TRANSLATE

Perang Asimetrik, TNI Harus Perkuat Pertahanan Cyber

Selasa, 13 Oktober 2015

JAKARTA – Perang asimetrik bukan cuma ancaman, karena sebenarnya sudah terjadi. Pencurian informasi dan saling ancam antar negara mewarnai hubungan diplomatik dewasa ini. Dalam usianya yang ke-70 TNI (Tentara Nasional Indonesia) diharapkan mampu menjadi salah satu garda terdepan penjaga kedaulatan wilayah NKRI.

Namun TNI juga dihadapkan pada realita bahwa kini tak hanya wilayah darat, laut dan udara yang menjadi ajang peperangan. Adalah wilayah cyber yang di era seba digital ini membutuhkan perlakuan khusus, utamanya untuk membangun pertahanan cyber nasonal yang handal.

Dalam keterangan persnya Senin (5/10), ketua lembaga riset keamanan cyber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) Pratama Persadha menjelaskan bahwa TNI punya peran sangat krusial dalam membangun pertahanan cyber. Terutama terkait SDM dan alutsista yang dimiliki akan sangat membantu terwujudnya Badan Cyber Nasional yang kuat.

“TNI punya alutsista yang juga terkait dunia cyber. Namun yang lebih penting, urusan pertahanan secara makro, TNI sangat menguasai. Karena itu membangun pertahanan cyber, TNI wajib dilibatkan,” jelasnya.

Pakar keamanan cyber ini menambahkan bahwa penting bagi TNI ikut serta dalam pembentukan sistem pertahanan cyber yang kuat.

“TNI mempunyai banyak alutsista, yang harus diakui sebagian besar berasal dari luar negeri. Untuk menjamin keamanan cyber jangka panjang, TNI harus diperkuat dengan peralatan buatan dalam negeri dan juga diperkuat kemampuan pertahanan cybernya,” terang Pratama.

Bisa dibayangkan bagaimana berbahayanya bila peralatan komunikasi maupun senjata yang terintegrasi satu sama lain ini bisa disadap dan diinflitrasi negara lain. Tidak hanya informasi penting yang bisa dicuri, namun dengan remote dari jarak jauh, senjata yang ada bisa saja tidak berfungsi.

“Kita memasuki perang asimetrik. Dimana perebutan dan pencurian informasi strategis menjadi kunci utama menangnya sebuah negara. AS berhasil masuk ke Iraq misalnya, tentu dengan bantuan alat dan intelejen canggihnya dalam mengambil serta mengamankan informasi agar sampai ke tujuan,” pungkasnya.

Kini dengan anggaran kurang lebih Rp 120 triliun TNI diharapkan terus melakukan pembaruan alutsista dan juga penguatan kekuatan cyber mereka. Peningkatan kualitas SDM dan infrastruktur cyber di tubuh TNI niscaya akan banyak membantu dalam menghadapi perang asimetrik ini.

Menurut Pratama, infrastruktur bisa dibeli dari dalam maupun luar negeri, namun juga tak menutup kemungkinan menerima hibah negara lain.

“Soal perangkat militer hibah dari luar negeri sebenarnya tidak ada masalah. TNI hanya perlu melakukan screening ulang untuk mengecek apakah ada hardware maupun software yang ditanam untuk menyadap maupun melakukan control jarak jauh,” tegas pria yang pernah menjadi Plt Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara ini.

source: http://autotekno.sindonews.com

.
TNI Diminta Fokus Hadapi Ancaman “Proxy War”

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya meminta Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk fokus mempersiapkan diri dalam menghadapi berbagai macam ancaman pertahanan dan keamanan pada abad ke-21, khususnya proxy war yang berpotensi mengancam keutuhan Indonesia.

“TNI harus sigap terhadap berbagai macam jenis tantangan abad ke-21, tantangan tersebut adalah peperangan yang sarat dengan teknologi, sarat menggunakan cyber, dan perang proxy. Perang proxy ini tanpa senjata, tapi dampaknya luar biasa,” ujar Tantowi saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10/2015).

Politisi Partai Golkar tersebut menyebutkan bahwa proxy war merupakan jenis perang yang dilakukan tanpa senjata, tetapi mampu menimbulkan dampak yang destruktif dan masif serta mengancam keutuhan NKRI. Ia mencontohkan semakin maraknya konflik-konflik yang terjadi di antara kelompok-kelompok masyarakat, seperti kelompok etnis, agama, suku, ras, hingga golongan politik, patut menjadi perhatian utama TNI dalam melakukan pencegahan dan pengawasan terhadap konflik-konflik tersebut.

“Kita tidak bisa menyikapinya sebagai gejala sosial biasa, karena ini bisa saja dilakukan oleh tangan-tangan asing yang menginginkan bangsa ini hancur,” kata dia.

Proxy war dikenal sebagai perang yang terjadi ketika lawan kekuatan menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti berkelahi satu sama lain secara langsung. Sementara kekuasaan kadang-kadang digunakan pemerintah sebagai proxy, aktor non-negara kekerasan, dan tentara bayaran pihak ketiga lainnya yang lebih sering digunakan.

Selain itu, kata dia, TNI juga harus memperhatikan ancaman perang siber (cyber war). Hal tersebut membuat TNI harus menjalin kerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait dalam bidang pertahanan dan keamanan untuk menghadapi proxy war dan perang siber.

“Karena persoalan perang cyber, kita di-bully di dunia cyber oleh orang-orang yang tidak kita kenal itu harus ditangani dengan serius oleh kementerian dan lembaga terkait secara terpadu dan TNI sebagai garda terdepan,” ujarnya.

Secara terpisah, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengatakan, TNI dihadapkan pada persoalan yang semakin kompleks seiring tantangan yang dihadapi Indonesia. Setidaknya, ada empat persoalan yang menanti TNI untuk segera diselesaikan.

“Tantangan besar yang dihadapi negara dan TNI saat ini, pertama, adalah meningkatnya tensi konflik politik dan keamanan di berbagai kawasan, termasuk Laut China Selatan,” kata Mahfudz dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/10/2015).

Tantangan kedua adalah kejahatan lintas negara non-tradisional yang semakin merebak, seperti terorisme, kejahatan siber, dan separatisme internasional. TNI juga menghadapi pertarungan kepentingan ekonomi terhadap beragam sumber daya yang menggunakan metode proxy war.

“Keempat, membesarnya potensi bencana alam akibat dampak persoalan lingkungan,” ujarnya.

Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah tugas pokok TNI sebagai penjaga kedaulatan NKRI yang kini tengah mengembangkan diri sebagai negara maritim. TNI juga dituntut mampu memantau semua wilayah, menjaga sumber daya, serta menghadapi segala gangguan terhadap wilayah dan sumber daya alam.

.
Pakar IT: TNI Harus Siap Masuk Perang Asimetrik

Liputan6.com, Jakarta – Perang asimetrik bukan cuma ancaman, karena sebenarnya sudah terjadi. Pencurian informasi dan saling ancam antar negara mewarnai hubungan diplomatik dewasa ini. Dalam usianya yang ke-70, TNI diharapkan mampu menjadi salah satu garda terdepan penjaga kedaulatan wilayah NKRI.

Demikian pemikiran yang mengemuka dalam diskusi terbatas di lembaga kajian keamanan cyber, CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) dalam menyambut Hari TNI ke 70, yang diisi pembicara tunggal peneliti dan pakar IT Pratama Persada, Senin (5/10/2015) di kantor CISSRec.

Dalam materinya, Pratama memantik diskusi bahwa saat ini TNI juga dihadapkan pada realita bahwa kini tak hanya wilayah darat, laut, dan udara yang menjadi ajang peperangan. Adalah wilayah cyber yang di era seba digital ini membutuhkan perlakuan khusus, utamanya untuk membangun pertahanan cyber nasonal yang andal.

Dalam keterangan resminya, Pratama yang juga menjabat sebagai ketua lembaga riset keamanan cyber CISSReC menjelaskan bahwa TNI punya peran sangat krusial dalam membangun pertahanan cyber. Terutama terkait SDM dan alutsista yang dimiliki akan sangat membantu terwujudnya Badan Cyber Nasional yang kuat.

“TNI punya alutsista yang juga terkait dunia cyber. Namun yang lebih penting, urusan pertahanan secara makro, TNI sangat menguasai. Karena itu membangun pertahanan cyber, TNI wajib dilibatkan,” jelasnya.

Ditambahkan bahwa penting bagi TNI ikut serta dalam pembentukan sistem pertahanan cyber yang kuat. Wilayah darat, laut, dan udara yang selama ini menjadi area tugas TNI nyatanya kini juga tak lepas dari ancaman serangan cyber.

“TNI mempunyai banyak alutsista, yang harus diakui sebagian besar berasal dari luar negeri. Untuk menjamin keamanan cyber jangka panjang, TNI harus diperkuat dengan peralatan buatan dalam negeri dan juga diperkuat kemampuan pertahanan cyber-nya,” kata Pratama.

Bisa dibayangkan bagaimana berbahayanya bila peralatan komunikasi maupun senjata yang terintegrasi satu sama lain ini bisa disadap dan diinflitrasi negara lain. Tidak hanya informasi penting yang bisa dicuri, namun dengan remote dari jarak jauh, senjata yang ada bisa saja tidak berfungsi.

“Saat ini kita memasuki perang asimetrik, dimana perebutan dan pencurian informasi strategis menjadi kunci utama menangnya sebuah negara. AS berhasil masuk ke Iraq misalnya, tentu dengan bantuan alat dan intelejen canggihnya dalam mengambil serta mengamankan informasi agar sampai ke tujuan,” kata Pratama.

Kini dengan anggaran kurang lebih Rp 120 triliun TNI diharapkan terus melakukan pembaruan alutsista dan juga penguatan kekuatan cyber mereka. Peningkatan kualitas SDM dan infrastruktur cyber di tubuh TNI niscaya akan banyak membantu dalam menghadapi perang asimetrik ini.

Menurut Pratama, infrastruktur bisa dibeli dari dalam maupun luar negeri, namun juga tak menutup kemungkinan menerima hibah negara lain.

“Soal perangkat militer hibah dari luar negeri sebenarnya tidak ada masalah. TNI hanya perlu melakukan screening ulang untuk mengecek apakah ada hardware maupun software yang ditanam untuk menyadap maupun melakukan kontrol jarak jauh,” pungkas Pratama yang sebelumnya menjabat sebagai Plt Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara ini.




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia