Opini: Bela Negara, Kesadaran dari Hati atau Senjata Penuh Amunisi?

Jumat, 29 April 2016

Kesadaran belaIMG 000000 00000042-300x300 negara pada hakikatnya merupakan kesediaan berbakti pada negara dan berkorban demi membela negara. Upaya bela negara selain sebagai kewajiban dasar juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa. Sebagai warga negara sudah sepantasnya ikut serta dalam bela negara sebagai bentuk kecintaan kita kepada negara dan bangsa. Sebenarnya, bela negara bukanlah tanggung jawab TNI dan Polri saja, tetapi merupakan tanggung jawab semua warga negara sebagai komponen bangsa. Begitu banyak cara untuk mewujudkan bela negara. Namun, bela negara di kalangan masyarakat pun mulai dikaitkan dengan program wajib militer yang dibentuk oleh pemirintah. Pertanayaannya, siapkah Indonesia ?

 

Konsep terhadap pemahaman bela negara berbeda dengan wajib militer meskipun dasarnya sama. Konsep induk keduanya adalah melindungi eksistensi negara. Wajib militer merupakan usaha untuk memperoleh dukungan militer dari rakyat sipil. Apabila negara dalam kondisi darurat (misalnya perang), rakyat sipil yang telah terlatih dapat diterjunkan untuk kepentingan militer.

 

Ketika kita berbicara tentang militer, hal yang terbesit di pikiran kita bahwa militer ini identik dengan angkatan senjata dan kendaraan perang, Sementara, konsep bela negara lebih menekankan pada sikap dan kesadaran untuk menjaga eksistensi suatu bangsa. Berdasarkan penjabaran konsep tersebut, jelas tersirat bahwa makna bela negara lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan wajib militer yang menjadi kebijakan hangat pemerintah saat ini. Kecintaan yang kurang terhadap tanah air tentu akan mengurangi kesadaran bela negara seseorang, maka dari itu bela negara harus didasarkan atas kecintaannya akan bangsa dan negara.

 

Ryamirzad, Menteri Pertahanan RI, menyatakan bahwa kesadaran masyarakat terhadap Pancasila sudah menurun. Hal tersebut membuat kesadaran berbangsa menjadi lemah. Indonesia dipandang rentan dari berbagai segi. Untuk itu beliau merumuskan program wajib bela negara sebagai bentuk penguatan bangsa Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, beliau menargetkan Indonesia memiliki 100 juta kader bela negara dalam jangka 10 tahun. (yogski.worpress.com).

 

Masyarakat sipil yang ikut dalam program wajib militer tersebut akan dilatih selama sebulan. Dikatakan bahwa pelatihan difokuskan pada revolusi mental dari materi bela negara yang diberikan, meliputi: pemahaman empat pilar negara, sistem pertahanan semesta dan pengenalan alutsista TNI, dan ditambah lima nilai cinta tanah air, sadar bangsa, rela berkorban, dan pancasila sebagai dasar negara.

 

Pemerintah menilai program ini hanya sebagai upaya pembentukan kader bela negara dan gagasan pemerintah untuk mempersiapkan rakyat menghadapi dua bentuk ancaman, yakni ancaman militer dan nirmiliter, didasarkan Pasal 27 UUD 1945 dan UU Pertahanan Nomor 3 Tahun 2002. Pelatihan Wajib Militer bertujuan menggodok seorang warga Negara sipil yang polos, menjadi seorang yang tangguh, disiplin, kesetiakawanan loyalitas terhadap corps/bangsanya, rela berkorban, keberanian membela haknya, memiliki ethos kerja tinggi. Tak kurang dari28 negara di dunia melaksanakan wamil.

 

Sebagai contoh Amerika Serikat dan Korea adalah dua dari sekian banyak negara didunia. Perlu diingat bahwa Negara Amerika Serikat adalah Negara yang menganut politik supermasi sipil (warga Negara sipil yang boleh ikut berpolitik praktis, militer tidak), tapi sejak lama sudah memberlakukan UU Wajib Militer dinegaranya. Pun demikian, pro kontra pasti tetap akan muncul dari berbagai kalangan.

 

Jika kita lihat dari keinginan memperkuat negara Indonesia, alasan dibentuknya program wajib militer ini nampak logis. Tapi apakah Indonesia sedemikian rentan terhadap ancaman sampai memerlukan 100 juta kader bela negara? Bukankah dalam bela negara hanya ada latihan baris-berbaris, pengetahuan pancasila, dan dasar kemiliteran? Sejatinya, ancaman bangsa masa kini lebih banyak muncul dari segi ekonomi, budaya, informasi, dan sebagainya. Wajib militer kan tidak relevan untuk kehidupan zaman ini.

 

Menurut saya, berbagai macam permasalahan bangsa ini bukan merupakan bentuk serangan eksternal negara lain, tetapi didominasi oleh permasalahan yang datang dari bangsa kita sendiri, sebagai contoh, perpecahan yang mengatasnamakan perbedaan didalamnya. Ironisnya, perbedaan yang dimiliki Indonesia seakan menjadi hal yang menakutkan, bukan membanggakan. Kemudian, masalah lain yang timbul adalah demoralisasi yang hadir dan merajalela di kalangan generasi muda negara seribu pulau ini.

 

Teringat pada kenakalan remaja kita yang sudah mulai tak terkendali, bertindak anarki, dan lain sebagainya. Apakah para generasi penerus bangsa hanya bisa membuka mulut menganga dan berkoar-koar saja atas kesalahan pemerintah?kesalahan Polri?dan lain sebagainya? . Sadarlah wahai para pemuda, dan ingatlah bahwa masa depan bangsa ini ada ditanganmu.

 

Menurut teori, tujuan bela negara adalah mewujudkan warga negara Indonesia yang memiliki tekad, sikap, dan tindakan yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut guna meniadakan setiap ancaman baik dari luar maupun dari dalam negeri yang membahayakan Kemerdekaan dan Kedaulatan Negara, kesatuan dan Persatuan Bangsa, keutuhan wilayah dan yurisdiksi nasional serta nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.Bela negara merupakan suatu kewajiban dan kehormatan yang dimiliki oleh seluruh warga negara Indonesia. Jadi, jelas takkan ada berbagai macam alasanpun yang dapat menghindarkan setiap komponen bangsa dalam menjalankan kewajiban dan kehormatan ini. Kesadaran akan pentingnya kewajiban bela negara ini harus dipupuk dan dilestarikan dalam diri kita masing-masing, teutama di kalangan pemuda Indonesia, yang sikap dan kesadaran akan bela negaranya yang semakin pudar.

 

Masalah kesiapan akan diadakannya program wajib militer ini juga harus diperhatikan. Sarana pelatihan yang dimiliki Badiklat (Badan Pendidikan dan Pelatihan) Kemenhan, harus dipastikan mampu menampung 833 ribu orang perbulan jika ditargetkan 100 juta orang dalam 10 tahun. Sosialisai program dan kebijakan ini juga seharusnya dilakukan secara merata dan menyeluruh kepada masyarakat yang masih berpikiran negatif terhadap program tersebut, terutama mengenai konsep bela negara yang bukan berarti wajib militer. Jangan sampai, program yang akan mulai dijalankan dalam beberapa bulan lagi tersebut, tidak memiliki infrastruktur yang memadai sehingga program terkesan dilaksanakan dengan seadanya atau bahkan seolah-olah diada-adakan saja. Hal tersebut tentu saja akan menambah daya kritis masyarakat terhadap kinerja pemerintah.

 

Menurut saya, tentunya ada hal yang akan menghambat pelaksanaan program wajib militer di Indonesia, yaitu masalah anggaran. Program tersebut tentu saja akan membebani kondisi keuangan negara, Karena untuk memberlakukan suatu program wajib militer tentu membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Misalnya pembiayaan terhadap fasilitas pelatihan militer dan juga biaya untuk proses sosialisasi terhadap masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah harus bekerja keras bila ingin program wajib militer ini berjalan baik di Indonesia.

 

Pada hakikatnya, banyak sekali cara yang dilakukan untuk mewujudkan bela negara. Membela negara tidak harus dalam wujud perang, tetapi juga dapat dilakukan dengan cara lain seperti ikut dalam mengamankan lingkungan sekitar, membantu korban bencana, menjaga kebersihan, mencegah perkelahian, mencintai produk dalam negeri, melistarikan budaya Indonesia, dan tampil sebagai anak bangsa yang berprestasi. Di zaman yang modern ini, dengan adanya perkembangan teknologi, bela negara juga dapat dilakukan dengan memberikan saran dan segala macam aspirasi kita melalui media apapun, seperti media online, atau media cetak yang segala tindakan tersebut kita lakukan demi kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia.

Ketika kita berbicara tentang bela negara, maka kita akan berbicara tentang kesadaran, bukan paksaan.

Kesadaran bela negara itu sejatinya muncul dari hati, bukan dari senjata yang penuh dengan amunisi. Sikap bela negara, tidak hanya berarti mau dan mampu mempertahankan negara. Bukan berarti pula tidak mempertahankan negara berarti tidak memiliki sifat nasionalis. Nasionalisme tidak sesempit demikian. Program-program yang dibuat untuk menumbuhkan sikap bela negara harus benar-benar dievaluasi dari berbagai aspek. Tidak hanya melulu memikirkan tujuan, tapi proses dan pelaksanaannya. Pro dan kontra dalam program yang diajukan memang hampir mustahil tidak bermunculan, tapi semoga saja program yang diajukan dan dibuat pemerintah memang sudah berdasarkan pemikiran-pemikiran yang terbaik. Program militer yang ditetapkan tersebut seharusnya tidak hanya memberikan pelatihan fisik, tetapi juga mental. Revolusi mental harus terlaksana dan didukung oleh berbagai kalangan bangsa ini. Program wajib militer tersebut seharusnya tidak hanya memberikan bekal skill dan semangat mengangkat senjata, tetapi juga harus menyadarkan masyarakat akan pentinganya semangat pancasila.

 

Kecintaan akan tanah air harus ada dan mengakar kuat di dalam jiwa kita. Apakah semangat proklmasi dan reformasi tidak membekas di dalam hati kita? Apakah tumpah darah pahlawan kemerdekaan belum menyadarkan kita? Kita semua seakan lupa tak peduli betapa beratnya menaikkan sang pusaka merah putih di tiang tertinggi.

 

Bangkitlah wahai kalangan pengenang sejarah. Mulai sekarang, tanamkanlah kesadaran bela negara dalam diri kita masing-masing demi terciptanya negara Indonesia yang maju dan memiliki daya saing yang kuat di kanca internasional.

 

Penulis Merupakan Siswa kelas XI IPA 2 SMA Labschool Banda Aceh. Sumber: http://www.lintasnasional.com




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia