Awas Serangan Siber Via Rekayasa Sosial. Ini Modusnya
Senin, 9 Maret 2015Bisnis.com, JAKARTA—Industri e-commerce Indonesia yang kini mulai berkembang harus mewaspadai serangan siber dengan menggunakan taktik baru berupa rekayasa sosial sehingga konsumen sering tidak menyadarinya sebagai serangan siber.
David Freer, Vice President Consumer APAC, Intel Security mengemukakan serangan siber kini menunjukkan tren meningkat selain menggunakan taktik yang lebih kompleks untuk bisa menembus firewall.
“Sebenarnya untuk mengatasinya, konsumen harus memahami serangan siber dengan poa rekayasa sosial. Dengan memahaminya, konsumen bisa tetap aman di dunia digital termasuk terhadap industri e-commerce yang kini tengah tumbuh,” ujarnya dalam surat elektroniknya kepada Bisnis.com, Jumat (6/3/2015).
Sebagai gambaran, menurut data yang pernah dirilis Intel Security 2014, dampak ekonomi global dari serangan cybercrime bisa mencapai lebih dari US$400 miliar. Atau sebut laporan itu, angka yang konservatif bisa mencapai US$375 miliar dan angka maksimum bisa mencapai US$575 miliar.
Selain itu, perusahaan itu juga telah melakukan telaah mengenai dampak serangan siber terhadap PDB. Ada lima besar negara Asia yang cukup terpengaruh akibat serangan siber terhadap PDB.
Kelima negara Asia itu adalah China (0,63%), Singapura (0,41%), India (0,21%), Malaysia (0,18%), Saudi Arabia (0,17%). Sementara itu, khusus untuk Korea Selatan dan Indonesia, datanya tidak tersedia.
Intel Security dalam laporannya Hacking Human OS, 2014 menyebutkan teknik yang digunakan hacker atau phiser dalam melakukan serangannya dengan teknik rekayasa sosial.
Misalnya, berbentuk validasi: orang cenderung untuk mematuhi ketika orang lain melakukan hal yang sama. Sebuah pesan media sosial cerdik mungkin menipu Anda agar mengklik link hanya karena memiliki kelompok teman-teman Anda di atasnya.
Begitu juga ada pola penjahat yang cerdik untuk meniru sumber atau otoritas yang terpercaya. Misalnya, kita menerima email dari bank yang meminta data pribadi konsumen. “Pola itu perlu diwaspadai.”
Menurut Freer, Pemerintah Indonesia sebenarnya cukup waspada terhadap ancaman serangan siber itu. Buktinya, dia menambahkan, pemerintah berencana membentuk Badan Siber Nasional untuk mengelola dan membentuk pertahanan terhadap ancaman serangan siber.
Indonesia seperti pernah disampaikan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyebutkan selama tiga tahun terakhir Indonesia telah mengalami serangan siber sebanyak 36,6 juta.
“Sebenarnya, sangat bermanfaat bila pemerintah terus memunculkan kesadaran kepada warga negaranya agar tetap waspada terhadap prilaku Online untuk tetap nyaman di dunia digital,” tutur Freer.
Berkaitan dengan peran Intel Security, Freer mengemukakan perusahaannya siap berkerja sama pemerintah maupun sektor swasta untuk memberikan solusi keamanan, baik terhadap sistem, Networks, perangkat digital untuk kepentingan bisnis korporasi maupun perorangan.