Piagam Jakarta 22 Juni

Kamis, 23 Juni 2016

Piagam-Jakarta-soekarno-hatta-2-jpeg.image Wednesday, 22 June 2016, 13:00 WIB

Piagam Jakarta hakikatnya adalah teks deklarasi kemerdekaan Indonesia yang di dalamnya berisi manifesto politik, alasan eksistensi Indonesia, sekaligus memuat dasar negara Republik Indonesia. Awalnya direncanakan dibacakan secara resmi sebagai wujud deklarasi kemerdekaan Indonesia. Karena lain hal, itu tidak terjadi, malahan diganti dengan Proklamasi.

Piagam itu merupakan kristalisasi pemikiran para pendiri bangsa yang bersifat kumulatif dirumuskan oleh sembilan orang. Rumusan pemikiran itu bukanlah timbul dari ruang hampa dan terjadi mendadak. Dia akumulasi dari pergerakan pemikiran yang menuntun hadirnya negara merdeka yang lepas dari kolonialisme dengan bentuk pemerintahan sendiri (zelfbestuur). Hampir semua spektrum organisasi pergerakan di Indonesia menuntut diwujudkannya kemerdekaan bagi Indonesia.

Muncul pertanyaan, lalu apa artinya proklamasi? Proklamasi hanyalah pengumuman kemerdekaan Indonesia kepada publik belaka. Sedangkan, visi, misi, dan isinya tidak tertuang sama sekali. Visi, isi, dan misinya hanya terdapat dalam Piagam Jakarta.

Rumusan deklarasi yang dihasilkan dan ditandatangani pada 22 Juni 1945 merupakan konsensus idil (visi dan misi serta watak) yang disepakati oleh golongan yang terlibat dalam perumusan hukum dasar negara Indonesia. Betapa pentingnya isi konsensus ini karena merupakan dasar negara.

Sebelum mencapai rumusan seperti yang terlihat dalam Pembukaan UUD sekarang ini, pada 1 Juni 1945-22 Juni 1945 terjadi perdebatan pemikiran yang bernas antarpendiri negara. Karena mereka berasal dari spektrum ideologi dan agama yang beragam, maka perdebatan sengit tak dapat dihindarkan.

Perdebatan itu sangat bernuansa intelektual yang cerdas. Dua golongan yang menonjol akhirnya beradu argumen, yaitu golongan Islam dan sekuler. Akhirnya, representasi kedua golongan ini dikerucutkan dalam tim kecil yang disebut Panitia Sembilan.

Panitia Sembilan inilah yang merumuskan preambul di mana di dalamnya terdapat Pancasila prarevisi. Kurang dua bulan setelah itu, satu hari setelah Proklamasi, 18 Agustus 1945, redaksi pada preambul, “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya-pemeluknya,” dipotong dan disimpelkan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Teks lengkap sebelumnya “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Sebenarnya semua pihak sudah akur dengan rumusan yang memberi afirmasi pada kebutuhan khusus kaum Muslimin, mengingat besarnya pengorbanan mereka, termasuk AA Maramis sebagai satu-satunya wakil golongan Kristen. Kendati nyata-nyata tertera di dalamnya klausul afirmasi bagi Muslim (kewajiban menjalankan syariat Islam), tidak terdapat dalam catatan sejarah bahwa AA Maramis menunjukkan penolakannya.

Sebab, sebenarnya golongan Islam sudah menurunkan tuntutan dari semula menuntut negara berdasar Islam menjadi berdasar lima perkara. Soal direvisi oleh inisiatif Hatta, hal itu urusan lain.

Penjelmaan dari afirmasi bagi Muslim, yaitu dibentuknya Kementerian Agama. Sejatinya Kementerian Agama ialah kementerian untuk urusan orang Islam (Islamic affairs).

Kenyataan ini perlu disyukuri dengan cara memaksimalkan fungsi dan keberadaan Kementerian Agama untuk melipatgandakan kekuatan dan kesejahteraan umat Islam. Sayangnya, harapan ini sulit terealisasi.

Panitia Sembilan yang bertugas merumuskan Piagam Jakarta dibentuk pada 1 Juni 1945. Anggotanya adalah Ir Sukarno (ketua), Drs Mohammad Hatta (wakil ketua), Mr Achmad Soebardjo (anggota), Mr Mohammad Yamin (anggota), KH Wahid Hasjim (anggota), Abdoel Kahar Moezakir (anggota), Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota), H Agus Salim (anggota), dan Mr Alexander Andries Maramis (anggota).

Relasi ideologis Tak banyak orang mengungkap relasi ideologis dan hubungan pribadi di antara perumus deklarasi kemerdekaan Indonesia itu. Padahal, mengetahui hubungan ideologis dan latar hubungan pribadi mereka akan membantu memahami profil mereka lebih realistis.

Sukarno, misalnya, secara ideologis memiliki hubungan dekat dengan Agus Salim dan Abikoesno. Mereka diikat latar belakang sebagai orang yang dibesarkan Sarekat Islam, khususnya figur Tjokroaminoto.

Agus Salim merupakan orang kedua di pengurusan Sarekat Islam di masa Tjokro. Adapun Abikoesno adalah adik kandung Tjokroaminoto yang melanjutkan kepemimpinan PSII setelah Tjokro wafat pada 1934.

Secara hubungan keluarga, Sukarno merupakan mantu Abikoesno karena Sukarno memperistri putri Tjokro. Sewaktu menjadi murid HBS di Surabaya, Sukarno digembleng oleh Tjokro dalam seni politik dan berpikir.

Hanya setelah Sukarno pindah ke Bandung dan masuk ITB, ia mendapatkan figur pembimbing baru, yaitu Tjipto Mangunkusumo, seorang nasionalis sekuler. Adapun Tjokro dikenal sebagai ideolog Islam awal dan penggerak politik yang paling berpengaruh di Indonesia. Jadi, ketiga perumus deklarasi Indonesia adalah kader Tjokroaminoto.

Di Bandung, Sukarno membangun PNI yang menghubungkannya dengan pemuda-pemuda nasionalis sekuler. Pada 1928, Sukarno bertemu Mohammad Yamin di forum Sumpah Pemuda. Mohammad Yamin merupakan tokoh Jong Sumatranenbond sekaligus Gerindo. Jelas antara Sukarno saat aktif di PNI yang bermarkas di Bandung memiliki kaitan ideologis dengan Yamin.

Mohammad Hatta selain semula aktif di Jong Sumatranenbond seperti halnya Yamin, ketika di Belanda, aktif di Perhimpunan Indonesia yang menuntut kemerdekaan Indonesia. Majalah-majalah perhimpunan dikirim ke Indonesia dan jelas dibaca Sukarno dan Yamin. Ketika mendengar PNI dibubarkan dan Sukarno ditangkap, Hatta pulang ke Indonesia dan membangun PNI Baru sebagai estafet atas PNI yang didirikan Sukarno.

Adapun Achmad Soebardjo dan AA Maramis adalah mahasiswa di Universitas Leiden, Belanda. Seperti Hatta, keduanya jelas terkoneksi lewat Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Bahkan, Soebardjo pada Februari 1927 menjadi wakil Indonesia bersama Mohammad Hatta dan para ahli gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa. “Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah” yang pertama di Brussels dan di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika.

Adapun Agus Salim, Kahar Muzakkir, dan Wahid Hasjim, aktivitas intelektualnya dibentuk di Indonesia, Makkah, dan Kairo. Agus Salim lama bermukim di Makkah. Bekerja pada konsul Belanda dan belajar agama pada Achmad Khatib Minangkabawi.

Selagi di HBS, dia terkenal sebagai murid genius yang menguasai beberapa bahasa Eropa sehingga menjadi orang terkemuka di Sarekat Islam. Dia juga wartawan kawakan. Besar dugaan, rumusan redaksional preambul banyak disumbang Agus Salim. Sebab, di antara kesembilan perumus, hanya Agus Salim yang paling luas pengetahuannya. Tentu saja Hatta dan Sukarno tak bisa diremehkan.

Jaringan Timur Tengah

Adapun Wahid Hasjim merupakan santri sejati. Menimba ilmu pengetahuan di berbagai pesantren dan ditambah dua tahun di Makkah. Dia juga menguasai bahasa Inggris dan ilmu umum. Wahid Hasjim wakil autentik NU.

Sedangkan, Kahar Muzakkir belajar di Al-Azhar dan Darul Ulum Kairo. Ia mengorganisasi dukungan masyarakat Arab untuk kemerdekaan Indonesia. Dia wakil Muhammadiyah tulen. Jelas Kahar Muzakkir terkoneksi dengan Agus Salim, khususnya menjelang kemerdekaan.

Ketika Agus Salim keliling Timur Tengah untuk mengumpulkan dukungan bagi kemerdekaan Indonesia, andil koneksi Kahar Muzakkir sangat menolong misi Agus Salim. Kahar Muzakkir memiliki hubungan kuat dengan pemimpin Ikhwanul Muslimin Mesir, Hasan al-Banna.

Hasan al-Banna menggunakan pengaruhnya untuk mendorong negara-negara Arab agar mendukung kemerdekaan Indonesia. Apalagi, Agus Salim yang lama menetap di Makkah dapat berbahasa Arab dengan fasih. Jelas kemampuan bahasa Agus Salim merupakan kredit tersendiri bagi kelancaran misinya selama di Timur Tengah untuk kemerdekaan Indonesia.

Secara latar belakang, Agus Salim, Hatta, dan Yamin terhubung sebagai sesama orang Minang. Agus Salim dan Hatta sama-sama dari Bukittinggi, sedangkan Yamin dari Sawahlunto. Hanya Maramis yang lain sendiri, Kristen, dan berasal dari bagian timur Indonesia, Manado.

Sisanya adalah orang Jawa. Sukarno orang Surabaya, Wahid Hasjim orang Jombang, Kahar Muzakkir orang Yogyakarta, dan Abikoesno kelahiran Kebumen.

Achmad Soebardjo sekalipun kelahiran Karawang, Jawa Barat, dia keturunan Aceh. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek Achmad Soebardjo dari pihak ayah adalah ulama di wilayah tersebut.

Syahrul Efendi Dasopang, Mantan Ketua Umum PB HMI

dikutip dari Opini Online Republika




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia