Menhan akan bentuk Badan Intelijen Pertahanan
Kamis, 11 Agustus 2016Merdeka.com – Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menggulirkan kembali program baru setelah menunjukkan perkembangan signifikan dalam mencetak kader bela negara sebanyak sekitar 1,5 juta kader setahun terakhir, dari target 20 juta kader dalam 10 tahun ke depan.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu bertekad membentuk Badan Intelijen Pertahanan (BIP). Salah satu alasan pembentukannya adalah hanya ada satu di dunia, yakni di Indonesia yang tidak memiliki badan intelijen di bawah Kementerian Pertahanan.
Sejak reformasi bergulir pada tahun 1998 yang juga berdampak pada pemisahan Kementerian Pertahanan dengan Mabes TNI membuat Kementerian Pertahanan tak memiliki badan intelijen karena badan intelijen berada di Mabes TNI.
Hal yang menarik adalah pembentukan BIP, yang mengemuka sejak awal bulan ini, sudah berjalan dengan mengangkat sejumlah pengurus dan mengadakan diskusi intelijen yang disertai pandangan-pandangan pengamat. Latar belakang pembentukan BIP adalah untuk mendapatkan berbagai informasi sebagai landasan pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan strategis.
Bahkan, Ryamizard telah melakukan sosialisasi soal rencana pembentukan BIP itu kepada Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen dan Keamanan Kepolisian RI (Baintelkam Polri), Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung, dan Intelijen Badan Keamanan Laut. Pimpinan lembaga intelijen itu menyetujui pembentukan BIP.
Hal lain yang menarik, pembentukan BIP ini bakal menghapus keberadaan Badan Instalasi Strategis Nasional (Bainstranas) Kementerian Pertahanan. Padahal keberadaan Bainstranas belum genap 2 tahun. Belum genap 2 tahun, Bainstranas segera berganti nama menjadi Badan Intelijen Pertahanan (BIP).
Diberitakan Antara, Kepala Bainstranas Mayjen TNI Paryanto yang baru dilantik pada jabatan itu, 16 Oktober 2014, menyampaikan bahwa Kementerian Pertahanan telah melaporkan kepada Presiden Jokowi mengenai rencana pembentukan BIP.
Bainstranas dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2014 tentang Perubahan Keenam atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara yang ditandatangani oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 12 Agustus 2014.
Dengan perpres itu, susunan organisasi Eselon I Kementerian Pertahanan adalah Sekretariat Jenderal, Ditjen Strategi Pertahanan, Ditjen Perencanaan Pertahanan, Ditjen Potensi Pertahanan, Ditjen Kekuatan Pertahanan, Inspektorat Jenderal, Badan Penelitian dan Pengembangan, Badan Pendidikan dan Pelatihan, Badan Sarana Pertahanan, Badan Instalasi Strategis Nasional, ditambah lima staf ahli menteri.
Dengan rencana pembentukan BIP oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, struktur organisasi di kementerian itu bakal mengalami perubahan lagi, padahal keberadaan Bainstranas sebagai kelembagaan baru di Kementerian Pertahanan memiliki tugas penting, melaksanakan pengelolaan kawasan instalasi strategis nasional.
Bainstranas yang berlokasi di kawasan IPSC (Indonesia Peace and Security Center) Sentul, Kabupaten Bogor ini menaungi tujuh instalasi strategis, yaitu Pusat Pasukan Siaga TNI (Standby Forces), BNPT (Badan Nasional Penanggulanan Terorisme), BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Unhan (Universitas Pertahanan), PMPP (Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian) TNI, Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan, dan Pusat Olahraga Militer.
Dengan persiapan pembentukan BIP, Paryanto bakal menjadi Kepala Bainstranas yang pertama dan terakhir.
Tak Tumpang-tindih Keinginan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu membentuk BIP terlontar ke publik sejak awal Juni. Sebelumnya, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu, dalam setahun terakhir telah berhasil menghasilkan sekitar 1,5 juta kader bela negara dari target 20 juta kader dalam 10 tahun ke depan.
Menurut dia, pembentukan BIP sangat penting karena Kementerian Pertahanan tanpa intelijen tidak mungkin. Dari mana membuat kebijakan strategis tanpa informasi intelijen.
Dalam pandangan lain, Wakil Ketua Komisi I DPR RI T.B. Hasanuddin menilai pembentukan BIP melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dengan adanya keinginan pembentukan BIP, harus diubah terlebih dahulu undang-undangnya. Pembentukan BIP tidak bisa melalui peraturan presiden karena harus merujuk pada UU.
Ia mencontohkan keberadaan atase pertahanan sebagai organ TNI di luar negeri sebagai “mata dan telinga” dan kalau dipindah ke Kementerian Pertahanan maka dasar atau perhitungannya intelijen bagi TNI dari mana. Lalu, dalam UU Intelijen Negara disebutkan bahwa intelijen pertahanan adanya di TNI bukan di Kementerian Pertahanan.
Hasanuddin yang juga mantan Sekretaris Militer mengaku tidak mempermasalahkan pembentukan BIP atau bahkan ingin berperan seperti agen intelijen AS (CIA). Namun, tetap tidak boleh menabrak UU.
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menanggapi bahwa pembentukan BIP tidak akan berimbas banyak atau tidak akan tumpang-tindih (overlapping) dengan badan intelijen lain yang telah lebih dahulu berdiri. Ketika rencana itu direalisasikan, tentu pemerintah telah memiliki struktur serta tugas pokok dan fungsi yang jelas bagi lembaga baru tersebut.
Transformasi Pembentukan BIP merupakan transformasi dari Bainstranas. Menurut Paryanto, BIP bukanlah barang baru, melainkan bentuk perubahan dari Bainstranas sehingga tidak akan mengubah eselon, anggota, dan anggaran.
Pembentukan BIP ini berangkat pula dari latar belakang kenyataan bahwa Kementerian Pertahanan tidak mempunyai badan intelijen, padahal negara perlu instrumen yang merumuskan ancaman yang dapat mengganggu keamanan negara serta untuk membuat kebijakan strategis.
Badan ini mempunyai tugas mengumpulkan data dari segala intelijen yang ada. Seperti dari BAIS TNI, Polri, dan kementerian atau lembaga nonkementerian lain.
Pembentukan BIN tidak akan tumpang-tindih dengan badan intelijen lain seperti BIN. BIN sebagai lembaga nonkementerian tetap di atas BIP yang berada di bawah kementerian. BIN mengoordinasi badan-badan intelijen lain, sedangkan BIP hanya berfokus pada masalah pertahanan.
Perbedaan BAIS dengan BIP adalah BAIS tidak bersifat politik, sedangkan BIP bisa dibawa ke ranah politik.
Lagi pula, tidak ada undang-undang yang melarang pembentukan badan intelijen di dalam kementerian atau lembaga. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara pada Pasal 7 menyebutkan bahwa ruang lingkup intelijen meliputi intelijen kementerian/lembaga pemerintah dan nonkementerian. Artinya, kementerian bisa memiliki badan intelijen.
Peneliti Kajian Strategi Intelijen Universitas Indonesia Ridlwan Habib menilai pembentukan BIP merupakan hal wajar, sebagaimana terdapat di negara-negara maju lain yang memiliki “defense intelligence”.
BIP dibutuhkan karena fungsi intelijen pertahanan di Indonesia belum spesifik. Memang ada BAIS TNI, tetapi tidak spesifik fokus pada isu pertahanan. BAIS TNI memiliki fungsi luar negeri dan masalah yang diurus terlalu banyak.
BIP bisa mempelajari dan menakar pertahanan negara asing. Intelijen pertahanan fokus pada kemampuan tempur dan pertahanan lawan di luar negeri, misalnya, terkait dengan jumlah pasukan, alutsista, dan strategi. Badan baru ini akan berfungsi sangat vital dalam menyediakan data dan analisis terkini tentang pertahanan, terutama dinamika dari negara lain. Misalnya, apa strategi militer Tiongkok, apa rencana terbaru militer Singapura, bagaimana Australia memperkuat armada senjatanya, dan sebagainya.
Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan perumusan kebijakan, strategi nasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional.
Terpenting adalah apa pun intelijen yang dibentuk, seyogianya benar-benar mengacu pada Pasal 3 UU Nomor 37 Tahun 2011 itu bahwa hakikat intelijen negara merupakan lini pertama dalam sistem keamanan nasional. Mesti cepat tanggap pada setiap ancaman musuh dan jangan sampai keamanan nasional disusupi kepentingan negara lain hanya karena sistem intelijen yang rentan.