TRANSLATE

BPK Laporkan Kerugian Negara, Ini Kata Menko Sofyan

Rabu, 8 April 2015

BPK Laporkan Kerugian Negara, Ini Kata Menko Sofyan

Liputan6.com, Jakarta – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) semester II 2014 kepada DPR. Dalam laporannya, BPK menemukan 3.293 masalah berdampak finansial Rp 14,74 triliun.

Dari temuan itu, BPK mengungkapkan ada masalah penerimaan pajak dari sektor minyak dan gas senilai Rp 1,12 triliun. Permasalahan penerimaan itu terdiri dari potensi pajak bumi dan bangunan (PBB) sektor migas terutang dengan besaran minimal Rp 666,23 miliar.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil mengungkapkan, pemerintah akan menindaklanjuti setiap laporan BPK. Dalam hal ini, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditugaskan Presiden untuk mengawasi semua kementerian.

“Temuan BPK harus ditindaklanjuti. Kalau perpajakan diatur oleh Undang-undang (UU) sendiri. Yang penting sistem perpajakan memenuhi persyaratan, sedangkan jika UU tidak memungkinkan, BPK bisa masuk ke individual petugas pajak,” terang dia di kantornya, Jakarta, Selasa (7/4/2015).

Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak, kata Sofyan, pasti sudah memastikan pajak tersebut dibayarkan atau dihitung secara benar. Sehingga hanya lembaga tertentu saja yang boleh melacak atau menelusuri data pajak seseorang.

“Untuk penerimaan pajak terakhir ini, kita belum mendapatkan laporannya. Ada gap, tapi itu biasa kata Menteri Keuangan karena tahun ini banyak restitusi di bulan pertama dan kedua,” cetus dia.

Sementara itu, Deputi Bidang Usaha Jasa Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Gatot Trihargo menambahkan, pihaknya selalu mendorong perusahaan pelat merah menindaklanjuti temuan BPK, menerapkan tata kelola perusahaan dengan baik.

“Pasti akan ditindak jika BUMN tidak sesuai dengan tata kelola perusahaan. Ada SOP yang terus diperbaharui setiap tahun,” tutur dia.

BPK diberitakan sebelumnya membeberkan, dampak finansial Rp 14,74 triliun, terdiri atas masalah yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 1,42 triliun, potensi kerugian negara senilai Rp 3,77 triliun, dan kekurangan penerimaan senilai Rp 9,55 triliun.

BPK juga memeriksa 651 objek pemeriksaan, terdiri atas 135 objek pada pemerintah pusat, 479 objek pemerintah daerah dan BUMD, serta 37 objek BUMN dan badan lainnya. Berdasarkan jenis pemeriksaannya terdiri atas 73 objek pemeriksaan keuangan, 233 pemeriksaan kinerja, dan 345 pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

.
BPK Serahkan Temuan Kerugian Negara ke KPK, Apa Saja?

TEMPO.CO , Jakarta: Anggota Badan Pemerika Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi, mengatakan penurunan angka kerugian negara semester II 2014 merupakan prestasi. “Ini artinya ada perbaikan,” katanya saat dihubungi Tempo, Selasa 7 April 2015.
Menurut Achsanul, pihaknya akan segera melaporkan hasil temuan kerugian negara ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Pasti kami kirim setelah selesai dari DPR.”

BPK menemukan 3.293 masalah yang berdampak finansial sepanjang semester kedua 2014. Temuan tersebut bernilai Rp 14,74 triliun. Dari jumlah itu Rp 1,42 triliun yang mengakibatkan kerugian negara. Angka ini lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 1,7 triliun.

Dari nilai temuan sebesar Rp 14,74 triliun itu, sekitar Rp 3,77 triliun berpotensi merugikan negara dan Rp 9,55 triliun belum disetorkan. Selain itu ada 3.150 masalah ketidakpatuhan yang mengakibatkan tidak ekonomis, tidak efisien, dan tidak efektif. Nilainya mencapai Rp 25,81 triliun.

Achsanul berkata, penurunan kerugian ini karena pengelolaan keuangan negara di berbagai lembaga tinggi dan kementerian lebih baik. “Mereka sekarang melakukan sesautu lebih hati-hati dan tidak gegabah,” katanya. Perbaikan, menurut dia, karena BPK juga lebih ketat dan tegas dalam menindak hasil temuan. “Kalau ada temuan yang berulang kita akan laporkan ke penegak hukum.”

Hasil temuan tersebut, akan dilaporkan kepada para penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. Namun Achsanul tak yakin Kepolisian dan Kejaksaan bakal cepat memperoses hasil temuan tersebut.

Ketua BPK, Harry Azhar Azis mengatakan salah satu yang menjadi sorotan BPK adalah mengenai belanja infrastruktur di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dari temuan BPK ada 137 kontrak proyek pembangunan transmisi dan gardu induk yang terhenti. Penyebabnya, ada pada pembebasan lahan yang berlarut-larut sehingga izin kontrak tahun jamak tidak diperpanjang.

“Ini membuat hasil proyek yang belum selesai sebesar Rp5 ,38 triliun tidak bisa dimanfaatkan. Ada kerugian negara senilai Rp 562,66 miliar,” ucapnya. Kerugian itu berasal dari sisa uang muka yang tidak dikembalikan oleh penyedia barang/jasa. “Ini terjadi karena Menteri Keuangan kurang cermat dalam memberikan izin kontrak tahun jamak.”

BPK juga menemukan masalah di sektor penerimaan pajak dan migas senilai Rp1,124 triliun. Temuan masalah itu terdiri dari potensi pajak bumi dan bangunan (PBB) migas terutang sebesar Rp 666,23 miliar dan potensi kekurangan penerimaan PBB migas di 2014 sebesar Rp 454,38 miliar.

.
BPK Temukan Kerugian Negara Rp1,42 Triliun

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan, Selasa 7 April 2015, menyerahkan laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) pada Sidang Paripurna DPR RI.

Ketua BPK, Harry Azhar Azis, mengatakan selama semester II-2014, BPK menemukan 3.293 masalah berdampak finansial senilai Rp14,74 triliun.

Jumlah itu terdiri atas masalah yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp1,42 triliun, potensi kerugian negara senilai Rp3,77 triliun, dan kekurangan penerimaan senilai Rp9,55 triliun.

“Berdasarkan IHPS dan LHP semester II-2014, ditemukan 7.950 masalah yang terdiri atas berbagai temuan,” ujar Harry.

Ribuan masalah itu di antaranya terdiri atas 7.789 masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan senilai Rp40,55 triliun dan 2.482 masalah kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI).

“BPK memeriksa 651 objek pemeriksaan, yakni 135 objek pada pemerintah pusat, 479 objek pemerintah daerah dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), serta 37 objek BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan badan lainnya,” katanya.

Menurut Harry, berdasarkan jenis pemeriksaannya, terdapat 73 objek pemeriksaan keuangan, yang di antaranya 233 pemeriksaan kinerja, dan 345 pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Selain itu, Harry melanjutkan, masalah lain yang menonjol di antaranya persiapan penerapan Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP), dan penerimaan pajak dari penerimaan migas, serta ketidakpatuhan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) atas ketentuan cost recovery.

“Pemerintah pusat dan daerah belum siap mendukung penerapan SAP berbasis aktual pada 2015 dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) maupun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD),” ujar Harry.

Masalah keuangan di pusat

Pada periode tersebut, BPK menemukan masalah penerimaan pajak migas senilai Rp1,12 triliun, yang di antaranya berupa potensi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) migas terutang minimal sebesar Rp666,23 miliar.

“Selain itu, ada juga potensi kekurangan penerimaan PBB migas tahun 2014 minimal sebesar Rp454,38 miliar,” ungkapnya.

Menurut Harry, BPK juga menemukan ketidakpatuhan KKKS terhadap ketentuan cost recovery, yang mengakibatkan kekurangan penerimaan negara senilai Rp6,19 triliun.

“Masalah lain di pemerintah pusat adalah mengenai belanja infrastruktur di Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), yang mengakibatkan hasil proyek senilai Rp5,38 triliun tidak dapat dimanfaatkan dan terdapat kerugian negara senilai Rp562,66 miliar,” katanya.

Selain itu, kata Harry, pihaknya juga menemukan Kementerian Pertanian tidak berhasil mencapai target pertumbuhan produksi kedelai sebesar 20,05 persen per tahun dan target swasembada kedelai tahun 2014 sebanyak 2,70 juta ton tidak tercapai.

“Kami juga melakukan pemeriksaan kinerja atas pelaksanaan program penyaluran subsidi raskin (beras miskin) belum sepenuhnya efektif untuk mencapai tujuan-tujuan program,” jelasnya.

Selanjutnya, khusus pemeriksaan kinerja atas efektivitas layanan paspor pada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), BPK menyimpulkan telah cukup efektif dalam pelayanan paspor.

“Namun, kami menemukan adanya masalah dalam perubahan mekanisme pembayaran berupa pembayaran elektronik dengan payment gateway (PG) yang mengabaikan risiko hukum,” kata Harry.

Dengan begitu, lanjut Harry, dalam periode 2010-2014, BPK telah menyampaikan 215.991 rekomendasi senilai Rp77,61 triliun kepada entitas yang diperiksa, dan yang baru ditindaklanjuti sebanyak 55,54 persen atau sebanyak 120.003 rekomendasi.

“Adapun temuan pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang atau penegak hukum sebanyak 227 surat yang memuat 442 temuan senilai Rp43,83 triliun,” ujarnya.

Masalah keuangan di daerah

Tak hanya di jajaran pusat, BPK juga temukan sejumlah masalah yang patut mendapat perhatian saat memeriksa pemerintah daerah.

BPK juga menemukan ketidakpatuhan yang menimbulkan kerugian negara.

Menurut Harry, permasalahan tersebut di antaranya, sistem pengelolaan aset tetap dalam mendukung penyusunan laporan keuangan yang tidak memadai dan penggunaan sistem aplikasi komputer belum optimal dalam mendukung pengelolaan keuangan.

“Juga aplikasi sistem informasi manajemen daerah (Simda) barang milik daerah belum sepenuhnya siap dalam menunjang pencatatan akuntasi berbasis akrual dan persiapan pemerintah daerah dalam menerapkan laporan keuangan berbasis akrual belum memadai,” ujar Harry.

Dalam pemeriksaannya, kata Harry, pihaknya menemukan beberapa ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian daerah senilai Rp285,78 miliar yang terjadi di 68 pemerintah daerah.

“Kerugian tersebut karena belanja tidak sesuai ketentuan, kekurangan volume pekerjaan, dan kelebihan pembayaran dalam belanja modal, serta biaya perjalanan dinas dan pembayaran honorarium melebihi standar,” katanya.

Harry melanjutkan, dari situ BPK menemukan potensi kerugian daerah senilai Rp1,29 triliun yang terjadi di 43 pemerintah daerah. Salah satunya karena aset berupa mesin, peralatan, dan aset lainnya yang tidak diketahui keberadaanya.
Menurut dia, dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT), BPK menemukan masalah dalam pengelolaan pendapatan daerah.

“Terdapat kekurangan penerimaan di 27 pemerintah daerah senilai Rp132,23 miliar, yang meliputi penerimaan negara/ daerah yang belum diterima ke kas negara/ daerah. Lalu, pengenaan tarif pajak pendapatan negara bukan pajak yang lebih rendah dari ketentuan,” ungkapnya.

Dalam pengelolaan belanja daerah, tambah Harry, BPK juga menemukan kekurangan volume pekerjaan, kelebihan pembayaran, belanja tidak sesuai ketentuan, dan spesifikasi barang tidak sesuai kontrak senilai Rp275,52 miliar.

“Dalam PDTT atas pengelolaan aset, kami menemukan kelemahan dalam pengelolaan aset daerah yang berpontensi menimbulkan kerugian daerah. Aset berupa tanah, gedung dan bangunan, serta peralatan mesin senilai Rp971,70 miliar dikuasai pihak lain, tidak dapat ditelusuri, tidak diketahui keberadaannya, dan hilang belum diproses,” ujarnya.

Selain itu, dari pemeriksaan Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), BPK juga menemukan masalah seperti proses pemberian kredit tanpa didukung analisis kredit yang memadai dan ada pinjaman yang nilai agunannya di bawah nilai dana pinjaman digunakan tidak sesuai perjanjian.

“Hal ini mengakibatkan potensi kerugian BPD dan BPR senilai Rp151,80 miliar,” jelas dia.

Akan segera ditindaklanjuti

Terkait laporan BPK tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil, menegaskan pemerintah akan segera menindaklanjuti.

Dengan demikian, jika ada yang bersalah akan ditindak dan potensi kerugian yang akan dialami dapat diantisipasi.

Dia mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menugasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawasi kinerja pemerintah, baik pusat maupun di daerah.

Namun, Sofyan mengaku, masih menunggu rekomendasi dari BPK atas temuan yang sudah diserahkan ke DPR, agar dapat segera ditindaklanjuti.

“Barangkali ada rekomendasi BPK, baik perubahan sistem penambahan regulasi atau menagih yang kurang,” ujar Sofyan di kantornya.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bahar mengakui, Indonesia memang memiliki permasalahan yang besar dalam pengawasan pengelolaan sumber daya alam (SDA) saat ini. Karena, selama ini koordinasi dengan daerah dan pusat kurang baik.

“Saya juga melihat, kami punya kelemahan signifikan pada pembinaan ke daerah-daerah, sedang saya bangun, amdal (analisis dampak lingkungan) misalnya, kebanyakannya kan di provinsi,” tambahnya.

Menurutnya, saat ini kerja sama dengan pemerintah daerah akan diperketat untuk mengawasi pengelolaan SDA di masa depan.

Dengan begitu, potensi kerugian negara dari kegiatan yang tidak sesuai dengan aturan dapat diantisipasi.

“Kami sudah mulai bekerja sama dengan pemda termasuk BUMD untuk meningkatkan pengawasan pengelolaan SDA,” ungkapnya.

Sementara itu, terkait potensi dan kerugian negara yang berasal dari BUMN, Deputi Bidang Usaha Jasa Gatot Trihargo, memastikan prosedur operasional yang sudah dibuat kementeriannya saat ini akan memperkecil celah permainan kotor yang terjadi di BUMN.

Koordinasi dengan BPK dan penegak hukum juga terus diperkut guna menindak tegas oknum-oknum BUMN yang terbukti melakukan pelanggaran.

“Kalau ada yang ambil-ambil pasti kami teruskan ke penegak hukum,” singkatnya.

.
Menko Perekonomian tindaklanjuti temuan pajak migas

Jakarta (ANTARA News) – Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Sofyan Djalil akan menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait masalah penerimaan pajak minyak dan gas (migas) senilai Rp1,12 triliun.

“Kalau sudah ada laporan BPK itu tentu kita akan tindaklanjuti,” katanya di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akan melakukan tugasnya sebagai lembaga pemerintah non-kementerian untuk melakukan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional.

“Perlu diketahui BPKP ditugaskan presiden untuk mengawasi bahwa semua kementerian tidak melaksanakan tugasnya atau yang mana BPK menganggap mereka masih ada hal-hal yang harus dilakukan, maka oleh institusi,lembaga atau kementerian yang bersangkutan harus menindaklanjuti,” tuturnya.

Kemudian, lanjutnya, pengawasan dilakukan pihak BPKP supaya semua temuan BPK itu ditindaklanjuti sebagaimana seharusnya.

Selain itu, ia mengatakan pihaknya juga akan memperhatikan jika ada rekomendasi dari BPK seperti perbaikan sistem, penambahan regulasi atau menagih kekurangan penerimaan pajak itu.

Sebelumnya, BPK mengklaim telah menemukan masalah penerimaan pajak dari sektor minyak dan gas senilai Rp1,12 triliun.

Ketua BPK Harry Azhar Azis saat menyampaikan IHPS II 2014 pada sidang paripurna DPR RI di Jakarta, Selasa, mengatakan masalah penerimaan itu terdiri dari potensi pajak bumi dan bangunan (PBB) sektor migas terutang dengan besaran minimal Rp666,23 miliar.

“Ini karena 59 Kontraktor kontrak kerja sama tidak menyampaikan surat pemberitahuan objek pajak PBB migas sepanjang 2013 dan 2014,” kata dia.

Selain potensi PBB terutang tersebut, kata Harry, BPK juga menemukan potensi kekurangan penerimaan PBB migas senilai Rp454,38 miliar.

Potensi kekurangan penerimaan itu, kata Harry, terkait dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang tidak menetapkan PBB Migas terhadap kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang belum mendapat persetujuan terminasi atas wilayah kerjanya.

Harry mengatakan terdapatnya potensi penerimaan negara dari migas yang tidak tergali optimal ini juga disebabknya belum adanya titik temu antara Kementerian Keuangan dan KKKS mengenai penetapan dan ketentuan penetapan PBB migas.

“Karena itu kami nilai masih ada potensi kekurangan penerimaan. Kami minta proyek migas ini harus dilakukan cermat antara Kemenkeu dan KKKS,” kata dia.

Editor: Ruslan Burhani

.
Pemerintah Jokowi Tindak Lanjuti Kerugian Negara dari Laporan BPK

Metrotvnews.com, Jakarta: Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan Pemerintah Presiden Joko Widodo pasti akan menindaklanjuti laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan 3.293 masalah berdampak finansial senilai Rp14,74 triliun selama semester II-2014, sehingga mengakibat kerugian negara sebesar Rp1,42 triliun.

“Kalau laporan BPK, pasti kita akan tindak lanjuti,” kata Sofyan di kantor Kementerian Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Selasa (7/4/2015).

Dalam laporannya, Ketua BPK Harry Azhar Azis menyampaikan adanya potensi kerugian negara senilai Rp3,77 triliun dan kekurangan penerimaan negara senilai Rp9,55 triliun.

Mengenai penerimaan di sisi perpajakan, lanjut Sofyan, Pemerintah saat ini tengah berupaya agar penerimaan pajak bisa dioptimalkan tentunya dengan sistem perpajakan yang memeuhi persyaratan, sehingga tidak terulang kembali potensi yang merugikan negara.

“Yang pasti, Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan memastikan pajaknya sudah dilakukan secara benar,” jelas dia.

Lebih jauh, dia mengakui untuk data perpajakan memang tidak semua lembaga boleh masuk untuk ‘mengorek’ data pajak para wajib pajak karena terbentur UU Perpajakan. Namun, dirinya mengapresiasi kinerja BPK yang terus berupaya memantau dan mengawasi keuangan kementerian.

“Karena kalau semua lembaga boleh masuk ke data individual pajak seseorang, ini kan jadi masalah,” pungkasnya.

Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) semester II, BPK mengungkapkan 7.950 temuan pemeriksaan yang di dalamnya terdapat 7.789 masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan-undangan senilai Rp40,55 triliun dan 2.482 masalah kelemahan sistem pengendalian intern (SPI).




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia