Menanti Drone Buatan Indonesia Mendunia
Selasa, 1 Agustus 2017tirto.id – Siang itu, Lapangan Terbang Pustekroket Rumpin, Kabupaten Bogor, begitu ramai dengan orang. Seratusan pasang mata tertuju ke sebuah pesawat mungil di landasan. Suara deru mesin meraung-raung, pesawat pun kemudian melaju cepat dan seketika melayang di udara. Suara sorak gembira pun pecah dari kerumunan sebagai tanda suksesnya pesawat tanpa awak atau Unmanned Aerial vehicles (UAV) atau “drone” buatan Indonesia.
Drone ini diklaim mampu terbang dengan kecepatan 68 knot dan hanya membutuhkan landasan pacu sepanjang 200-300 meter. Salah satu yang menonjol dari Rajawali 720, ialah hadirnya sebuah mobil bernama MCCV alias Mobile Command Control Vehicle. Mobil MCCV, berguna untuk mengendalikan drone. Selain itu, mobil tersebut juga berguna sebagai ruang perintah bagi komando dalam sebuah operasi.
Drone kedua yang diuji terbang ialah drone bernama Puna Alap-Alap dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Puna Alap-Alap, diklaim mampu terbang hingga 7 jam tanpa henti. BPPT mengklaim sebelum melakukan demo terbang, Puna Alap-Alap telah melakukan prestasi yang cukup gemilang. Ia, diklaim telah melakukan pemetaan jalur perkeretaapian seluas 6-7 ribu hektar antara Cirebon hingga Brebes.
Drone ketiga yang diuji terbang ialah sebuah drone bernama Elang Laut 25 buatan PT Carita Boat Indonesia. Elang Laut 25, diklaim mampu terbang tanpa henti selama 8 jam. Drone keempat dan kelima yang melakukan uji terbang ialah drone bernama Wulung. Satu dioperasikan oleh PT LEN Industri, satu lainnya dioperasikan oleh PT Dirgantara Indonesia (PT DI).
Priono Joni Hartanto, Project Management Manager PT LEN Industri mengungkapkan demo terbang tersebut, bisa dikatakan sukses tapi dari hasil pengamatan, suara yang dihasilkan oleh kelima drone masih cukup keras. Dari lima drone yang melakukan demo terbang, hanya drone Elang Laut 25 yang memiliki suara cukup hening karena telah disematkan teknologi bernama Muffler atau saringan suara.
Suara yang menggelegar adalah masalah yang serius pada suatu drone. Apalagi drone-drone biasanya dipakai untuk operasi pengintaian. Keadaan, suara yang menggelegar, maka musuh akan mengetahui pesawat drone yang sedang melakukan pengintaian. Sementara itu, drone Wulung memiliki suara paling keras.
“Kiita akan masukkan nanti penyetelannya. Kuncinya di muffler atau knalpotnya. Nanti kalau dipasang, suaranya nggak jauh dibanding lainnya,” kata Engineer Aerospace PT Dirgantara Indonesia Bona P Fitrikananda di lokasi acara.
Selain lima unit drone yang sukses melakukan demo terbang, terdapat drone lain yang ditampilkan. PT Bhinneka Dwi Persada, juga memamerkan pula drone bernama Rajawali 330 dan Rajawali 350. PT Carita Boat Indonesia, selain menerbangkan Elang Laut 25, juga membawa sebuah drone bernama Elang Nusa 3.0.
Selain itu, turut pula perusahaan lain yang tidak melakukan demo, tapi memamerkan drone buatan mereka. PT UAVindo Nusantara misalnya, mereka memamerkan drone CR 15, CR 10, dan BETA. PT mandiri Mitra Muhibbah atau M3, menampilkan drone yang bernama M3LSU03. Selanjutnya, ada PT Bhima Sena yang memamerkan drone SWG R-1 dan VTOL UAV, dan PT IPCD yang memamerkan drone yang bernama KX-0040.
Drone-drone tersebut diklaim sebagai buatan Indonesia, tapi peralatan-peralatan avionik seperti mesin dan instrumen elektronika lainnya umumnya merupakan produk impor. Instansi maupun perusahaan di Indonesia, hingga hari ini, baru mampu membuat bagian airframe atau bodi pesawat semata.
Gunawan S. Prabowo, Kepala Pusat Teknologi Penerbangan LAPAN mengungkapkan, “TKDN (Tingkat Komponen dalam Negeri) yang paling tinggi pada airframe-nya. Dari bahan sampai kita bikin oke-oke aja. […] Body, sayap, desain, itu bisa (dibuat oleh instansi/perusahaan Indonesia).”
LAPAN juga memiliki drone buatan sendiri. Lembaga antariksa ini memiliki LAPAN Surveillance UAV 01 hingga 05 dengan spesifikasi masing-masing yang berbeda. Drone dari LAPAN tersebut, juga tak luput dari penggunaan bagian-bagian impor. Gunawan menuturkan “masuk avionik, itu kita semua impor. Bukan hanya LAPAN, semua pemain UAV di Indonesia itu semua impor.”
Bona P Fitrikananda dari PT Dirgantara Indonesia juga menuturkan hal yang tak jauh berbeda. “Sama seperti pesawat (terbang berpenumpang), pesawat itu tidak semua kami buat, engine juga tidak kami buat. Kami beli dari perusahaan luar, kami pasang. Avioniknya kami beli dari perusahaan luar, kami pasang,” kata Bona.
Sistem avionik termasuk di dalam mesin pesawat, memang merupakan bagian yang rumit. Hasunah Camelia, Marketing Director PT Mandiri Mitra Muhibbah mengungkapkan pihaknya mengimpor mesin drone dari Jerman dan Jepang.
Tantangan Mengembangkan Drone
Ada dua permasalahan dalam mengembangkan dunia drone di Indonesia. Pertama, persoalan regulasi, hingga hari ini, aturan terkait desain produksi drone, belum tersedia, misalnya peraturan tentang desain proses yang sudah tersertifikasi, ketentuan soal desain dan produksi yang belum ada.
“UAV international dari ICAO (International Civil Aviation Organitation). Kalau negara-negara otoritasnya mestinya di Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Cuman di Indonesia Kemenhub belum merilis resmi regulasi itu,” kata Gunawan menambahkan.
Masalah kedua adalah sumber daya manusia, terutama personil yang menerbangkan drone. Gunawan menuturkan, LAPAN pernah mengadakan pelatihan pilot drone. Sayangnya, dari 30 orang yang dididik, hanya 5 yang berhasil lulus menjadi pilot drone.
Salah satu kendala utama sulitnya menghasilkan pilot drone karena menerbangkan drone, jauh lebih sulit daripada menerbangkan pesawat biasa. “Pesawat terbang kan langsung pegang. Kalau UAV pesawat sama orangnya ada jarak,” kata Gunawan.
Terbatasnya pilot drone jadi persoalan yang krusial, apalagi untuk kebutuhan drone militer. Indonesia, tentu tidak mungkin menggunakan pilot asing untuk menerbangkan drone untuk sebuah misi pengintaian.
Namun, perkembangan dan gairah pembuatan drone di Indonesia akan terus meningkat. Indonesia, akan mengubah haluan dalam pemanfaatan pesawat dengan awak dan menggantikannya dengan drone.
“Ke depan kita tidak terlalu memakai pesawat yang ada awak, karena itu mahal, pilotnya juga, bahan bakar mahal. Murah, kemudian untuk kecelakaan kecil. Kalaupun ada kecelakaan, nggak ada pilot yang mati,” kata Menhan Ryamizard Ryacudu di lokasi yang sama.
Peluang pengembangan drone di Indonesia sangat menjanjikan bagi instansi atau perusahaan Indonesia, bahkan bisa dibuat untuk tujuan ekspor. PT Dirgantara Indonesia misalnya telah memiliki perjanjian dengan beberapa negara untuk mengembangkan Wulung, antara lain penandatanganan MoU dengan Turki dan Korea Selatan. Keputusan Indonesia mengembangkan drone sudah seharusnya, karena drone sudah berkembang di banyak negara dengan berbagai sebutan.
Merujuk sejarahnya, nama “drone,” dalam buku Unmanned Aviation: A brief History of Unmanned Aerial Vehicles karya Laurence R. Newcome, baru muncul pada rentang 1930 – 1940. Sedangkan istilah UAV, baru terdengar di awal dekade 1990-an. UAV, merupakan nama yang menggambarkan “pesawat terbang robotik.” UAV menggeser nama sebelumnya dengan sebutan Remotely Piloted Vehicle (RPV) yang digunakan saat perang Vietnam.
Drone memang tengah naik daun, untuk keperluan pengembangan maupun pemanfaatannya. Indonesia saat ini punya kesempatan menjadi produsen drone untuk sipil maupun militer, dan itu sudah dimulai dari kegiatan demo terbang yang berlangsung di Rumpin, Bogor pekan lalu.
Menhan Ingin Drone Dilengkapi Senjata untuk Tempur
Hal itu disampaikannya usai menyaksikan uji coba drone hasil kerja sama Kemhan dan industri pertahanan.
“Pesawat terbang tanpa awak yang dibuat atas kerja sama Balitbang Kemhan dengan industri pertahanan dalam negeri sudah bagus, dengan jarak tempuh hingga 200 kilometer dan bisa digunakan selama 20 jam. Luar biasa itu,” kata Menhan di Lapangan Terbang Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/7/2017).
Dengan adanya drone yang penggunaannya relatif murah, kata Menhan, maka ke depannya pesawat yang menggunakan awak tidak akan terlalu sering digunakan karena cost relatif mahal. “Kemungkinan kecelakaan sangat kecil. Kalau pun ada kecelakaan tidak ada korban jiwa,” katanya dikutip dari Antara.
Menurut Ryamizard, pesawat terbang tanpa awak ini nantinya bisa dipasang senjata dan bom, serta bisa digunakan siang dan malam hari. “Ini enggak kalah lagi dengan dari luar. Kemudian akan ditingkatkan terus. Itu kalau pakai satelit, jaraknya bisa 500 kilometer,” kata mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad) ini.
Terkait dengan kegunaan drone ini, Purnawirawan Jenderal bintang empat ini berharap nantinya drone itu bisa dimaksimalkan untuk menjaga perbatasan, bahkan dapat digunakan untuk mencegah peredaran narkoba.
“Iya pasti (akan dimaksimalkan) di perbatasan mau lihat di mana tukang narkoba itu bawa narkoba. Semuanya lah. Curi-curi ikan segala macam. Nanti di kapal angkatan laut juga ada drone, penanganan bencana, segala macam lah,” katanya.
Namun demikian, Menhan mengatakan bahwa pihaknya tetap akan membeli beberapa drone militer dari Cina untuk menambah pengetahuan teknologi mengenai drone. “Jadi begini. Kita, orang Cina, orang manapun, beli pasti dia bedah itu barang untuk dipelajari. Kita juga beli sedikit satu-dua, kemudian kita pelajari untuk menambah kecanggihan itu. Semuanya begitu,” jelasnya.
Untuk diketahui, pesawat tanpa awak yang diterbangkan itu bernama Rajawali 720, melalui hasil kerja sama Balitbang Kemhan dengan PT Bhineka Dwi Persada. PPTA Rajawali 720 termasuk ke dalam kategori Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau juga disebut Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) dan merupakan PPTA bersayap tetap (fixed wing).
Drone itu memiliki kemampuan terbang lebih dari 24 jam dengan misi radius jelajah 20 km sampai dengan 1000 km, dan ketinggi jelajah 8000 meter dan kecepatan hingga 135 km/jam (73 knots). PPTA Rajawali 720 tersebut juga mampu tinggal landas dan landing dengan Iandasan yang cukup pendek.
PPTA Rajawali 720 dirancang dengan misi utama sebagai pesawat pengintai, yang dilengkapi dengan sistem gimbal dan kamera yang dapat mengirimkan hasil pantauan, baik gambar maupun video secara real time ke darat melalui Ground Control Station (GCS).