TRANSLATE

BPK Siap Dukung Tax Amnesty Asal Adil

Senin, 27 April 2015

BPK Siap Dukung Tax Amnesty Asal Adil

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyatakan pihaknya siap untuk dilibatkan dalam proses pemberian fasilitas pengampunan pajak (tax amnesty) apabila Pemerintah membuat aturannya dan substansinya berkeadilan.
Penegasan sikap itu disampaikan Anggota BPK RI, Achsanul Qosasih, Jumat (24/4/2015).

Menurut Achsanul, soal tax amnesty itu adalah kewenangan Pemerintah dan DPR.

Sementara kalau BPK dilibatkan, hanya bisa memberikan masukan dan pendapat terutama dalam hal penetapan sasaran sesuai dengan hasil Pemeriksaan.

“Sepanjang penerapan tax amnesty itu memilki keadilan maka BPK pasti akan mendukung,” tegas Achsanul.

Untuk diketahui, rencana kebijakan tax amnesty muncul dalam pertemuan diantara Komisi XI DPR RI dengan Kementerian Keuangan RI, beberapa waktu lalu.

Salah satu kesimpulan pertemuan itu adalah persetujuan untuk melaksanakan kebijakan tax amnesty.

Kalangan Komisi XI DPR RI sendiri secara terbuka menyatakan dukungannya atas rencana itu. Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar Fadel Muhammad menyatakan bahwa kebijakan tax amnesty akan berpotensi menarik dana yang selama ini diparkir di luar negeri. Negara sendiri akan mendapatkan bagian yang langsung bisa masuk ke kas negara lewat pajak.

Dukungan juga datang dari Ketua Panja Penerimaan Negara Komisi XI DPR dari Fraksi PAN, Jon Erizal, yang menilai kebijakan tax amnesty adalah salah satu jawaban atas kurangnya pendanaan untuk membangun infrastruktur dan perekonomian.

Sekretaris Panja Penerimaan Negara, M.Misbakhun, menyatakan pihaknya meyakini pemerintah bisa memasukkan rancangan aturan tax amnesty ke dalam Prolegnas 2015.

Kalangan pengusaha juga mendukung kebijakan itu. Dewan Pertimbangan Apindo, Sofjan Wanandi, dan Ketua HIPMI Bahlil Lahadila menyatakan kebijakan itu akan banyak bermanfaat bagi pemasukan pajak negara.

Yang utama, kebijakan akan mendorong uang yang lari ke luar saat Krisis 1997-1998 kembali ke dalam negeri.

Namun ditekankan juga oleh semua pihak agar ada kepastian hukum dan jaminan pemberian fasilitas itu tak dipermasalahkan di masa mendatang.

Disebutkan syarat itu mewajibkan aturan harus bisa mengkoordinasikan pemberian fasilitas melibatkan clearance dari Kepolisian RI, Kejaksaan, KPK, Mahkamah Agung, dan BPK RI.

.
Bila Pemerintah dan DPR Sepakat, BPK Siap Dukung “Tax Amnesty”

Jakarta – Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Achsanul Qosasih, menilai pembuatan aturan tax amnesty atau pengampunan pajak adalah yurisdiksi kewenangan pemerintah dan DPR. Walau demikian, bila perannya diperlukan, BPK siap mendukung adanya kebijakan tax amnesty itu.

“Tax amnesty itu kewenangan pemerintah dan DPR,” kata Achsanul di Jakarta, Jumat (24/4).

Dia melanjutkan, BPK hanya bisa berperan dalam hal memberikan masukan dan pendapat, terutama dalam hal penetapan sasaran sesuai hasil pemeriksaan. Hanya saja, ditekankannya, BPK siap dilibatkan apabila kebijakan itu jadi dilaksanakan.

“Sepanjang penerapan tax amnesty itu memilki keadilan, maka BPK pasti akan mendukung,” tegas Achsanul.

Kebijakan tax amnesty memang diharapkan memberi kepastian hukum dan jaminan pemberian fasilitas itu tak dipermasalahkan di masa mendatang. Disebutkan, syarat itu mewajibkan aturan harus bisa mengoordinasikan pemberian fasilitas melibatkan clearance dari Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Mahkamah Agung, dan BPK.

Ditjen Pajak berniat menerbitkan aturan mengenai tax amnesty, yang diperkirakan bisa menarik dana milik orang Indonesia di luar negeri hingga Rp 3.000 triliun. Dari uang yang masuk itu, diprediksikan ada tambahan penerimaan pajak sebesar Rp 200 triliun.

Kebijakan pengampunan pajak sudah beberapa kali diberlakukan di Indonesia. Pada tahun 1984, Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26/1984 tentang Pengampunan Pajak. Dalam aturan ini, semua jenis pajak di masa itu, termasuk pajak kekayaan, bisa mendapat pengampunan pajak, dengan tebusan sebesar satu persen dari jumlah kekayaan yang menjadi dasar perhitungan pajak yang dimintakan pengampunan untuk wajib pajak yang telah memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT). Atau, sebesar 10 persen dari jumlah kekayaan yang menjadi dasar perhitungan pajak yang dimintakan pengampunan untuk wajib pajak yang belum memasukkan SPT-nya.

Wajib pajak yang mendapat pengampunan juga terbebas dari pengusutan pajak. Bahkan, laporan kekayaan yang disampaikan dalam rangka pengampunan pajak tidak dapat dijadikan dasar untuk penyidikan dan penuntutan pidana dalam bentuk apapun.

Pengampunan pajak versi kedua dikenal dengan istilah sunset policy, yakni pemberian fasilitas perpajakan yang berlaku hanya pada 2008, dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga. Hal itu diatur dalam Pasal 37A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Kebijakan itu berhasil menambah sekitar lima juta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan sekitar 800.000 SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh).

Namun, dari sisi penerimaan pajak, sunset policy tak berefek maksimal. Tambahan pajak akibat kebijakan itu sekitar Rp 7,46 triliun, tidak sampai dua persen dari total penerimaan pajak sepanjang 2008.

Terakhir, pemerintah menerbitkan pengampunan pajak terakhir yakni melalui kebijakan sunset policy jilid kedua. Bentuknya adalah penghapusan sanksi administrasi atas pembetulan SPT.

Sumber : http://www.beritasatu.com/makro/




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia