai diskusi Forum Merdeka Barat 9, Gedung Bina Graha, Jakarta Pusat, Kamis (19/10).
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengaku bahwa pemerintah saat ini masih kekurangan saksi dan alat bukti untuk menuntaskan dugaan adanya pembantaian massal pada 1965.
“Apalagi tadi adanya dokumen dari AS, tidak serta merta dokumen itu kita jadikan kajian dalam proses penyelidikan. Ada upaya apakah informasi dari luar negeri layak untuk jadi pembuktian itu,” kata Wiranto usai diskusi Forum Merdeka Barat 9, Gedung Bina Graha, Jakarta Pusat, Kamis (19/10).