RYAMIRZARD RYACUDU: Bela Negara Bukan Wajib Militer
Senin, 19 Oktober 2015Kabar24..com, JAKARTA — Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berencana membentuk 100 juta kader bela negara hingga 10 tahun ke depan yang bertujuan untuk menciptakan Indonesia yang kuat.
Untuk tahap awal, Kemenhan akan mengkader 4.500 pembina bela negara di 45 kabupateb-kota, untuk seterusnya akan mendidik masyarakat ikut program bela negara.
Namun Ryacudu buru-buru meluruskan arti bela negara bukan wajib militer dan bukan pula harus angkat senjata. Ia menegaskan, “Kader bela negara bukan wajib militer, namun sebagai hak dan kewajiban yang perlu disiapkan”.
“Bela negara itu membentuk disiplin pribadi, nanti bisa membentuk displin kelompok dan membentuk disiplin nasional. Hanya negara yang disiplin akan menjadi negara yang besar” katanya saat konferensi pers ‘Program Pelatihan Bela Negara’ di Kantor Kementerian Pertahanan (Kemhan), Jakarta, Senin (12/9).
Tujuan pembentukan kader bela negara adalah untuk menciptakan Indonesia yang kuat.
“Kekuatan sebuah negara negara tak hanya alat utama sistem senjata (alutsista) semata, tetapi juga manusianya (rasa nasionalismenya) terhadap negara,” kata mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ini.
Disebutkan pula, program pembentukan kader bela negara merupakan gagasan pemerintah untuk mempersiapkan rakyat menghadapi dua bentuk ancaman, yakni ancaman militer dan nirmiliter.
Meski Indonesia adalah negara yang cinta damai dan bukan agresor, tiap warga harus selalu siaga terhadap ancaman yang mengintai kedaulatan negara.
“Kalau kedaulatan kita disinggung, kalau perlu kita perang. Kalau perang, seluruh komponen harus mempertahankan negara. Itu namanya perang rakyat semesta,” ujar Ryamizard.
Setiap warga memang memiliki hak dan kewajiban selama hidup di Indonesia. Namun kata Ryamizard, selama ini banyak orang hanya menuntut haknya saja, sementara kewajiban tidak pernah ditunaikan. Oleh karena itu, dengan ikut pelatihan bela negara, maka itu termasuk sebagai pemenuhan kewajiban terhadap negara.
Ryamizard menjelaskan, pelatihan bela negara bukan semata tanggung jawab Kemhan, namun seluruh elemen bangsa juga wajib terlibat untuk menyukseskan program bela negara demi terciptanya kedaulatan negara dalam mengantisipasi ancaman militer dan nirmiliter.
Direktur Bela Negara Ditjen Pothan Kemenhan Laksma TNI M Faidal menyatakan, program bela negara tidak mencontoh Korea Selatan dan Singapura.
“Kalau Korea Selatan dan Singapura itu wajib militer, kita wajib bela negara,” katanya.
Faidal mengatakan, setiap warga negara mengikuti program bela negara juga akan digembleng pelatihan fisik dan psikis di tempat pendidikan tentara selama satu bulan, baik di Rindam maupun di batalyon TNI, yang kerja sama dengan pemerintah daerah setempat.
“Jangan khawatir tentang program pelatihannya. Kemhan sudah membuat secara matang standardisasinya. Kami sudah buat standardisasi kurikulum, sudah digodok dan dirapatkan oleh kementerian lainnya. Ini akan dipakai untuk seterusnya di seluruh Indonesia,” katanya.
Menurut dia, aturan bela negara diatur di UU Pertahanan, jadi ada kewajiban bela negara yang dilaksanakan dengan pendidikan dan penyadaran bela negara.
“Kader yang sudah dibentuk harus dibina di organisasi masyarakat kader bela negara, tercatat di Kesbangpol. Mereka tidak akan ke mana-mana,” tutur dia.
Materi dasar meliputi penegasan Pancasila sebagai dasar negara, cinta Tanah Air, nilai kegotongroyongan, hingga kerelaan berkorban demi kepentingan negara. Yang tidak kalah penting adalah penanaman nilai-nilai moral, karakter, dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Relevan Wakil Ketua Komisi I DPR (antara lain membidangi pertahanan), Hanafi Rais menilai ide pembentukan kader bela negara, relevan dengan ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu ancaman tradisional dan nontradisional.
“Ancaman itu sering mengemuka misalnya fenomena WNI direkrut jaringan teroris, infiltrasi budaya asing, dan kasus-kasus di perbatasan,” katanya.
Dia mengapresiasi ide yang dikemukakan Menteri Pertahanan itu namun jangan disalahpahami sebatas seperti konsep wajib militer.
Menurut dia, sebaiknya program bela negara sifatnya wajib tuntas bagi mereka yang sudah sukarela bergabung atau ditunjuk oleh negara.
“Tidak bisa berhenti di tengah jalan jika sudah memilih atau ditetapkan. Sebagai contoh, pegawai BUMN beberapa juga sudah mengadopsi konsep semacam ini dan outputnya bagus,” katanya.
Kedua menurut dia, kurikulum bela negara bisa mencakup umum dan khusus. Dia menjelaskan, umum terkait dengan doktrin, wawasan nusantara, dan cara pengambilan keputusan strategis.
“Sementara yang khusus terkait sesuai profesi yang menjadi latar belakang peserta bela negara,” ujarnya.
Ketiga, konsep bela negara bisa diperkaya dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat misalnya program “Peace Corps”.
Menurut dia, bela negara orientasinya tidak harus pertahanan dan keamanan (hankam), tetapi juga punya relevansi untuk keperluan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat.
“Intinya, program bela negara jalan terus sambil terus disempurnakan,” katanya. Politikus PAN itu mengatakan bahwa terkait dengan pendanaan program itu, akan dibicarakan bersama antara Komisi I DPR dengan Kementerian Pertahanan.
Hanafi yakin Menhan sudah menghitung kapasitas anggaran negara untuk program tersebut.
“Pernah disinggung (anggaran bela negara) namun tidak merinci, uji coba jalan dahulu tidak masalah,” ujarnya.
Sementara Ketua MPR, Zulkifl Hasan menyoroti materi program tersebut. Ia mengatakan program tersebut harus memuat materi yang “kekinian”.
“Jadi, supaya disesuaikan dengan generasi twitter dan generasi facebook sekarang ini,” katanya.
“Kan beda bela negara tahun dulu, terutama model dan intinya sama, tapi tata caranya mungkin beda dengan zaman sekarang,” kata Hasan.
Payung hukum Melihat pentingnya bela negara, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, juga mendukung program tersebut.
“Bela negara merupakan kewajiban setiap warga negara yang diatur dalam undang-undang dasar 1945 yang menjadi konstitusi negara,” kata Hidayat yang juga Wakil Ketua MPR.
Oleh karena itu setiap warga negara berkewajiban untuk mendukung program pemerintah tersebut karena hal itu merupakan amanah dari konstitusi negara untuk melindungi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Saya kira dalam hal bela negara diminta atau tidak, kita semua berkewajiban untuk membela negara dari berbagai ancaman,” kata Hidayat.
Memang kewajiban bela negara sudah diatur dalam pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945. Namun menurut Hidayat, pemerintah perlu segera membuat undang-undang tentang bela negara, sehingga keikutsertaan warga negara dalam bela negara menjadi jelas dan terukur.
“Kalau pemberantasan narkoba atau korupsi dilengkapi dengan undang-undang, maka kewajiban bela negara juga perlu diatur dengan undang-undang,” katanya,” katanya.
Senada dengan Hidayat, anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin mengatakan program bela negara membutuhkan payung hukum berupa perundang-undangan guna membuat parameter yang jelas.
“Butuh undang-undang supaya ada parameter, misalnya, nanti kebijakan bela negara seperti apa, pelaksananya siapa, pelakunya siapa dan kategori umur berapa, sistem rekrutmen seperti apa, sistem pelatihannya, kurikulumnya bagaimana,” ujar TB Hasanuddin.
Menurut dia, implementasi program bela negara jangan tergesa-gesa tanpa payung hukum, agar tidak menimbulkan salah tafsir.
Politikus PDI Perjuangan itu mengatakan konsep bela negara baik dalam konteks menumbuhkan kesadaran masyarakat.
Dia mencontohkan, ketika perang kemerdekaan kesadaran bela negara rakyat tinggi, sehingga siap mengangkat senjata, lalu setelah perang selesai rakyat kembali ke profesinya masing-masing.
“Tapi (bela negara saat ini), bukan semata dilatih menembak, makanya dibutuhkan undang-undang. Misal, ada bencana kan anda ikut membantu, itu kan harus ada kesadaran bela negara,” terang dia.
Selain itu, TB Hasanuddin mempertanyakan rencana membentuk kader bela negara sebanyak 100 juta orang dalam 10 tahun.
“Penjelasan Kemenhan tentang rencana membentuk kader bela negara sebanyak 100 juta orang dalam 10 tahun rasanya sulit untuk dimengerti,” katanya.
Dia menjelaskan, pertama dilihat dari targetnya, berarti 10 juta orang/tahun atau 833.000 orang/bulan. Menurut dia, target itu sangat fantastis apabila dibandingkan dengan kapasitas Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) Kemhan.
.
Menhan Tegaskan Bela Negara Bukan Angkat Senjata
[BEIJING] Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menegaskan bela negara bukan wajib militer dan bukan pula harus angkat senjata, melainkan kewajiban yang melekat pada setiap warga negara untuk mencintai dan membangun negaranya.
“Bela negara sama sekali bukan wajib miiter. Wajib militer itu kan dipaksa. Bela negara itu kewajiban yang sudah melekat di setiap warga negara. Bela negara juga bukan angkat senjata dan lempar-lempar granat,” kata Menhan Ryamizard , dalam obrolannya dengan Antara di Beijing, Jumat (16/10).
Ia mencontohkan, setiap warga negara memiliki hak.
“Kalau buruh melakukan aksi demonstrasi menuntut kesejahteraannya, itu hak dia sebagai warga negara. Nah, sekarang kewajibannya sebagai warga negara mana?, jangan hanya menuntut ini dan itu saja. Itu gambaran sekilas apa itu bela negara. Jadi bukan selalu angkat senjata,” kata Ryamizard.
Nasionalisme, cinta Tanah Air, kebanggaan kepada negara, itu harus terus diciptakan, ditumbuhkembangkan, dilanggengkan, itu bela negara.
“Bagaimana setiap warga negara bisa memiliki kecintaan, kebanggaan kepada negara, kepada Tanah Air, sehingga apa pun yang dikerjakan, dilakukan, atas dasar kecintaan dan kebanggaan atas negara. Itu bela negara,” tuturnya menegaskan.
“Nah untuk menciptakan, menumbuhkembangkan rasa bela negara itu kan harus dilakukan sejak dini hingga usia lanjut. Mulai dari pendidikan di rumah, lingkungan masyarakat, sosial dan profesional. Jadi, bukan angkat senjata dan lempar-lempar granat,” kata Ryamizard menekankan.
Tentang kemungkinan bela negara menjadi bagian dari kurikulum penting nasional, Menhan mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Bela negara itu kewajiban yang melekat pada setiap warga negara, jadi memang harus diupayakan oleh semua pihak, untuk semua kalangan,” katanya.
Kementerian Pertahanan mencanangkan program bela negara bagi 100 juta warga negara Indonesia yang berusia di bawah 50 tahun. Rekrutmen uji coba pemerintah dalam latihan bela negara pada Oktober ini adalah 4.500 peserta, berasal dari 45 kabupaten dengan 100 peserta dari masing-masing kabupaten.
Sumber : http://sp.beritasatu.com/home/
.
Menhan: Bela Negara Bukan Lempar-Lempar Granat
BEIJING – Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menegaskan bela negara bukan wajib militer dan bukan pula harus angkat senjata. Namun kewajiban yang melekat pada setiap warga negara untuk mencintai dan membangun negaranya.
“Na, untuk menciptakan, menumbuhkembangkan rasa bela negara, itu kan harus dilakukan sejak dini hingga usia lanjut. Mulai dari pendidikan di rumah, lingkungan masyarakat, sosial, dan profesional. Jadi, bukan angkat senjata dan lempar-lempar granat,” ujarnya di Beijing, Jumat (16/10/2015).
Menurut Ryamizard, wajib militer itu dipaksa. Sedangkan program bela negara itu hanya kewajiban yang sudah melekat di setiap warga negara. Ia mencontohkan, setiap warga negara memiliki hak seperti untuk demo.
“Kalau buruh melakukan aksi demonstrasi menuntut kesejahteraannya, itu hak dia sebagai warga negara. Na, sekarang kewajibannya sebagai warga negara mana? Jangan hanya menuntut ini dan itu saja. Itu gambaran sekilas apa itu bela negara. Jadi, bukan selalu angkat senjata,” katanya.
Tentang kemungkinan bela negara menjadi bagian dari kurikulum nasional, Ryamizard menuturkan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kemhan mencanangkan program bela negara bagi 100 juta warga negara Indonesia yang berusia di bawah 50 tahun. Rekrutmen uji coba pemerintah dalam latihan bela negara pada Oktober ini adalah 4.500 peserta yang berasal dari 45 kabupaten dengan 100 peserta dari masing-masing kabupaten.
Sumber : http://news.okezone.com/read
.
Dirjen Kemhan: Bela Negara Sukarela, Tak Ada Latihan Militer
Jakarta, CNN Indonesia — Kementerian Pertahanan menyatakan bela negara tak sama dengan komponen cadangan. Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, komponen cadangan ialah “Warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama (TNI).”
“Konsep bela negara tidak seperti komponen cadangan. Ini soal kesadaran cinta kepada negara. Bela negara wajib menurut konstitusi, pelaksanaannya sukarela. Tak ada latihan militer. Ini tentang kedisiplinan,” kata Direktur Bela Negara Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Kemhan, Laksamana Pertama M Faizal kepada CNN Indonesia.
Menurut Faizal, banyak orang salah kaprah dalam mengartikan “bela negara” yang kini menjadi program kementeriannya. Kalau pun ada pelatihan oleh TNI, kata dia, itu bukan semacam pelatihan militer keras ala tentara.
“Ini seperti outbond yang sekarang menjamur dan banyak disukai. Lebih ke pendidikan untuk membentuk kedisiplinan dan kepemimpinan. Dalam latihan misal mesti bangun pagi, lalu masuk kelas untuk mengikuti pelajaran bela negara, Pancasila. Jadi titik beratnya untuk menumbuhkan cinta tanah air dan semangat nasionalisme,” ujar Faizal.
Sebelumnya, disebutkan pelatihan bela negara akan diselenggarakan selama sebulan di satuan-satuan pendidikan Tentara Nasional Indonesia seperti Resimen Induk Daerah Militer. Selama kurun waktu itu, warga diinapkan di asrama.
Pelatihan bela negara ini akan dimulai pekan depan, bertepatan dengan Hari Bela Negara yang jatuh pada 19 Oktober, di 45 kabupaten dan kota. Sebanyak 4.500 warga sipil disebut Kemhan akan ikut serta. Selanjutnya dalam 10 tahun ke depan, pemerintah menargetkan 100 juta orang telah dididik bela negara.
“Sekarang sudah banyak yang daftar. Banyak yang antusias. Kami ingin pelatihan misal diikuti oleh tokoh-tokoh masyarakat dan guru-guru, karena mereka yang nanti meneruskan pembelajaran bela negara ini ke warga lain dan murid-murid di sekolah,” kata Faizal.
Ia meminta bela negara tidak dimaknai sempit. “Ini konteksnya luas. Ancaman bangsa ada berbagai jenis. Jadi bela negara juga termasuk menjaga lingkungan agar bersih dari sampah, mencintai produk lokal, menghargai sesama, dan gotong royong,” ujar Faizal.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga menyatakan bela negara bukan wajib militer. Namun bertentangan dengan ucapan Faizal yang menyebut pelaksanaan bela negara sukarela, Ryamizard sebelumnya mengatakan program ini wajib dilaksanakan.
“Ini bukan wajib militer. Ini hak dan kewajiban. Hak boleh dituntut, tapi kewajiban harus dilaksanakan. Negara membolehkan demonstrasi. Sekarang negara meminta warganya untuk bela negara,” kata Ryamizard.
Menurut mantan Kepala Staf Angkatan Darat itu, bela negara akan disesuaikan dengan keahlian dan profesi tiap individu. Di bidang nonmiliter misalnya, kata dia, ada banyak hal yang mengancam anak bangsa seperti penyalahgunaan narkotik, bencana alam, dan penyebaran penyakit menular.
Ke depannya, ujar Faizal, bela negara akan secara bertahap dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah untuk menanamkan cinta tanah air dan kedisiplinan kepada murid.