TRANSLATE

Jusuf Kalla: Inspektorat Jadi Tempat Pembuangan

Selasa, 29 Agustus 2017

JAKARTA, KOMPAS.com – Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluhkan jabatan-jabatan di inspektorat atau lembaga pengawasan internal di suatu instansi pemerintahan yang kerap diisi oleh pejabat yang tidak memiliki kompetensi di bidang pengawasan.

Hal ini disampaikan Kalla saat memberikan kuliah umum kepada Peserta Program Pendidikan Reguler (PPRA) ke-56 dan Program Pendidikan Singkat (PPSA) ke-21 Lemhanas Tahun 2017, di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin (28/8/2017).

“Kadang-kadang di banyak tempat, inspektorat itu menjadi tempat pembuangan,” kata Kalla.

Menurut Kalla, kondisi ini menjadi salah satu penyebab korupsi masih sering ditemukan di tubuh pemerintahan.

“Padahal untuk mengisi jabatan di sana, dibutuhkan orang yang mengerti, pintar tentang audit, tentang pengawasan,” ujar Kalla.

Pada kasus korupsi dana desa yang terjadi di Kabupaten Pamekasan, Kepala Inspektorat Pemerintah Kabupaten Pamekasan bahkan menjadi salah satu pejabat yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Padahal untuk mengisi jabatan di sana (inspektorat), dibutuhkan orang yang mengerti, orang yang pintar tentang audit, tentang pengawasan,” ujar Kalla.

Selain itu, Kalla menambahkan, faktor subjektivitas menjadi penyebab inspektorat kerap tidak efektif menjalankan perannya sebagai lembaga pengawasan internal.

Kalla mengatakan, saat ini pemerintah sedang merancang suatu sistem pengawasan terpadu terhadap instansi-instansi pemerintah, di mana pengawasan tidak sekadar menjadi tanggung jawab Inspektorat lembaga itu.

Sistem itu akan melibatkan KPK, Badan Pengawas Keuangan (BPK), hingga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Dengan demikian, ruang gerak seorang pejabat untuk melakukan korupsi diharapkan semakin tertutup.

“Kalau ada kesalahan, bagaimana prosesnya supaya dibawa ke BPK, BPKP langsung. Sehingga pihak yang menjadi inspektorat berasal dari luar, bukan dari dalam,” kata dia.

.

JK Keluhkan Inspektorat Kerap Jadi Tempat Buangan Pejabat

VIVA.co.id – Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengeluhkan jabatan-jabatan di inspektorat atau lembaga pengawasan internal di suatu instansi pemerintah, kerap diisi oleh pejabat yang tidak memiliki kompetensi di bidang pengawasan.

Menurut JK, kondisi itu menjadi salah satu penyebab korupsi masih sering ditemukan di tubuh pemerintahan.

Pada kasus korupsi dana desa yang terjadi di Kabupaten Pamekasan, Madura, yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal Agustus lalu, kepala Inspektorat Pemerintah Kabupaten Pamekasan bahkan menjadi salah satu pejabat yang diduga terlibat korupsi.

“Kadang-kadang di banyak tempat, inspektorat itu menjadi tempat pembuangan. Padahal untuk mengisi jabatan di sana, dibutuhkan orang yang mengerti, orang yang pintar tentang audit, tentang pengawasan,” ujar JK, memberikan kuliah umum kepada peserta program pendidikan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI di Istana Wakil Presiden, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin, 28 Agustus 2017.

Selain itu, JK menyampaikan, faktor subjektivitas menjadi sebab inspektorat kerap tidak efektif menjalankan perannya sebagai lembaga pengawasan internal. “Memang tidak mudah juga mengawasi teman. Seperti inspektorat yang di (pemerintah) daerah itu. Dia mengawasi temannya sendiri. Ini menjadi persoalan juga,” ujar JK.

JK menyampaikan bahwa pemerintah saat ini sedang merancang suatu sistem pengawasan terpadu terhadap instansi-instansi pemerintah, di mana pengawasan, tidak sekadar menjadi tanggung jawab Inspektorat lembaga itu.

Sistem itu direncanakan melibatkan KPK, Badan Pengawas Keuangan (BPK), hingga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dengan demikian, ruang gerak seorang pejabat untuk melakukan korupsi diharapkan semakin menyempit.

“Kita sedang membahas adanya suatu link antara BPK, BPKP, inspektorat. Mereka saling tukar menukar pengalaman, dan juga data. Kalau ada kesalahan, bagaimana prosesnya supaya dibawa ke BPK, BPKP langsung. Sehingga pihak yang menjadi inspektorat berasal dari luar, bukan dari dalam,” ujar JK.

.

Praktik Suap Masih Terjadi di Kementerian, ke Mana Inspektorat Pengawasan?

JAKARTA – ‎Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyayangkan masih lemahnya fungsi pengawasan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) setingkat inspektorat di institusi pemerintah termasuk kementerian. Buktinya masih ada praktik suap yang dilakukan pejabat. Teranyar yang dibongkar KPK adalah di Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Hal itu diungkapkan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang menyusul Dirjen Hubla Kemenhub, Antonius Tonny Budiono ditangkap oleh Satgas KPK terkait kasus dugaan korupsi menyangkut perizinan dan pengadaan proyek-proyek pada Kemenhub.

“Di banyak kementerian fungsi APIP yang biasa disebut fungsi inspektorat itu sering dipertanyakan banyak pihak. Nah (saat ini) lembaga, badan, dan kementeriaan harus ditingkatkan lagi perannya (pengawasan),” kata Saut, Selasa (29/8/2017).

Padahal, kata Saut, pihaknya sudah seringkali melakukan koordinasi supervisi dengan Kemenhub untuk melakukan pengawasan di tubuh internalnya. Namun memang, sambung Saut, integritas pejabatnya lagi-lagi dipertanyakan karena tersangkut kasus.

“Kalau sudah integritas yang menjadi masalah ya kita tinggal menebak, korupsi karena sistem, karena greedy, atau karena butuh,” cetusnya.

Senada dengan Saut, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, adanya kembali kasus korupsi di lingkungan Kemenhub lantaran kurangnya peran dari inspektorat yang mengawasi di lingkungan Kementerian tersebut.

“Kita butuh komitmen yang kuat untuk merevitalisasi inspektorat atau pengawasan internal. Terkait dengan indikasi gratifikasi (Tonny Budiono) juga sebenarnya sudah ada unit pengendali gratifikasi di sana,” jelasnya.

KPK sendiri telah resmi menetapkan Direktur Jenderal Perhubungan Kelautan (Hubla) Kemenhub non-aktif, Antonius Tonny Budiono dan Komisaris PT Adiguna Keruktama, Adiputra Kurniawan sebagai tersangka suap usai kena OTT.

Keduanya diduga telah melakukan kesepakatan jahat terkait ‎pemulusan perizinan pengerukan di Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah, yang dikerjakan oleh PT Adiguna Keruktama. Dalam hal ini ada uang dugaan suap sebesar Rp1,147 miliar yang diberikan Adiputra untuk Tonny Budiono.

Namun demikian, KPK masih terus mendalami proyek-proyek yang digarap oleh Tonny Budiono terkait perizinan dan pengadaan barang serta jasa di lingkungan Ditjen Perhubungan Laut, tahun anggaran 2016-2017 yang terindikasi ‎tindak pidana korupsi.

Sebagai pihak penerima suap, Tonny disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tipikor.

Sedangkan sebagai pihak pemberi, Adiputra, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor UU Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia